JAKARTA, KOMPAS — Salah satu perusahaan ritel modern di Indonesia harus kembali mengurangi gerainya. Kali ini dialami PT Hero Supermarket Tbk (Group Hero). Sejumlah kalangan menilai hal ini disebabkan lambatnya konsumsi masyarakat.
”Group Hero mengalami penurunan penjualan di bidang makanan hingga 6 persen. Kejadian ini mengindikasikan ada perlambatan konsumsi rumah tangga,” kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, saat dihubungi di Jakarta, Senin (14/1/2019).
Menurut Bhima, rendahnya pertumbuhan ritel pada tahun 2018 disebabkan oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tidak signifikan. ”Pertumbuhannya stagnan di rata-rata 5 persen,” ujarnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan III-2018 melambat dibandingkan triwulan II-2018. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan III tercatat 5,01 persen. Sementara, pada triwulan II, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tercatat 5,14 persen.
Tak hanya Grup Hero yang mengurangi gerainya, Bhima menyampaikan, PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAP) pun demikian. Selain itu, sejauh ini tercatat ada lima retailer yang menutup gerainya, yaitu 7 Eleven, Matahari Mall di Pasar Raya Blok M dan Manggarai, Lotus Department Store, Debenhams, dan GAP.
Dalam keterangan pers, Corporate Affairs GM PT Hero Supermarket Tbk Tony Mampuk mengatakan, penutupan ini untuk mendukung keberlanjutan bisnis dengan memaksimalkan produktivitas kerja melalui proses efisiensi. Sebanyak 26 toko telah ditutup dan ada 532 karyawan yang terdampak dari kebijakan efisiensi tersebut.
”Sebesar 92 persen dari karyawan yang dirumahkan telah menerima dan menyepakati mengakhiri hubungan kerja. Mereka juga telah mendapatkan hak sesuai dengan Undang-Undang Kementerian Tenaga Kerja RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” kata Tony.
Sampai dengan kuartal III-2018, PT Hero Supermarket mengalami penurunan total penjualan sebanyak 1 persen menjadi Rp 9,85 triliun dibandingkan perolehan tahun 2017, yaitu Rp 9,96 triliun.
Tony menyampaikan, penurunan tersebut disebabkan penjualan pada bisnis makanan yang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Meski demikian, bisnis nonmakanan tetap menunjukkan pertumbuhan yang cukup kuat.
”Perusahaan saat ini sedang menghadapi tantangan bisnis, khususnya dalam bisnis makanan. Oleh karena itu, kami mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan usaha di masa yang akan datang,” ujar Tony.
Bhima juga menyampaikan, pelemahan daya beli masyarakat di sejumlah ritel bukan disebabkan perpindahan konsumsi masyarakat ke e-dagang. Sebab, porsi e-dagang baru kecil, yaitu sekitar 1 hingga 2 persen dari total ritel.
Pelemahan daya beli masyarakat di sejumlah ritel konvensional bukan disebabkan perpindahan konsumsi masyarakat ke e-dagang.
”Sebesar 70 persen barang yang dijual di e-commerce adalah mode, sementara yang dijual di supermarket adalah fast moving consumer goods (FMCG) atau barang kebutuhan sehari-hari. Jadi, marketnya pun berbeda,” kata Bhima.
Lebih lanjut, Bhima menjelaskan, melemahnya daya beli masyarakat, khususnya dialami masyarakat perkotaan. Saat ini, bunga kredit semakin mahal sehingga masyarakat akan berpikir ulang ketika berbelanja menggunakan kartu kredit. Belum lagi cicilan rumah dan kendaraan bermotor yang naik. ”Maka, alokasi untuk membeli kebutuhan pokok di supermarket berkurang," katanya.
Kondisi pengurangan, bahkan penutupan gerai, akan terus berlanjut selama konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat melemah. (SHARON PATRICIA)