JAKARTA, KOMPAS — Investasi rasa aman masyarakat Indonesia masih belum terarah pada produk asuransi jiwa. Industri asuransi jiwa perlu bekerja keras untuk menarik minat masyarakat menjadi nasabah.
Pengamat asuransi dan juga mantan Komisaris Independen PT Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 Irvan Rahardjo, saat dihubungi di Jakarta, Senin (14/1/2019), mengatakan, produk asuransi belum laris di Indonesia karena kondisi sosial Indonesia erat dengan semangat saling membantu.
”Indonesia memiliki budaya untuk memberikan bantuan sosial yang berasal dari nilai gotong royong dan ajaran agama. Bantuan bisa diwujudkan dalam bentuk penggalangan dompet bencana serta pemberian sedekah, zakat, infak, dan wakaf,” tuturnya.
Secara umum, berdasarkan data yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penetrasi asuransi di Indonesia baru mencakup 3,01 persen dari seluruh penduduk pada November 2018. Ini berarti persentase penetrasi asuransi hanya berkembang sebesar 0,7 persen sejak 2017 yang memiliki cakupan sebesar 2,84 persen.
Irvan melanjutkan, minimnya minat terhadap asuransi kemudian diperburuk oleh semakin banyak kasus gagal bayar dan penolakan klaim terhadap nasabah. Sejumlah perusahaan menunda membayar polis jatuh tempo, seperti PT Asuransi Jiwasraya pada 2018.
Bahkan, perusahaan seperti PT Bumi Asih Jaya, Asuransi Jiwa Nusantara, PT Asuransi Jiwa Bakrie, serta PT Asuransi Raya gagal membayar sehingga izin operasi dicabut selama beberapa tahun terakhir.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu mengatakan, pada dasarnya, bisnis asuransi jiwa turut menerapkan prinsip gotong royong. ”Uang premi yang dikumpulkan perusahaan digunakan untuk menanggung sebagian masyarakat yang terkena musibah,” ujarnya.
Pelaku usaha berupaya memberikan sosialisasi terkait asuransi secara berkala kepada masyarakat. Sosialisasi berperan vital guna meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. Ketika kedua hal tersebut tercapai, penetrasi asuransi secara tidak langsung akan ikut meningkat.
Dalam survei nasional OJK berjudul ”Literasi dan Inklusi Keuangan pada 2016”, indeks literasi keuangan Indonesia baru mencapai 29,66 persen tahun 2016. Sementara indeks inklusi keuangan sebesar 67,82 persen pada 2016.
Belum meningkat
Menurut Togar, dengan adanya asuransi sosial milik pemerintah, BPJS Kesehatan, literasi mayoritas masyarakat Indonesia terkait asuransi sudah membaik. Namun, penetrasi asuransi jiwa komersial belum meningkat signifikan.
Togar melanjutkan, pelaku usaha telah berupaya menciptakan berbagai variasi produk asuransi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat. ”Beberapa telah menjual asuransi mikro dengan premi sekitar Rp 50.000 per tahun,” ujarnya.
Data AAJI menyebutkan, jumlah tertanggung individu telah mencapai 17,67 juta orang per kuartal III-2018. Dengan demikian, jumlah penetrasi asuransi jiwa berkisar 0,06 persen berbanding jumlah seluruh penduduk yang mencapai 265 juta orang.
Secara terpisah, Presiden Direktur PT Prudential Life Assurance (Prudential Indonesia) Jens Reisch menyampaikan, Prudential telah melakukan kegiatan literasi keuangan di sejumlah kota. Informasi terkait asuransi telah disebarkan lintas platform, seperti media sosial, blog, dan media massa.
”Kami ingin fokus menjaring kelas menengah baru di Indonesia. Gaya hidup mereka boleh fokus untuk bepergian dan mencari pengalaman, tetapi akan kami ingatkan ada tanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan menabung,” tutur Reisch.
Namun, seperti disampaikan Irvan, jangkauan produk asuransi ke daerah pelosok membutuhkan waktu karena terkendala akses infrastruktur fisik. Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki jangkauan pasar adalah melalui teknologi digital.
Perusahaan asuransi perlu mulai memanfaatkan platform e-dagang untuk menjual asuransi. ”Kendati demikian, sosialisasi dan penjualan asuransi melalui agen tetap dibutuhkan untuk saling melengkapi,” ucapnya.