Pengangguran Bertambah di Tengah Tahun
Pengangguran menjadi persoalan sosial yang termasuk rumit diatasi. Jumlahnya naik turun. Pengangguran yang selalu naik setiap semester kedua menandakan belum ada strategi dan kebijakan yang sesuai untuk mengurangi pengangguran.
Badan Pusat Statistik (BPS) memotret kondisi ketenagakerjaan sebanyak dua kali dalam setahun. Kondisi ketenagakerjaan, termasuk di dalamnya soal pengangguran, dipotret di bulan Februari melalui survei dilansir setiap bulan Mei (semester pertama). Sedangkan kondisi ketenagakerjaan di bulan Agustus dilansir oleh BPS setiap bulan November (semester kedua).
Dengan mencermati laporan rutin BPS enam tahun terakhir, terdapat pola yang terbentuk mengenai pergerakan jumlah pengangguran. Angka pengangguran terbuka selalu turun setiap bulan Februari. Sedangkan pada kondisi Agustus, angka pengangguran kembali naik. Pola seperti ini mulai terbentuk sejak 2013 hingga sekarang.
Angka pengangguran terbuka selalu turun setiap bulan Februari
Lazimnya, penduduk usia kerja (usia 15 tahun ke atas) terus bertambah dari tahun ke tahun. Namun, tidak demikian halnya dengan jumlah angkatan kerja. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang bekerja, atau punya pekerjaan namun untuk sementara waktu tidak bekerja, dan pengangguran.
Sebagai gambaran, jumlah penduduk usia kerja pada Agustus 2017 sebanyak 192,08 juta orang. Jumlah ini meningkat pada Februari 2018 menjadi 193,55 juta orang dan naik lagi menjadi 194,78 juta orang pada Agustus 2018.
Hal ini berbeda dengan jumlah angkatan kerja. Kondisi angkatan kerja pada Agustus 2017 tercatat sebanyak 128,06 juta orang dan naik menjadi 133,94 juta orang pada kondisi Februari 2018. Namun, kondisinya pada Agustus 2018 turun menjadi 131,01 juta orang.
Kondisi ini menggambarkan, ada penduduk usia kerja tetapi ia tidak bekerja alias melanjutkan sekolah atau mengurus rumah tangga.
Pengangguran Agustus
Data menunjukkan, mulai tahun 2013 pengangguran terbuka di bulan Agustus meningkat dibandingkan kondisi di Februari. Pada Februari 2013, jumlah pengangguran terbuka sebanyak 7,24 juta jiwa (5,88 persen) dan pada Agustus 2013 naik menjadi 7,41 juta orang (6,17 persen).
Pada Februari 2014, jumlah pengangguran terbuka tercatat 7,15 juta orang (5,7 persen) dan pada Agustus 2014 naik menjadi 7,24 juta orang (5,94 persen). Pada Februari 2015, jumlah pengangguran terbuka 7,45 juta orang (5,81 persen) dan pada Agustus 2015 naik menjadi 7,56 juta orang (6,18 persen).
Pada Februari 2016, jumlah pengangguran terbuka setelah turun menjadi 7,02 juta orang atau 5,5 persen, pada Agustusnya kembali naik menjadi 7,03 juta orang atau 5,61 persen. Begitu pula 2017. Setelah pada Februari jumlah pengangguran terbuka sebanyak 7,01 juta orang (5,33 persen), kondisinya pada Agustus naik lagi menjadi 7,04 juta orang (5,5 persen).
Tahun 2018 ini, jumlah pengangguran terbuka Februari sebanyak 6,87 juta orang (5,13 persen) dan kembali naik pada Agustus menjadi 7 juta orang (5,34 persen).
Mencari penyebab kenapa kondisi pengangguran terbuka setiap survei bulan Agustus (semester kedua) selalu naik setiap tahunnya tidak begitu sulit. Di antara masa dua survei yaitu antara Maret dan Agustus terdapat peristiwa rutin tahunan, yaitu kelulusan jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Hal inilah yang menyumbang ke penambahan angka angkatan kerja dan pengangguran terbuka. Penduduk usia kerja (lulus SMP dan SMU/SMK) yang tidak melanjutkan sekolah dan tidak terserap dalam pasar tenaga kerja inilah yang menyebabkan angka pengangguran pada saat Agustus menjadi meningkat.
Penduduk usia kerja yang tidak melanjutkan sekolah menyebabkan angka pengangguran di bulan Agustus meningkat.
Kegigihan mencari peluang sehingga mendapat pekerjaan dalam waktu yang cukup cepat membuat angka pengangguran bisa berkurang pada saat disurvei periode selanjutnya (Februari).
Meski pola pengangguran terbaca seperti itu, selama periode 2013-2018, angka pengangguran terbuka sebenarnya telah berkurang sebesar 5,5 persen. Namun demikian, pengurangan ini terbilang kecil. Pada periode lima tahun sebelumnya (2008-2013) pengurangan angka pengangguran mencapai 23,2 persen.
Penyumbang Pengangguran
Penyumbang bertambahnya pengangguran pada kondisi Agustus 2018 adalah penduduk dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan masing-masing sebanyak 11,24 persen dan 7,95 persen. Pola ini juga sama terjadi pada Agustus 2017 dan 2016.
Persentase pengangguran tertinggi dari kalangan SMK ini terjadi pada Agustus tahun 2017 lalu yang mencapai 11,41 persen.
Banyaknya penduduk yang berpendidikan setingkat SMK dan SMA menganggur dibandingkan dengan lulusan lain, dengan tingkat pendidikan SD misalnya, karena mereka yang berpendidikan rendah cenderung mau bekerja apa saja.
Sementara, spesifikasi kompetensi lulusan SMK/SMA ini masih di bawah lulusan perguruan tinggi (diploma dan sarjana) sehingga mereka pun kalah bersaing.
Jika ditelusuri, lapangan kerja yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja pada Agustus 2018 adalah sektor pertanian (0,89 persen), jasa lainnya (0,11 persen), dan jasa pendidikan (0,05 persen). Pertanian menjadi sektor yang perlahan ditinggalkan juga terlihat pada Agustus 2017 yang menurun sebesar 2,21 persen.
Pertanian menjadi sektor yang perlahan ditinggalkan
Sementara itu, daerah yang pengangguran terbukanya bertambah dibandingkan setahun yang lalu adalah DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat, yang masing-masing bertambah 0,33 persen dan 0,4 persen.
Namun, tiga provinsi yang paling banyak memiliki jumlah pengangguran secara berturut-turut adalah Banten (8,52 persen), Jawa Barat (8,17 persen), dan Maluku (7,27 persen).
Giatkan Link and Match
Dengan pola pengangguran yang selalu naik setiap Agustus dan penyumbang angka pengangguran adalah penduduk dengan pendidikan setingkat SMK, maka program pendidikan vokasi link and match harus semakin digencarkan.
Program link and match adalah program pendidikan vokasi di sekolah kejuruan yang memiliki keterkaitan dan kesepadanan dengan dunia usaha/industri.
Program link and match ini tidak bisa lagi hanya diterapkan pada siswa yang saat ini masih di bangku SMK. Tetapi, juga pada lulusan yang sudah telanjur ada di masyarakat, yang belum terserap di industri dan yang jumlahnya tentu cukup banyak.
Pemerintah sebenarnya cukup mendorong terciptanya tenaga kerja Indonesia yang terampil sesuai dengan kebutuhan dunia usaha melalui pendidikan dan pelatihan vokasi. Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembinan dan Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan Berbasis Kompetensi yang Link and Match dengan Industri.
Peraturan ini berlaku sejak 27 Januari 2017. Keluarnya peraturan ini sejalan dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan Dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia.
Dua aturan perundang-undangan ini menjadi pedoman bagi SMK dalam menyelenggarakan pendidikan kejuruan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Ia juga menjadi rujukan bagi perusahaan untuk memfasilitasi pembinaan kepada SMK dalam menghasilkan tenaga kerja industri yang terampil dan kompeten.
Aturan tersebut memberi landasan bagi pemerintah untuk kemudian menetapkan target jumlah tenaga kerja dalam program link and match ini mencapai satu juta orang pada tahun 2019. Tak kurang dari 200 SMK di seluruh Indonesia pun akan dilibatkan untuk mencapai target tersebut.
Mencapai target tersebut bukanlah jalan yang mudah.
Pihak SMK diminta melakukan penyusunan kurikulum yang mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) atau bahkan standar internasional. Tentunya upaya ini membutuhkan kerjasama antara pihak industri (pelaku dan asosiasi) serta pihak sekolah.
Selama ini upaya menyuplai tenaga kerja ke industri berjalan lambat. Tenaga kerja yang dihasilkan melalui pendidikan vokasi industri (SMK dan Diploma 1-4 yang bekerja sama dengan industri) jumlahnya masih kecil. Tahun 2014 tercatat hanya 3.326 orang tenaga kerja dari program ini. Meski meningkat di tahun berikutnya, penambahannya tidak signifikan. Tahun 2015 jumlahnya menjadi 4.229 orang dan tahun 2016 sebanyak 4.556 orang.
Jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan jumlah tenaga kerja yang telah dilatih, disertifikasi, dan diserap industri melalui pelatihan industri berbasis kompetensi sistem 3-in-1 (pelatihan-sertifikasi-penempatan kerja). Jumlah tenaga kerja yang dihasilkan dari program 3-in-1 mencapai 7.880 orang pada 2014. Angka tersebut naik pada 2015 menjadi 17.832 orang dan pada 2016 menjadi 11.622 orang.
Padahal, kebutuhan tenaga kerja untuk industri cukup besar. Menteri Perindustrian pernah menyampaikan bahwa dengan rata-rata pertumbuhan industri sebesar 5-6 persen per tahun, dibutuhkan lebih dari 500.000 – 600.000 tenaga kerja yang baru per tahun untuk sektor industri.
Program vokasi link and match sesungguhnya tidak saja bertujuan menyiapkan sumber daya manusia yang siap pakai. Program ini juga menjadi solusi bagi upaya dalam mengatasi pengangguran usia muda di negeri ini. Oleh karena itu, dibutuhkan tekad kuat dan konsistensi dari pihak pemerintah, dan terutama dunia industri, untuk menyukseskan pendidikan vokasi link and match.
Bagaimanapun, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia Indonesia dalam mengarungi Revolusi Industri 4.0. (GIANIE/LITBANG KOMPAS)