RAJABASA, KOMPAS - Para penyintas, korban selamat dari tsunami Selat Sunda di Desa Waimuli Timur, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, hingga kini menantikan kepastian soal lokasi akan dibangunnya hunian tetap bagi mereka.
Pemerintah kabupaten berencana memindahkan mereka dan membangun hunian tetap di Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan, namun warga menolaknya karena jauh dari pesisir sehingga mereka sulit melaut.
Kepala Desa Waimuli Timur Zamra Ghozali, Kamis (10/1/2018), menjelaskan, 44 kepala keluarga dari desanya masih bertahan di pengungsian yang berada di area perbukitan di desa itu. Mereka adalah penyintas yang rumahnya hancur diterjang tsunami.
“Mereka menantikan kepastian lokasi hunian tetap yang akan rencananya akan dibangunkan pemerintah,”ujar Zamra.
Sejak Minggu (23/12/2019), atau sehari setelah tsunami, hingga hari ini mereka masih bertahan di pengungsian.
Sahrial (52), warga Desa Waimuli Timur, yang tinggal di pengungsian mengatakan, sejauh ini kebutuhan sandang dan pangan masih mencukupi dari bantuan yang datang. Namun, dia tetap menantikan keputusan pemerintah soal pembangunan hunian baginya dan warga lain di desanya.
“Biar kami segera punya rumah lagi dan mulai menata hidup kembali,” ujar Sahrial.
Sharial menantikan keputusan pemerintah soal pembangunan hunian bagi dirinya dan warga lain di desanya.
Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan sendiri sempat mengusulkan lokasi pembangunan hunian tetap di dekat Stadion Radin Intan, Kalianda. Daerah itu merupakan pusat dari ibu kota Lampung Selatan.
“Lahan itu milik pemerintah daerah. Kalau warga menginginkan pindah, kami bisa segera siapkan bangunannya,” ujar Pelaksana Tugas Bupati Lampung Selatan Nanang Ermanto.
Namun, warga menolak untuk pindah. Sebab, lokasi itu jauh dari laut yang membuat mereka sulit melaut.
Baik Sahrial maupun Zamra mengatakan, mayoritas warga desa menginginkan hunian tetap itu dibangun di lokasi pengungsian mereka sekarang. Lokasi itu berada di perbukitan dengan ketinggian sekitar 100 meter dan berjarak sekitar 150 meter dari bibir pantai.
“Kalau disini kan aman dari tsunami. Masih dekat ke pantai juga karena kami ini kerjanya sebagai nelayan,” ujar Sahrial.
Zamra mengatakan dari 1.472 warga desanya, 80 persen memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Sisanya bekerja sebagai petani, pedagang, penyedia jasa wisata, dan pegawai negeri sipil.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika yang juga Humas Kabupaten Lampung Selatan Sefri mengatakan, pemkab masih membahas lokasi yang sesuai untuk dibangunkan hunian tetap. Pemkab juga akan terus berkomunikasi dengan warga untuk mencapai kesepakatan yang diinginkan bersama.
Perlengkapan perikanan
Selain menantikan keputusan soal pembangunan hunian tetap, warga juga masih menantikan bantuan perlengkapan perikanan. Afrizal (25) nelayan asal Desa Waimuli Timur, belum bisa kembali melaut lantaran kapalnya mengalami kerusakan akibat diterjang tsunami.
Afrizal mengatakan, saat tsunami datang, kapalnya ikut terhempas gelombang dan tersangkut di rumah warga yang jaraknya sekitar 15 meter dari bibir pantai. Akibatnya kapal itu mengalami kerusakan mesin dan lambungnya jebol. Tidak hanya itu, jala alat tangkapnya juga hilang.
“Kapal saya jelas tidak bisa dipakai melaut. Ini sudah tidak bisa laju ke air karena mesin rusak, bisa tenggelam juga karena lambung bocor. Mau tangkap ikan pakai apa juga, kalau jalanya tidak ada,” ujar Afrizal.
Untuk bisa kembali melaut, Afrizal menaksir diperlukan biaya lebih dari Rp 30 juta untuk memperbaiki dan menyiapkan semua keperluan.
“Jangankan uang untuk memperbaiki kapal, rumah saya saja hancur sebagian,” ujarnya
Maka dari itu dia mengharapkan adanya bantuan perlengkapan perikanan. Sebab, dirinya yang hanya lulusan sekolah dasar tidak bisa memiliki kemampuan selain melaut.
“Kalau sudah ada kapal sudah melaut dan ada alat tangkap, kami bisa kembali melaut lagi,” ujar afrizal.