JAKARTA, KOMPAS - Ketahanan berdemokrasi di Indonesia diuji dengan masih terus berlarutnya polemik kasus pencalonan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah Pada Pemilu 2019. Sejumlah pakar hukum tata negara dan hukum administrasi negara meminta semua pihak melihat kasus tersebut sebagai ancaman bagi konstitusi negara alih-alih sebagai perkara pribadi.
Sebagian di antara hal tersebut mengemuka dalam diskusi terkait eksaminasi Putusan Bawaslu Nomor Nomor 008/LP/PL/ADM/RI/00.00/XII/2018 tentang Pelanggaran Administratif Pemilu oleh KPU terkait Pencalonan DPD, Senin (14/1/2019) di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jakarta. Hadir dalam kesempatan tersebut, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang Auliya Khasanofa, dan Bivitri Susanti (Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara).
Dalam diskusi tersebut, Titi mengutip publikasi "The Global State of Democracy: Exploring Democracy’s Resilience" yang diterbitkan International Institute for Democracy and Electoral Assistance (2017) mengilustrasikan kasus tersebut sebagai ancaman dari dalam yang menyebabkan ketahanan demokrasi menghadapi kemunduran. Titi menyatakan, polemik pencalonan Oesman Sapta, meskipun tidak sama persis, mirip dengan praktik penguasa tiran dalam upaya untuk mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan logika hukum yang memperlemah konstitusi seperti ditulis dalam jurnal tersebut.
Kasus Oesman Sapta bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang pada intinya menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak diisi fungsionaris partai politik. Putusan itu menjadi dasar KPU menyusun PKPU Nomor 26/2018 yang menjadi landasan untuk mencoret Oesman dari daftar calon tetap (DCT). Ini lantas ditindaklanjuti dengan gugatan Oesman ke Bawaslu.
Pada 11 Oktober 2018, Bawaslu mengeluarkan putusan Nomor 005/ADM/BWSL/PEMILU/IX/2018 yang menyatakan pada pokoknya tidak ada pelanggaran oleh KPU atas sikap mereka tidak memasukkan Oesman ke dalam DCT. Oesman kemudian melakukan judicial review ke Mahkamah Agung serta menggugat KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan lantas menang.
Pascaputusan PTUN Jakarta, KPU tetap tidak memasukkan Oesman Sapta ke dalam DCT. Atas keputusan itu, KPU dilaporkan ke Bawaslu atas dugaan pelanggaran administratif. Pada 7 Januari lalu, Bawaslu memutuskan bahwa KPU melanggar administrasi pemilu. Bawaslu pun memerintahkan KPU memasukkan Oesman Sapta ke dalam DCT.
Titi menilai, kasus tersebut sebagai salah satu bentuk perlawanan putusan MK dengan upaya hukum. “(Ini) Perlawanan terhadap supremasi konstitusi,” ujar Titi.
Ganggu dinamika ketatanegaraan
Ia menambahkan, kasus tersebut juga mengganggu dinamika ketatanegaraan dan menimbulkan benturan antarlembaga peradilan. Padahal, imbuhnya, putusan MK telah terang benderang dan seharusnya dihormati alih-alih dilawan dengan logika hukum.
“Tidak boleh WNI (berada) di atas konstitusi,” sebut Titi.
Bahkan, ia menyebutkan jika upaya tersebut terus menerus dilanjutkan, itu sama artinya dengan membuka “kotak pandora” tata kelola bernegara. Menurut dia, bukan tidak mungkin ketidaktaatan terhadap putusan MK dengan menguji persoalan yang sama ke lembaga peradilan lain bakal memorakrandakan desain konstitusi.
Sementara itu, Bayu Dwi Anggono menyebutkan bahwa putusan Bawaslu terakhir memiliki empat kekurangan. Pertama, putusan itu melampaui wewenang karena bertentangan dengan Pasal 461 ayat (6) UU Pemilu.
Putusan Bawaslu terakhir memiliki empat kekurangan
Kedua, bertindak sewenang-wenang karena bertentangan dengan Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018. Ketiga, inkonsisten dengan Putusan Bawaslu yang sebelumnya. Keempat, putusan tersebut dinilai hanya sekedar menunda penyelesaian masalah dan sulit dipraktikkan serta cenderung menjadi bom waktu.
Menurut Bayu, Bawaslu membuat tafsir hukum baru dalam putusan terakhirnya. Tafsir baru itu terutama yang terkait dengan amar putusan kelima yakni bila Oesman tidak menyerahkan surat pengunduran diri sebagai pengurus parpol maka tidak perlu ditetapkan sebagai calon terpilih. Ia menambahkan, amar putusan tersebut menempatkan Bawaslu pada posisi yang seolah-olah berperan seperti Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, Bivitri Susanti menyebutkan, bahwa tidak ada opsi bagi KPU untuk menjalankan putusan Bawaslu dengan sebagaimana adanya. Ia menilai putusan itu cukup dijawab dengan surat biasa atau merespon dengan meminta perjanjian bernilai hukum dari Oesman.
“(Bahwa) Jika terpilih akan mundur sesuai UU yang ada,” ujar Bivitri.
Bivitri menegaskan,upaya yang dilakukan para pakar itu bukan dimaksudkan untuk pribadi Oesman atau bahkan Bawaslu. Akan tetapi hal yang lebih besar, yakni konstitusi Indonesia.
“Kami ingin menjaga Bawaslu, KPU, dan konstitusionalitas kita,” sebutnya.