Linean, Cara Berbusana Ramah Lingkungan
Dua anak muda, Malinda Amalia dan Raisha Nur Amalia, memilih menentang arus fashion. Caranya, memproduksi pakaian jadi yang berbahan alami, menggunakan pewarna alam, hingga membungkus produk dengan bahan ramah lingkungan.
“Awalnya, saya merasa baju yang ada di pasaran begitu-begitu saja, baik model maupun bahannya. Lalu kami mencari baju yang ramah lingkungan,” papar Raisha ketika ditemui beberapa waktu lalu di kantornya di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan.
Konsep fashion berkelanjutan (slow fashion) diterapkan pada bisnis mereka. Fashion berkelanjutan merupakan gerakan membuat pakaian yang ramah lingkungan, mulai dari bahannya hingga pembuangannya serta berkeadilan baik secara sosial maupun ekonomi. Konsep ini muncul karena keprihatinan terhadap industri fashion yang banyak menggunakan bahan baku berkimia tinggi dan membahayakan lingkungan serta kurang berkeadilan karena upah rendah. Polusi dari industri tekstil dan fashion, merupakan industri polutan kedua setelah industri minyak.
Bahan linen ini sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu, bahkan pada masa Mesir kuno, sudah digunakan untuk membungkus mumi
Laporan dari Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) Amerika Serikat mencatat, pada tahun 2013 terdapat 15,1 juta ton sampah tekstil. Industri fashion yang menyediakan pakaian dengan harga terjangkau dan sering berganti model membuat orang semakin banyak mengeluarkan dana untuk membeli baju.
Dampaknya, semakin banyak sampah yang dihasilkan karena baju-baju itu hanya beberapa kali dipakai lalu dibuang atau teronggok di lemari. Konsumen di Inggris diperkirakan memiliki baju bernilai 46,7 miliar dollar AS yang tidak dipakai di lemari mereka. Sedangkan orang-orang di kawasan Manhattan, AS membelanjakan 362 dollar AS atau Rp 5,2 juta (dengan kurs 1 dollar AS setara Rp 14.400) per bulan per orang hanya untuk baju.
Raisha dan Malinda lalu membuat baju dari bahan linen. Malinda bersemangat menceritakan bahwa linen merupakan bahan yang terbuat dari serat rami bukan dari serat sintetis. Linen juga dapat menyesuaikan dengan suhu sekitar dan akan terasa dingin jika cuaca sedang panas dan sebaliknya.
“Bahan linen ini sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu, bahkan pada masa Mesir kuno, sudah digunakan untuk membungkus mumi,” tambah Malinda.
Berbagi peran
Kedua sahabat ini mulai memproduksi baju siap pakai yang diberi nama Linean pada Januari 2017, ketika masih menjadi mahasiswa di Universitas Bina Nusantara. Modal yang dikeluarkan sekitar Rp 20 juta untuk membeli bahan baku kain linen yang memang lebih mahal dibandingkan kain jenis lain yang berbahan dasar sintetis.
Malinda berperan mengurusi administrasi, penjualan, dan pemasaran sementara Raisha berperan membuat rancangan baju. Mereka tidak memiliki toko fisik, tetapi lebih banyak menjual produk secara daring pada beberapa platform digital. Terkadang mereka juga mengikuti bazar.
Mereka juga belum menggunakan bintang iklan atau endorser untuk memperkenalkan produknya. Akan tetapi, sudah banyak kolaborasi yang dilakukan seperti bermitra dengan majalah atau pihak lain yang secara tidak langsung ikut mempromosikan produk Linean.
“Pada awalnya, kami membuat baju dengan model yang dapat digunakan dalam berbagai kesempatan, seperti ke kantor atau bersantai. Jadi dengan satu baju saja bisa digunakan berkali-kali,” jelas Raisha.
Dampaknya, semakin banyak sampah yang dihasilkan karena baju-baju itu hanya beberapa kali dipakai lalu dibuang atau teronggok di lemari.
Belakangan, Malinda menambahkan, mereka sedang bereksperimen untuk mewarnai kain dengan pewarna alami. Sementara sisa potongan bahan dibuat menjadi berbagai barang, seperti tempat sedotan yang dapat digunakan berkali-kali atau dompet.
“Tidak tertutup kemungkinan, ke depan kami menyediakan jasa pencelupan warna alami untuk memperbarui warna baju berwarna natural agar menjadi cerah kembali. Jadi tidak perlu membeli baju baru,” tutur Malinda.
Produksi Linean dibagi menjadi beberapa musim dalam kurun waktu tiga bulanan. Dalam satu musim ada sekitar 6-8 model baru yang dikeluarkan. Harga jual baju linen mulai dari Rp 300.000 hingga Rp 1,5 juta. “Kalau produk linen merek lain, harganya sudah sangat mahal, di atas Rp 1,5 juta per potong,” jelas Malinda.
Dalam satu hari dapat terjual lima potong baju yang dipesan dari berbagai kota. Baju Linean sebenarnya ditujukan untuk perempuan, akan tetapi banyak lelaki kini juga berminat mengenakan baju Linean.
Dalam menjalankan bisnis, tentu ada kesulitan yang dihadapi. Pada awalnya, pasokan bahan linen agak tersendat. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, mereka telah menemukan pemasok yang dapat konsisten menyuplai bahan baku. Kesulitan lain yang dihadapi dua anak muda ini adalah molornya tenggat waktu penyelesaian baju dari penjahit. Saat ini, ada beberapa penjahit yang dipekerjakan untuk membuat baju-baju Linean.
Malinda dan Raisha menjadi salah satu wirausahawan binaan di universitasnya dan mengikuti Wirausaha Muda Mandiri 2018. Linean menjadi pemenang pertama untuk kategori Wirausaha Kreatif. Ajang ini membuka wawasan dan jaringan. "Salah satu peserta menawarkan kolaborasi untuk membuat batik,” kata Malinda.
Menurut Malinda, berstatus mahasiswa bukan halangan untuk mulai merintis bisnis. Dukungan dari keluarga dan teman, merupakan salah satu modal awal untuk membesarkan bisnisnya.