Tuntut Kepala Daerah Korupsi dengan Hukuman Minim, KPK Dikritik
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Corruption Watch memantau 104 kasus korupsi kepala daerah yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2004 hingga 2018. Mereka menilai upaya KPK dalam menindak kasus korupsi oleh kepala daerah masih lemah. KPK dinilai menuntut hukuman terlalu rendah terhadap kepala daerah yang didakwa melakukan korupsi.
”Kami masih menganggap putusan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) ataupun Mahkamah Agung (MA) terhadap kepala daerah tidak maksimal karena hanya menyentuh angka hukuman 6 tahun 2 bulan penjara, yang termasuk kategori ringan,” tutur peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana saat bersama sejumlah rekannya menemui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyampaikan kritik dan masukan agar lembaga antikorupsi itu memaksimalkan upaya penindakan kasus korupsi oleh kepala daerah.
ICW mengkritik tuntutan KPK yang minim. Menurut catatan mereka, kepala daerah yang korupsi hanya dituntut 7 tahun 3 bulan pidana penjara. Sementara, pidana korupsi menurut pasal-pasal di Undang-Undang (UU) Tipikor bisa sampai 20 tahun atau seumur hidup.
Tidak hanya fokus pada pidana penjara, ICW juga menekan KPK agar memaksimalkan mekanisme perampasan aset dan pemiskinan koruptor. Upaya tersebut diharapkan jadi fokus KPK pada 2019.
”Kami mendorong agar setiap pelaku korupsi yang menjadi kepala daerah harus dituntut dan dicabut hak politiknya oleh jaksa KPK. Ini memang sudah berjalan, tetapi belum maksimal dilakukan KPK dan MA. Menurut catatan kami, baru sekitar 30 persen terdakwa kepala daerah yang dicabut hak politiknya,” kata Kurnia.
Untuk menambah efek jera, peneliti ICW, Almas Sjafrina, mengatakan, KPK harus menerapkan pasal pencucian uang terhadap kepala daerah yang korupsi. Menurut catatan ICW, dari 104 kepala daerah yang ditindak karena korupsi, baru lima di antaranya yang dikenai pasal penindakan pencucian uang.
”Salah satu instrumen untuk merampas harta koruptor adalah menggunakan instrumen pencucian uang, bukan mekanisme UU Tipikor, yang menurut kami belum maksimal,” ujarnya.
Hanya jalani aturan
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah mengatakan, selama ini MA hanya menerjemahkan aturan yang ada di undang-undang.
”Kalau itu dinilai rendah terus, sebaiknya undang-undang dipertegas lagi supaya hakim bisa memutuskan dengan lebih baik,” ujarnya saat dihubungi Kompas.
Aturan undang-undang yang dimaksud antara lain Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Pasal itu dipakai untuk menjerat pelaku korupsi yang memiliki kewenangan langsung dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam pasal-pasal tersebut, aturan pidana hanya mengatur batas minimal dan maksimal hukuman penjara dan denda.
”Aturan itu apakah menyebut batasan tertentu? Kalau korupsi Rp 10 juta dan Rp 1 miliar apa hukuman penjaranya lebih berat yang Rp 1 miliar? Adil itu tidak bisa diukur dari kuantitas, tetap fakta dan barang bukti di persidangan,” ujarnya.
Kalau korupsi Rp 10 juta dan Rp 1 miliar apa hukuman penjaranya lebih berat yang Rp 1 miliar? Adil itu tidak bisa diukur dari kuantitas, tetap fakta dan barang bukti di persidangan.
Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor menyebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Lalu, Pasal 3 menyebutkan, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar. (ERIKA KURNIA)