Indeks Demokrasi Indonesia Stagnan, Komitmen Elite Diuji
Oleh
Agnes Theodora Wolkh Wagunu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia akan menghadapi ujian berdemokrasi pada Pemilihan Umum 2019 di tengah stagnasi kehidupan demokrasi dan kultur politik yang pragmatis. Introspeksi para elite untuk mengedepankan etika berpolitik dalam kontestasi pemilu menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik pada demokrasi sekaligus menyelamatkan tingkat partisipasi pemilih.
Indeks Demokrasi Dunia 2018 yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit pada 8 Januari 2019 menunjukkan, Indonesia mengalami stagnasi kehidupan berdemokrasi dalam satu tahun terakhir. Tidak hanya di Indonesia, fenomena yang sama dapat ditemukan pula di mayoritas negara yang diteliti The Economist.
Penilaian Indeks Demokrasi Dunia berbasis pada lima aspek, yaitu proses elektoral dan pluralisme, kebebasan sipil, pemerintahan yang berfungsi, partisipasi politik, dan kultur politik.
Di tingkat global, peringkat Indeks Demokrasi Indonesia 2018 ada di posisi ke-65 dengan skor indeks 6,39. Penilaian terendah khususnya ada pada aspek kultur politik dengan skor 5,63 dan kebebasan sipil dengan skor 5,59. Dalam skala 0-10, semakin besar nilai indeks, semakin baik kondisi demokrasinya.
Peringkat indeks demokrasi Indonesia itu menunjukkan peningkatan dari sebelumnya pada 2017, yaitu posisi ke-68. Kendati demikian, skornya tetap sama pada poin 6,39, dengan stagnasi pada aspek kultur politik dan kebebasan sipil. Dengan indeks yang tidak meningkat itu, secara umum, Indonesia masih masuk kategori flawed democracy.
Kultur politik
The Economist mencatat, aspek kultur politik yang rendah dan stagnan di Indonesia juga ditemukan di beberapa negara lain. Namun, di negara lain, kultur politik yang rendah itu tidak memunculkan apatisme berdemokrasi. Justru, partisipasi politik cenderung meningkat, seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada Pemilu Sela 2018, dengan tingkat partisipasi pemilih tertinggi untuk pemilu sela sejak 1914.
Di Indonesia, sama dengan aspek lainnya, partisipasi politik sejauh ini juga tidak menunjukkan peningkatan. Skor partisipasi politik pada 2017 dan 2018 tetap sama di nilai 6,67. Kendati demikian, tingkat partisipasi politik itu akan teruji saat Indonesia menghadapi agenda besar Pemilu 2019 di depan mata pada 17 April 2019.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Ahmad Basarah mengakui, politik belakangan ini lebih banyak dimaknai secara pragmatis sebagai jalan merebut kekuasaan dengan segala cara. Ini semakin kentara terasa karena sejak 2017, Indonesia resmi memasuki tahun politik dengan kontestasi pemilihan kepala daerah di sejumlah wilayah, serta persiapan menyambut Pemilu 2019.
Dalam berbagai kontestasi itu, wacana politik yang muncul di ruang publik berisi beragam perdebatan dan kegaduhan yang tidak mendorong perbaikan agenda demokrasi.
Urusan politik ditanggapi dengan perasaan dan berdasarkan politik identitas, yang memunculkan berbagai kesalahpahaman di antara kelompok masyarakat.
Ia mengkhawatirkan, berbagai kegaduhan politik itu bisa memunculkan antipati dan penurunan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan memengaruhi tingkat partisipasi pemilih pada pesta demokrasi 2019. Oleh karena itu, elite harus mengantisipasi tren tersebut dan memperbaiki kultur politiknya dengan mulai mengedepankan etika dalam berkontestasi.
Menurut dia, introspeksi diri harus dimulai di semua lini. Pendidikan politik tidak hanya untuk rakyat, tetapi juga para elite. Kedua pihak perlu introspeksi diri dengan menunjukkan kultur politik berjiwa besar, terutama dalam menerima perbedaan sikap politik dengan sesamanya.
”Jika tidak segera diantisipasi, berbagai kegaduhan dan praktik politik pragmatis itu bisa memunculkan apatisme. Ujung-ujungnya, partisipasi politik masyarakat akan terus menurun,” katanya.
Sementara Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Simanjuntak, mengakui, secara kasatmata, ada penurunan kultur politik akhir-akhir ini. Selama beberapa tahun terakhir, Dahnil menilai ada kultur stigmatisasi terhadap kelompok oposisi dan pengkritik pemerintah yang berujung pada praktik penegakan hukum yang tidak adil.
Sementara itu, kultur politik yang pragmatis dan terbelah semakin kentara tampak khususnya sejak kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017. Persaingan dua kekuatan elite saat itu terbawa sampai ke tingkat masyarakat akar rumput. ”Muncul kultur dendam politik yang mempertajam polarisasi di masyarakat dan itu juga kini terasa menuju pemilihan presiden saat ini,” katanya.
Untuk menyelamatkan kualitas demokrasi pada Pemilu 2019, Dahnil sepakat, edukasi terkait etika berpolitik yang bermartabat perlu dimasifkan menjelang kontestasi pilpres. Elite politik perlu menjadi teladan bagi masyarakat, khususnya mengajak masyarakat untuk terbisa menerima perbedaan sikap politik. ”Semua pihak harus melakukan introspeksi diri,” ujar Dahnil.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.