SLEMAN, KOMPAS—Panduan penilaian ekonomi atas aset negara yang berwujud karya seni menjadi hal yang penting. Penaksiran nilai ekonomi itu dapat digunakan sebagai biaya pemeliharaan terhadap aset negara tersebut. Sebab, karya seni yang tak ternilai harganya itu merupakan warisan kebudayaan yang harus dilestarikan.
Hal itu disampaikan oleh Mikke Susanto, kurator dan pengajar dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, melalui disertasinya yang berjudul "Pengembangan Indikator-Indikator Penetapan Harga Lukisan Koleksi Karya Seni Istana Keprisedenan Republik Indonesia dan Implikasinya terhadap Wacana Seni”, saat sidang doktoralnya, di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (11/1/2019).
“Agak sulit memang melihat warisan budaya dalam angka rupiah. Namun, aset negara berwujud karya seni juga persoalan Kementerian Keuangan, sehingga perlu ada nilai ekonomi. Saya melihat kepentingan aset ini berkaitan dengan asuransi, peminjaman, dan restorasi karya seni milik negara tersebut,” kata Mikke.
Mikke berpendapat, wacana ekonomi yang selama ini kerap dipisahkan dari wacana seni itu sebenarnya bisa disatukan. Nilai ekonomi berpadu dengan nilai fundamental, nilai kritis, nilai simbolis, dan nilai estetis dari suatu karya seni, melalui praktik penilaian aset karya seni.
“Nilai ekonomi dari karya seni ini yang perlu dikaji. Tujuannya agar memperoleh rasionalitas dalam menentukan nilai tersebut. Sebab, kerap kali ekonomi seni dihantui oleh penetapan harga atau nilai yang bersifat emosional,” kata Mikke.
Menurut Mikke, agar rasionalitas nilai ekonomi suatu karya seni itu dapat dicapai, hal yang perlu dikedepankan adalah kajian seninya. Tidak bisa sekadar berpatokan pada nilai pasar saja. Hal itu dapat dilakukan dengan melibatkan pakar seni yang mengutamakan kajian seni dalam penetapan harga seni sehingga komodifikasi terjadi secara kritis.
“Penilaian aset ini merupakan bentuk komodifikasi seni. Namun, dari sisi lain, terdapat perspektif kritis terhadap komodifikasi itu sendiri karena pakar seni terlibat dalam penilaian aset yang berorientasi pada kajian seni,” kata Mikke.
Mikke mengungkapkan, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi penilaian aset benda seni secara umum, yaitu faktor personal, faktor produk, dan faktor lingkungan. Faktor personal terdiri dari sekumpulan individu yang berperan penting menakar harga karya seni, seperti seniman dan kolektor. Faktor produk adalah elemen yang membentuk suatu karya seni, sedangkan faktor lingkungan adalah berbagai wacana atau diskursus yang berdinamika dalam penentuan nilai karya seni sehingga diperoleh kesepakatan harga.
Sementara itu, Ketua Program Pengkajian Seni Rupa dan Seni Pertunjukan Sekolah Pascasarjana UGM Lono Simatupang mengungkapkan, dalam penelitian Mikke, nilai ekonomi dari suatu karya seni itu tampak sebagai suatu konstruksi sosial. Namun, sebenarnya, bernilai atau tidaknya suatu hal merupakan hasil konstruksi masyarakat.
“Kajian ini memicu perenungan saya mengenai berlakunya konstruksi di balik nilai ekonomi. Ini bukan hanya berlaku pada lukisan, tetapi juga pada obyek ekonomi apa pun. Dan, bahkan, ketika obyek itu dinilai nol (atau tak bernilai) secara ekonomis, ada konstruksi di baliknya,” kata Lono.
Mikke lulus dengan nilai sangat memuaskan. Ia mendapatkan indeks prestasi kumulatif sebesar 3,8. Namun, sayangnya ia tidak bisa lulus meraih predikat cum laude karena masa studi yang ia tempuh lebih dari dua tahun mengingat kesibukannya dalam dunia kuratorial dan mengajar.