Ampas Minyak Sudah Lama Digunakan untuk Bahan Penguruk
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS – Penggunaan ampas atau tahi minyak sebagai bahan penguruk lahan di Desa Segara Makmur, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi telah berulang kali dilakukan. Penyelidikan untuk mencari pihak yang terlibat dalam penggunaan limbah berbahaya itu pun dilanjutkan.
Kepala Urusan Ketentraman dan Ketertiban Desa Segara Makmur, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Maskin, Selasa (15/1/2019), mengatakan, lahan kosong tempat tiga bocah terperosok hingga mengalami luka bakar serius pekan lalu memiliki catatan buruk. Pada 2018, pemiliknya tertangkap basah menggunakan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) berupa sisa produksi minyak atau tahi minyak untuk menguruk tanah.
Areal bekas empang dan persawahan itu terletak di 004 RW 012, Desa Segara Makmur, Tarumajaya, tepat di tepi Kanal Timur dan berbatasan langsung dengan Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.
“Pada 2018, kami menghentikan pengurukan lahan selama enam bulan karena pemilik lahan menggunakan tahi minyak,” kata Maskin. Pengurukan tanah kemudian kembali dilanjutkan pada September 2018. Pemilik lahan adalah pengusaha dari Jakarta.
Meski demikian, kata Maskin, pengurukan tanah itu dilakukan tanpa izin. Keberadaan sertifikat hak milik juga dipertanyakan. Bahkan, luas tanah yang diklaim oleh pemilik pun dirasa tidak sesuai dengan kenyataan. “Pemilik mengaku tanahnya seluas 7.000 meter persegi, perkiraan saya luas areal itu mencapai 1,5 hektare (ha),” ujarnya.
Walaupun tanpa izin, nama pemilik lahan sudah dikenal oleh masyarakat setempat.
Herti (34), warga Cilincing, Jakarta Utara, yang rumahnya berjarak 500 meter dari lahan kosong berlimbah minyak itu mengatakan, pemilik lahan juga memiliki bangunan baru yang tepat berada di samping rumahnya. Gedung yang berdiri di lahan seluas sekitar 1 ha itu dibangun sejak tiga tahun lalu dan baru selesai beberapa bulan belakangan.
“Sebelum gedung dibangun, tanahnya juga diuruk menggunakan tahi minyak,” kata Herti. Ia yang lahir dan besar di Marunda tidak mengenal istilah itu sebelumnya. Namun, pembangunan gedung itu memperkenalkan warga setempat pada bahan serupa pasir coklat muda yang digunakan untuk menguruk tanah.
Secara fisik, bahan tersebut tampak berminyak, berbau busuk, dan mudah tersulut api. Keberadaannya mengganggu pernapasan. “Baunya sampai membuat dada sesak, kepala pusing, dan kalau batuk sampai sakit di dada,” ujar Herti.
Secara fisik, bahan tersebut tampak berminyak, berbau busuk, dan mudah tersulut api
Tahi minyak itu dikirim ke proyek pembangunan gedung setiap hari. Namun, warga tidak bisa mengetahui jumlah truk dan tahi minyak yang dikirim karena kegiatan dilakukan pada dini hari ketika warga sudah tidur.
Hal serupa disaksikan Tarpan (70), warga Segara Makmur, Tarumajaya, selama setahun terakhir. Dari rumahnya yang berjarak 200 meter dari lahan kosong tempat tiga bocah terperosok, ia melihat truk-truk datang pukul 02.00. Mereka membawa bahan penguruk lahan.
Darpi (75) pedagang kaki lima di lahan kosong tersebut mengatakan, tidak tahu kapan bahan penguruk dikirim ke areal tersebut. Namun, setiap pukul 09.00 saat ia datang ke lokasi tersebut, tahi minyak sudah ada. Saat masih menumpuk, tahi minyak menimbulkan hawa panas dan berasap.
“Tahi minyak dipakai untuk menguruk tanah, habis itu dilapisi tahi besi dan batu bara biar padat,” kata Darpi. Ia melihat, tahi minyak yang belum dilapisi bahan-bahan itu licin dan lunak sehingga sulit dilewati kendaraan. Sementara itu, pengurukan dilakukan menggunakan alat berat.
Pada Selasa siang, permukaan lahan kosong itu memang terasa empuk saat dilewati. Tanah bercampur dengan pecahan batu hitam sehingga warnanya dominan hitam. Meski sudah mengenakan sepatu, hawa panas masih terasa menembus kulit. Bau busuk pun tercium.
Areal seluas 60 meter persegi tempat tiga bocah terperosok pun masih dipasangi garis polisi. Di dalam areal tersebut terdapat beberapa kubangan air berwarna kekuningan, penuh minyak, dan bergelembung. Di sekitarnya, terdapat tumpukan sejenis pasir coklat muda yang disebut warga sebagai tahi minyak dan gunungan pecahan batu bara.
Penyelidikan
Kepala Kepolisian Sektor Tarumajaya Ajun Komisaris Agus Rohmat mengatakan, penyelidikan untuk mengetahui penyebab keberadaan limbah B3 itu terus dilanjutkan. Pihaknya telah meminta keterangan pemilik lahan, petugas penjaga lahan, dan pemilik lahan sebelumnya.
“Pembuang limbah masih kami selidiki,” kata dia. Sembari melanjutkan penyelidikan, polisi juga menunggu hasil pemeriksaan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap kandungan bahan penguruk tanah.
Kepala Bidang Penegakan Hukum Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Arnoko mengatakan, hari ini pihaknya memulai observasi lapangan untuk mengidentifikasi bahan penguruk. Pada tahap selanjutnya, ia akan mengambil sampel bahan penguruk untuk diteliti kandungannya. “Kira-kira pemeriksaan itu membutuhkan waktu 14 hari,” ujarnya.
Arnoko melanjutkan, lokasi tersebut bukan tempat pembuangan limbah resmi. Sebab tempat resmi membutuhkan perizinan. “Sementara itu, tempat ini sama sekali tidak ada izin,” kata dia.
Camat Tarumajaya Sigit Andrian mengapresiasi kepolisian, Dinas Lingkungan Hidup, dan Kementerian Lingkungan Hidup yang cepat merespons persoalan ini. Ia berharap, pembuang limbah B3 segera terungkap.