JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memprioritaskan pembangunan jaringan gas rumah tangga dan pembagian alat konversi ke elpiji untuk nelayan. Adapun pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas atau SPBG dan pembagian alat konversi ke gas untuk kendaraan dihentikan mulai 2018. Terbatasnya anggaran pemerintah adalah salah satu penyebabnya.
Terakhir kali pembagian alat konversi ke gas untuk kendaraan pribadi dan pembangunan SPBG terjadi pada 2017. Sampai tahun tersebut, 8.000 paket alat konversi ke gas untuk kendaraan pribadi telah dibagikan dan 46 SPBG selesai dibangun. Pemerintah memastikan tahun ini tak ada program pembagian alat konversi dan pembangunan SPBG.
”Sejak 2018, kami memprioritaskan pembagian paket alat konversi gas untuk nelayan dan pembangunan jaringan gas rumah tangga. Selain itu, paket konversi minyak tanah ke elpiji juga tetap dilaksanakan. Pembangunan SPBG dan konventer kit kendaraan pribadi peruntukannya kepada kalangan mampu, sedangkan alat konversi untuk nelayan dan paket konversi minyak tanah ke elpiji lebih terasa manfaatnya,” kata Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Alimuddin Baso, akhir pekan lalu, di Jakarta.
Kendati tak ada lagi pembangunan SPBG, lanjut Alimuddin, pemerintah tetap menggalakkan pemakaian gas untuk kendaraan. Caranya adalah dengan pengoperasian pengisian bahan bakar gas bergerak (mobile refuelling unit/MRU). Pemerintah bersama PT Pertagas Niaga, salah satu anak usaha PT Pertamina (Persero), pada awal Januari lalu mulai memasok bahan bakar gas alam terkompresi (CNG) untuk bus angkutan umum di Kota Semarang, Jawa Tengah.
”Pemanfaatan gas untuk transportasi, khususnya transportasi umum, sangat membutuhkan dukungan pemerintah setempat. Di Kota Semarang, 72 armada bus Trans Semarang mulai menggunakan bahan bakar gas yang dipasok dari MRU milik Pertagas,” ujar Alimuddin.
Mengacu pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), sampai tahun ini seharusnya sudah terbangun 231 SPBG di berbagai wilayah di Indonesia. Dengan jumlah SPBG sebanyak itu, kebutuhan gas diperkirakan 103 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Namun, dengan terbangunnya 46 SPBG sampai 2017, target dalam RUEN sangat sulit dicapai.
Pemakaian gas untuk kendaraan dianggap lebih murah ketimbang menggunakan bahan bakar minyak jenis premium sekalipun. Tuntje Kaat (55), salah satu pengemudi taksi di kawasan Kota Tangerang Selatan, mengatakan, pengeluaran untuk bahan bakar jauh lebih hemat saat menggunakan CNG ketimbang premium yang harganya Rp 6.450 per liter tersebut. Namun, penggunaan CNG tak maksimal lantaran tak ada SPBG di kawasan Tangerang Selatan.
”Paling dekat, saya harus mengisi gas di Cilandak (Jakarta Selatan). Tak efisien karena saya tinggal di Pamulang (Banten). Padahal, ongkos untuk gas hanya setengah dari ongkos membeli BBM,” ucap Tuntje.
Mengacu Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2017 tentang Percepatan Pemanfaatan Bahan Bakar Gas untuk Transportasi Jalan, stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) yang berada di wilayah tertentu wajib menyediakan sarana pengisian CNG sedikitnya satu unit dispenser. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 21 peraturan tersebut. Pemerintah mengaku tengah mengkaji penahapan pelaksanaan aturan tersebut untuk daerah Jawa dan luar Jawa.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kebijakan pengoptimalan gas untuk transportasi sebaiknya harus terintegrasi mulai dari hulu. Yang ia maksud adalah produsen kendaraan wajib memproduksi kendaraan yang sudah siap berbahan bakar gas, tak hanya BBM. Cara itu akan memudahkan konsumen menggunakan gas sebagai bahan bakar kendaraan mereka.
”Jika hal-hal semacam itu tak disiapkan, masalah lama akan terulang kembali, yaitu banyak SPBG yang nganggur karena tidak ada pembelinya,” kata Komaidi.