Infrastruktur Kota Dorong Kultur Masyarakat Cerdas
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Warga Kota Tangerang Selatan, Banten, menilai pantas jika kotanya menyandang gelar kota metropolitan cerdas ketiga se-Indonesia. Meski begitu, tetap ada aspek-aspek yang perlu diselesaikan pemerintah kota setempat.
Kota cerdas tidak hanya bergantung pada infrastrukturnya, tetapi juga bagaimana infrastruktur dapat mendorong kualitas manusia dan perubahan kultur hidup masyarakatnya.
Ditemui di ITC Bumi Serpong Damai (BSD) City, Sabtu (12/1/2019), Nuri (23), warga Pamulang, mengatakan, kotanya sudah pantas disebut kota cerdas. Penilaian ini tumbuh dari pengetahuannya tentang anak-anak muda yang membuat berbagai inovasi teknologi.
”Kalau saya baca di media, sekarang sudah banyak anak muda yang bikin inovasi di bidang teknologi, misalnya bikin robot dan kompor tenaga surya. Anak-anak muda ini yang bisa memotori berbagai inovasi untuk disalurkan ke generasi selanjutnya,” tutur Nuri yang sudah 20 tahun tinggal di Pamulang.
Meski demikian, Nuri merasa pelayanan publik perlu ditingkatkan. Pengalamannya memperbarui kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) di kantor kecamatan membuatnya kerepotan. Data Nuri sudah tercatat sejak 2012, tetapi proses pembuatan foto baru terlalu berbelit-belit.
Kanto Kecamatan Pamulang pun menyuruhnya mengirim pesan via Whatsapp menuju akun Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) di Cilenggang, Serpong. Ia pun harus menunggu cukup lama, sampai KTP-el barunya jadi. ”Meskipun dari segi pendidikan sudah bagus, pelayanan publik perlu ditingkatkan,” ucap Nuri.
Nikko (31), pengojek daring yang tinggal di Jombang, Ciputat, baru dua tahun terakhir pindah ke Tangerang Selatan dari Jakarta Timur. Sebagai warga yang relatif baru, ia merasa cukup senang tinggal di kota berusia 10 tahun tersebut. Infrastruktur kota, seperti perumahan dan jalan, dinilainya sudah bagus meski masih banyak ruas jalan yang berlubang saat musim hujan.
Namun, Nikko mengeluhkan angkutan kota yang tidak diregulasi secara baik. Di beberapa stasiun kereta, seperti Stasiun Sudimara, yang jalannya tidak lebar, angkot sering kali berhenti lama untuk menunggu penumpang (ngetem) sehingga menimbulkan kemacetan.
”Kayak di Jalan Raya Jombang, seharusnya jalan diperlebar supaya angkot bisa ada tempat berhenti. Perlu regulasi supaya enggak ngetem terlalu lama,” kata Nikko. Ia membandingkan keadaan tersebut dengan sistem Jak Lingko yang sekarang berlangsung di Jakarta. Angkot pun dilarang ngetem.
Jaringan internet
Sebaliknya, Hata (41), yang sudah berdagang di Pasar Modern BSD selama 10 tahun, mengatakan, Tangerang Selatan belum pantas disebut kota cerdas. Kota cerdas seharusnya didukung koneksi internet di seluruh kota serta sistem transportasi yang lebih baik.
”Kalau mau disebut kota cerdas, saya rasa belum. Seharusnya di mana-mana ada Wi-Fi supaya bisa stay connected. Terus, transportasi publiknya belum sampai menjangkau ke dalam area permukiman,” ujarnya.
Meski demikian, Hata mengapresiasi kualitas kehidupan yang baik. Sebab, rumah dan tempatnya berdagang di kompleks BSD City tergolong dekat serta relatif aman. Pendidikan anaknya di Sekolah Katolik St John’s juga terjamin.
Sebelumnya, Tangerang Selatan mendapat penghargaan Indeks Kota Cerdas Indonesia 2018 dari Kompas pada Rabu (9/1/2019) sebagai kota metropolitan paling cerdas ketiga se-Indonesia dengan skor 61,68 berdasarkan konsep Smart City Wheel yang dicetuskan Boyd Cohen. Surabaya (Jawa Timur) dan Semarang (Jawa Tengah) masing-masing berada di posisi pertama dan kedua.
Nilai tertinggi dalam penilaian ini didapat dari kreativitas masyarakat, yaitu 5,17 dari 15,89 dalam komponen masyarakat cerdas. Hal ini terlihat dari keberadaan komunitas LabTanya yang giat membangun permukiman serta mendorong warganya bergabung dalam aktivitas seni.
Adapun dari segi pemerintahan, Tangerang Selatan unggul karena aplikasi pengaduan masyarakat, yaitu Mobile SIARAN (Sistem Pelaporan dan Penugasan). Namun, Nuri, Nikko, dan Hata belum mengetahui keberadaan aplikasi tersebut. Mereka menyatakan akan mencoba.
Perubahan
Pengamat tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan, Tangerang Selatan diuntungkan oleh keberadaan penduduk kelas menengah atas yang berpendidikan tinggi.
Di samping itu, keberadaan pengembang juga mendorong pertumbuhannya yang pesat. Peran pemegang kepentingan (stakeholder) nonpemerintah berpengaruh pada kualitas hidup warga kota.
”Kota yang smart adalah kota yang menarik bagi para pengembang untuk berinvestasi. Hasilnya, Tangerang Selatan lebih cepat berubah dengan tumbuhnya infrastrukturnya yang memudahkan kehidupan warga. Layanan kota seperti pemerintahan, komunikasi, jaringan, dan jalan memfasilitasi warga dengan mereduksi biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk mengaksesnya,” tutur Yayat.
Menurut Yayat, efek pembangunan kota cerdas adalah kultur baru akan kehidupan yang lebih efisien. Layanan yang didukung sistem daring, seperti pelaporan keluhan, dapat mendukung kultur efisien ini.
Hasilnya, indeks pembangunan manusia Tangerang Selatan mencapai 80,84 pada 2017, di atas rata-rata Provinsi Banten (71,42), menurut Badan Pusat Statistik (BPS).
Laju pembangunan ekonominya pun tertinggi dibandingkan tujuh kota dan kabupaten lainnya, yaitu 8,54 persen per tahun pada 2012. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)