Penangkapan Kontainer Kayu Tunjukkan Kelemahan Pengawasan
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Jaringan Pemantau Independen Kehutanan mendesak agar pengawasan terhadap operasi penebangan hingga transportasi pengiriman kayu di Papua diperketat. Penyelundupan kayu berlarut-larut yang menunjukkan lemahnya pengawasan peredaran kayu bisa menurunkan kepercayaan internasional terhadap Sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK yang telah susah payah dibangun bertahun-tahun.
Ini menyusul operasi Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang kembali menggagalkan penyelundupan kayu olahan sebanyak 57 kontainer jenis merbau di Pelabuhan Soekarno Hatta Makasar pada 8 Januari 2019. Kayu-kayu ini hendak dikirimkan ke Surabaya (Kompas, 9 Januari 2019).
Sebulan sebelumnya, operasi serupa oleh Ditjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menggagalkan penyelundupan 40 kontainer kayu merbau di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur. Penyelundupan kayu jenis premium dari Papua tersebut menunjukkan kelemahan pengawasan peredaran kayu.
Kayu sebanyak itu diangkut dari hutan melintasi jalan-jalan logging hingga jalan-jalan utama di Papua. Transportasi itu pun acapkali melintasi kantor-kantor atau pos polisi,, polisi hutan, dan dinas teknis pemerintah.
“Kami mendesak semua pihak memperketat pengawasan. Di hulu, khususnya hutan Papua agar dijaga dan dipantau agar tak terulang kasus serupa. Pengawasan di hilir mulai dari dinas sampai jasa pengangkutan di pelabuhan agar ditingkatkan,” kata Muhammad Ichwan, dinamisator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Jumat (11/1/2019), saat dihubungi di Surabaya, Jawa Timur.
Ia pun mengingatkan di tahun-tahun politik seperti ini rawan penyalahgunaan kekayaan sumber daya alam untuk kepentingan politik. Kayu bernilai tinggi seperti merbau menjadi incaran karena relatif mudah didapatkan dibandingkan eksploitasi material tambang misalnya.
Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diminta tegas mencabut izin lembaga sertifikasi dan sertifikat legalitas kayu industri yang terlibat kegiatan illegal ini. Bila ini tak dilakukan, kepercayaan pasar internasional – terutama Uni Eropa – bisa runtuh dan menyulitkan industri yang beroperasi baik.
Sejak dua tahun terakhir, Uni Eropa telah mengkui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) setara dengan lisensi FLEGT milik Uni Eropa. Ini membuat setiap produk kayu dari Indonesia yang telah dilengkapi dokumen legalitas bisa melintasi jalur hijau di pelabuhan di Uni Eropa.
Pada kasus penyelundupan kayu di Surabaya, JPIK menemukan dua perusahaan penadah telah mengantongi sertifikat legalitas kayu. “Kami meragukan kualitas Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK), seiring dengan masih maraknya pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal yang dilakukan oleh industri kayu pemegang sertifikat legalitas kayu,” kata dia.
Muhammad Ichwan pun mendesak Komite Akreditasi Nasional untuk mengevaluasi kinerja LVLK yang terlibat dalam kasus illegal logging. Pada kasus 40 kontainer kayu merbau di Surabaya, JPIK pada 19 Desember 2018 mengirim surat kepada LVLK yaitu BRIK dan PT Sucofindo untuk menanyakan respons terhadap tindakan perdagangan kayu ilegal yang dilakukan UD MR dan PT SUAI.
Lebih lanjut, terulangnya kembali kasus illegal logging dan perdagangan kayu illegal, menurutnya, memperlihatkan pengawasan pada Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) masih lemah. Ini lantaran pengawasan minim di tempat penampungan kayu khususnya kawasan hulu di Papua yang beresiko tinggi terjadinya pembalakan liar.
Diminta terbuka
JPIK yang juga mengapresiasi operasi Gakkum KLHK ini pun mendesak agar penanganan tidak setengah-setengah. Ia meminta hasil penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus ini dibuka untuk umum hingga digelar kasusnya di pengadilan. Keterbukaan ini diperlukan JPIK untuk bisa membantu KLHK mengungkap kasus hingga ke akarnya.
Ini berkaca pada kasus illegal logging Labora Sitorus di Sorong, Papua Barat beberapa tahun lalu. Catatan JPIK, penegakan hukum berhenti pada industri pengirim dari Papua. Pada industri-industri penerima kayu ilegal yang menjadi tujuan kayu-kayu tersebut tidak dilakukan penindakan.
Dihubungi terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan KLHK Sustyo Iriyono mengatakan hingga kini kasus penyelundupan 57 kontainer berisi kayu merbau di Makassar masih dalam tahap penyelidikan. Dengan kata lain, pihaknya belum menentukan tersangka.
Ia mengatakan penyelidikan tidak menemui kendala dan hanya membutuhkan proses. Saat ini kata dia, pihak penyelidik dan aparat di Balai Gakkum setempat sedang mengukur dan menguji barang bukti.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menyatakan tetap berkomitmen untuk konsisten memperkuat upaya penegakan hukum untuk penyelamatan sumber daya alam. Sejak tahun 2015 hingga akhir tahun 2018, pihaknya menggelar 303 operasi pembalakan liar di berbagai daerah.