Kota Tangerang Selatan melangkah menuju kota cerdas. Bersama komunitas, kota berusia 10 tahun ini mulai mengurangi sampah. Namun, masih banyak pekerjaan rumah lain.
Oleh
PINGKAN ELITA DUNDU
·4 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS - Warga Kota Tangerang Selatan, Banten, menilai pantas jika kotanya menyandang gelar kota metropolitan cerdas ketiga se-Indonesia. Meski begitu, pelayanan publik masih perlu dibenahi.
Tangerang Selatan mendapat penghargaan Indeks Kota Cerdas Indonesia 2018 dari Harian Kompas, Rabu (9/1/2019). Kota ini menjadi kota metropolitan paling cerdas ketiga se-Indonesia dengan skor 61,68 berdasarkan konsep Smart City Wheel yang dicetuskan Boyd Cohen. Surabaya (Jawa Timur) dan Semarang (Jawa Tengah) berada di posisi pertama dan kedua.
Nilai tertinggi dalam penilaian Kota Tangerang Selatan ini didapat dari kreativitas masyarakat, yaitu 5,17.
Ditemui di Tangerang Selatan, Sabtu (12/1/2019), Nuri (23), warga Pamulang, mengatakan, kotanya pantas disebut kota cerdas. Penilaian ini tumbuh dari pengetahuannya tentang anak-anak muda yang membuat berbagai inovasi teknologi.
“Kalau saya baca di media, sekarang banyak anak muda yang bikin inovasi di bidang teknologi, misalnya bikin robot dan kompor tenaga surya. Anak-anak muda ini yang bisa memotori berbagai inovasi untuk disalurkan ke generasi selanjutnya,” kata Nuri yang sudah 20 tahun tinggal di Pamulang.
Meskipun begitu, Nuri merasa pelayanan publik perlu ditingkatkan. Ia mengaku masih kerepotan saat memperbarui kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) di kantor kecamatan. Data Nuri sudah tercatat sejak 2012, namun proses pembuatan foto baru terlalu berbelit-belit.
Petugas di kantor Kecamatan Pamulang menyuruhnya mengirim pesan via WhatsApp ke akun Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) di Cilenggang, Serpong. Ia pun harus menunggu lama sampai KTP-el jadi.
“Meskipun dari segi pendidikan sudah bagus, pelayanan publik perlu ditingkatkan,” kata Nuri.
Nikko (31), pengojek daring yang tinggal di Jombang, Ciputat, baru dua tahun terakhir pindah dari Jakarta Timur ke Tangerang Selatan. Sebagai warga yang relatif baru, ia senang tinggal di kota berusia 10 tahun ini. Infrastruktur kota seperti perumahan dan jalan dinilainya bagus meski masih banyak ruas jalan yang berlubang saat musim hujan.
Namun, Nikko mengeluhkan angkutan kota yang tidak diatur baik. Di beberapa stasiun kereta seperti Stasiun Sudimara yang jalannya tidak lebar, angkot seringkali ngetem sehingga menimbulkan kemacetan.
Sebaliknya, Hata (41), pedagang di Pasar Modern BSD, mengatakan, Tangerang Selatan belum pantas disebut kota cerdas. Kota cerdas seharusnya didukung koneksi internet di seluruh kota serta sistem transportasi yang lebih baik. “Kalau mau disebut kota cerdas, saya rasa belum. Seharusnya di mana-mana ada wifi supaya bisa stay connected. Terus transportasi publiknya belum sampai menjangkau ke dalam area pemukiman,” kata Hata yang sudah berdagang di situ selama 10 tahun.
Meski demikian, Hata mengapresiasi kualitas hidup yang baik. Sebab, rumah dan tempatnya berdagang di kompleks BSD City tergolong dekat serta relatif aman.
Membangun partisipasi
Sementara, Tangerang Selatan memiliki aplikasi pengaduan masyarakat, yaitu Mobile SIARAN (Sistem Pelaporan dan Penugasan).
Saat ditanyakan soal aplikasi ini, baik Nuri, Nikko, maupun Hata belum mengetahui adanya Mobile SIARAN. Mereka menyatakan akan mencoba.
Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sepakat bahwa partisipasi masyarakat menjadi keunggulan kota dengan jumlah penduduk 1,3 juta jiwa berdasarkan kartu kependudukan dan 1,5 juta jiwa sesuai data BPS.
Dari partisipasi masyarakat ini, kata Airin, kaum muda banyak berperan membangun lingkungan melalui organisasi Karang Taruna dan organisasi kemasyarakatan lain di tingkat RT/RW. "Luar biasa bentuk partisipasi anak muda selama tujuh tahun saya memimpin kota ini," kata Airin usai Pemberian Penghargaan IKCI di kantor Harian Kompas, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (9/1).
Bank sampah
Salah satu bentuk partisipasi itu adalah penanganan sampah. Anak muda ini membangun bank sampah untuk mengatasi kebersihan di RT/RW masing-masing.
"Sebagai fasilitator, komunitas sampah menginginkan kami (pemkot) membuat semacam "Bank Indonesia" untuk bank sampah karena selama ini para pengepul sering bermain dengan harga. Mereka akhirnya memiliki kontrol harga ditingkat pengepul," kata Airin.
Dari inisiatif ini hadir komunitas bank sampah dan Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, dan Recycle (TPS3R). TPS3R setidaknya mengatasi masalah pengolahan sampah sebelum masuk ke TPA Cipeucang, Serpong.
Adalah Komnitas LabTanya, komunitas anak muda yang ikut menata Kota Tangerang Selatan. Komunitas yang berdiri sejak tahun 2015 ini berkolaborasi dengan Kelompok Kolektif Kurator, serta menggandeng dan merangkul komunitas di RT dan RW.
Pendiri Komunitas LabTanya Adi Wibowo mengatakan, mereka memiliki program Kota Tanpa Sampah dan memulainya dengan Rumah Minim Sampah. Program ini mengajak warga untuk mengumpulkan beragam pengetahuan mengenai sampah dan upaya mengurangi sampah.