Dimensi Sosial dalam Pengelolaan Risiko Bencana

Berbagai penelitian sains telah mengungkapkan peringatan tentang situasi lingkungan alam di Indonesia yang rentan dan labil. Namun, data yang diungkap itu seolah-olah tidak mengubah cara pengelolaan risiko bencana.
Jumlah korban meninggal dalam peristiwa gempa atau tsunami sering kali masih di atas 100 orang. Dalam beberapa kesempatan pertemuan tentang kajian bencana di Jepang, penulis sering ditanya: kenapa jumlah korban di Indonesia dalam setiap peristiwa selalu besar? Bagaimana sebenarnya pengetahuan tentang dimensi sosial dan kultural dalam usaha mitigasi risiko bencana di Indonesia?
Kemajuan pengetahuan sains dan teknik tentang bencana dan mitigasi risiko di Indonesia memang sudah canggih. Namun, harus diakui, pengetahuan tentang dimensi sosial dan budaya dalam pengelolaan risiko bencana di Indonesia masih jauh tertinggal. Akibatnya, sering terjadi jarak dan bahkan benturan antara prinsip saintifik dan realitas sosial-budaya di lapangan.
Bencana: peristiwa sosial
Tulisan ini menawarkan tiga perspektif dasar yang dapat dipakai untuk memahami dimensi sosial dalam pengelolaan risiko bencana. Pertama, pengelolaan risiko bencana harus berdasarkan prinsip bahwa setiap bencana adalah peristiwa sosial. UNESCO saat ini telah meninggalkan penggunaan istilah ”bencana alam” (natural disaster) karena tidak ada bencana bersifat alamiah (natural).
Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli sosial yang sejak 20 tahun lalu mengatakan bahwa bencana itu terjadi apabila struktur dan lembaga sosial yang ada tidak mampu lagi beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang drastis dan cepat. Salah satu indikator ketidakmampuan adaptasi adalah jumlah korban meninggal yang besar, bukan tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan tersebut.
Gempa, tsunami, ataupun letusan gunung api adalah peristiwa yang terjadi sejak ribuan tahun lalu, tetapi kemampuan untuk beradaptasi terhadap peristiwa tersebut berbeda secara historis, bergantung pada kesiapan kelompok masyarakat, dan cara masyarakat mengikuti kelangsungan beragam praktik kultural yang terkait dengan pemahaman risiko. Kecenderungan untuk menyeragamkan cara adaptasi dapat berdampak pada berkurangnya kemampuan adaptasi dan pada akhirnya memicu terjadinya ”bencana”.
Dengan mengikuti prinsip bahwa setiap ”bencana” itu bersifat sosial, pengurangan risiko bencana pada dasarnya harus dimulai dari pemahaman mendasar tentang kemampuan adaptasi kelompok masyarakat yang memiliki risiko keterpaparan yang besar, misalnya masyarakat yang tinggal di lokasi dengan kondisi lingkungan yang labil. Pengurangan risiko bencana tak cukup dengan pembangunan tembok laut, bangunan tahan gempa, atau infrastruktur sistem deteksi dini, tanpa didahului oleh pemahaman dan analisis yang mendalam tentang kemampuan adaptasi masyarakat.
Di Jepang, sistem pengelolaan risiko bencana saat ini mulai dilakukan secara terdesentralisasi dengan melihat konteks sosiologis masyarakat. Konteks sosiologis masyarakat kompleks seperti di Tokyo akan memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda dengan masyarakat nelayan di Onagawa.
Konteks sosial-politik
Kedua, kemampuan penyesuaian lingkungan itu berubah sejalan dengan perubahan masyarakat dan dipengaruhi pula oleh perubahan konteks sosial politik. Wilayah yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi akan menunjukkan komposisi masyarakat yang lebih beragam dan ikatan sosial yang lebih longgar. Semakin kompleks masyarakatnya, faktor-faktor yang memengaruhi kemampuan adaptasi masyarakat tersebut semakin banyak.
Di satu sisi, situasi ini akan mempermudah karena semakin banyak alternatif pilihan untuk membangun model pengelolaan risiko. Namun, pada sisi lain, hal ini juga bisa mempersulit. Dinamika masyarakat yang mengikuti proses pembangunan jadi faktor penting dalam mitigasi bencana, dan karena faktor sosial politik yang memengaruhi proses pembangunan di satu daerah akan berbeda dengan daerah lain, dampaknya terhadap pilihan mitigasi juga akan berbeda.
Bencana tsunami Palu-Donggala dan tsunami Selat Sunda adalah dua peristiwa yang memperlihatkan pentingnya memahami perbedaan proses perubahan sosial dalam pengelolaan risiko bencana. Tekanan demografi di kota Palu dengan semakin banyaknya komunitas pendatang menyebabkan pergeseran pola permukiman ke kawasan pantai. Di pihak lain, ikatan sosial komunitas pendatang yang lebih longgar, ditambah kendala birokrasi, merupakan elemen penting yang menambah kesulitan dalam pengelolaan risiko bencana di perkotaan. Pola hampir sama terjadi di kawasan pesisir Banten, tetapi dengan melibatkan proses perubahan dan aktor sosial yang berbeda, yaitu pengusaha yang melakukan kapitalisasi pantai dengan pendirian hotel dan resor.
Ketiga, adaptasi terhadap perubahan lingkungan itu pada dasarnya adalah bentuk pengetahuan. Pengelolaan risiko bencana sering kali dianggap bagian dari pengetahuan saintifik yang terlepas dari pengetahuan lokal. Pendapat ini tak sepenuhnya salah. Dalam konteks masyarakat perkotaan dengan jumlah penduduk pendatang yang besar, cenderung lebih sulit menemukan pengetahuan lokal tentang bencana dalam bentuk legenda atau cerita rakyat yang masih dipercaya dan diikuti. Pendatang cenderung mengabaikan kosmologi setempat.
Sebaliknya, masyarakat yang tinggal di Pulau Nias atau Miangas, misalnya, masih memegang teguh pengetahuan lokal tentang bencana dan cara pengurangan risiko yang bersifat ”tradisional”. Pemaksaan agar masyarakat ini mengikuti pengetahuan sains untuk mengamati perubahan lingkungan justru akan memperbesar risiko keterpaparan mereka terhadap bencana. Pengetahuan lokal justru sering kali lebih rinci dibanding pengetahuan sains.
”Bencana” itu pada dasarnya peristiwa sosial, dan pemahaman tentang cara adaptasi yang beragam justru jadi faktor penting agar model pengelolaan risiko bencana lebih sesuai dengan situasi sosial setempat.
Fadjar I Thufail Peneliti Puslit Sumber Daya Regional (P2SDR) LIPI