Bambang Widodo Umar dan Pembajakan Pesawat Pertama di Indonesia
Oleh
Iwan Santosa
·4 menit baca
Senin pagi (14/1), pesan di grup media sosial aktivis menyampaikan kabar duka. Bambang Widodo Umar, aktivis reformasi hukum dan mantan Polisi, berpulang di RS Persahabatan, Jakarta Timur. Di luar kiprahnya sebagai aktivis reformasi hukum dan Polri, Kombes (Purn) Bambang Widodo Umar adalah pelaku sejarah, sebagai aparat yang menangani pembajakan pertama pesawat terbang komersial di Indonesia.
“Mas tahu aja cerita itu,” begitu komentar singkat Bambang sambil terkekeh ketika ditanya peristiwa tahun 1972 itu.
Bagi kebanyakan teman-teman aktivis, Bambang memang tidak pernah membanggakan prestasinya itu. Saat itu, sebagai perwira polisi yang baru lulus dengan pangkat Inspektur Polisi Dua (Ipda), ia menjadi negosiator dan terlibat langsung melumpuhkan pembajak pesawat Merpati Nusantara Airlines (MNA).
Peristiwa itu terjadi di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, tanggal 5 April 1972. Sebelumnya, pesawat dengan nomor penerbangan 171 itu terbang dengan rute Manado – Jakarta via Makassar – Surabaya. Pesawat dibajak saat posisi penerbangan di sekitar udara Tegal di ketinggian 14.000 kaki, sebelum akhirnya mendarat di Yogyakarta dan tidak mematikan mesin (cut engine).
Dalam catatan majalah Angkasa, pria kelahiran tahun 1947 itu seorang diri mendatangi pesawat Merpati yang tengah dibajak dan menyelundupkan sepucuk pistol ke kokpit.
Dia mengikuti perundingan dengan pembajak tunggal, Hermawan, seorang mantan tentara yang membawa sepasang granat dan mengajukan tuntutan uang tebusan Rp 20 juta (jumlah yang sangat besar ketika itu). Diperkirakan jumlah uang tunai di bank yang ada di Kota Yogyakarta hari itu pun tidak sampai Rp 20 juta.
Semasa itu, belum ada panduan antiteror bagi penegak hukum termasuk personil Polri yang masih menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) semasa itu. Belum ada pelatihan dan perlengkapan canggih seperti dimiliki Densus 88 Anti Teror Polri. Apalagi Ipda Bambang Widodo Umar adalah polisi yang baru lima bulan lulus dari pendidikan AKABRI.
Sebagai intel Polisi di Yogyakarta, Bambang yang berperawakan kecil, berhasil menyelusup masuk ke Bandara Adi Sucipto dari arah rel kereta api. Berbekal revolver Colt, ia mendatangi pesawat yang diawaki Kapten Hindiarto (perwira AURI) dan Kopilot Soleh.
Bambang meminta awak darat mendorong tangga yang digunakannya untuk memanjat naik ke arah jendela kokpit di sebelah kiri (posisi pilot). Gerak-gerik mereka tidak terdengar karena tertelan deru suara mesin pesawat. Bambang mendekat ketika dilihatnya orang ketiga yang mondar–mandir (pembajak) tidak terlihat siluetnya di kokpit.
Pilot Hindiarto sempat menanyakan kepada Bambang apakah dia membawa uang tebusan ketika Bambang memanjat naik. Pada kesempatan berikut, menjelang Maghrib, Bambang kembali mendekat dan berbicara kepada pilot sambil membawa sepucuk revolver Colt.
Pilot Hindiarto mengatakan dirinya anggota AURI dan bisa menggunakan senjata. Bambang pun menyerahkan pistolnya ke Hindiarto yang kemudian menembak pembajak yang kembali ke kokpit, setelah mendatangi kabin penumpang di belakang.
Tercatat Hindiarto menembak tiga kali ke tubuh Hermawan yang mulai menyalakan serbuk peledak. Beruntung apinya kemudian mati karena tertimpa tubuh Hermawan setelah ditembak. Berakhirlah drama pembajakan pesawat penumpang pertama di Indonesia ketika itu.
Waktu pun bergulir, di era Reformasi 1998, Bambang menjadi salah satu penggerak reformasi Polri dan HAM serta bergaul dengan aktivis antikorupsi. Dia aktif mengajar di kajian Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia dan berbagai kampus. Dia juga dekat dengan para aktivis kemanusiaan jaringan Presiden Abdurrahman Wahid. Salah seorang sahabatnya yang juga pengacara, Irwan Melayoe mengatakan, Bambang Widodo Umar tidak pernah mengeluhkan dirinya sakit.
Ketika terjadi perbedaan pendapat antara aktivis Bambang Widjojanto dan Komjen Polisi Budi Gunawan, Presiden Joko Widodo mengundang Bambang Widodo Umar bersama Buya Syafi’i Maarif dan sejumlah tokoh untuk dimintai nasehat.
Anak kedua Bambang, Delima Rokhayati mengatakan, ayahnya sebelum meninggal dunia sempat dirawat dua pekan di RS Persahabatan, Jakarta Timur, akibat kanker paru-paru. “Sebelumnya, beliau masih aktif mengajar dan mengisi seminar,” katanya.
Dalam berbagai forum, semisal dengan Kontras dan Imparsial, Bambang Widodo Umar sering hadir dan menjadi narasumber, terutama terkait reformasi hukum dan HAM. Bambang Widodo Umar meninggalkan seorang isteri, Ismawati, dan tiga orang anak, yakni Woro Setiati, Delima Rokhayati, dan putri bungsunya Danaryanti Widowati yang sudah lebih dulu berpulang.
Hingga menjelang tengah hari di rumah duka di Jalan Haji Jeni I, berbagai karangan bunga ucapan duka cita dari para aktivis, kampus, dan pejabat Kepolisian Republik Indonesia berdatangan ke rumah Bambang Widodo Umar. Penulis sempat bertemu Irjen (Purn) Togari Sianipar. Para sesepuh Polri lainnya juga nampak berdatangan menyampaikan belasungkawa. Selamat jalan Pak Bambang Widodo Umar, nara sumber dan guru soal hukum dan HAM...