Harnita Rahman, Jalan Hidup Ibu Rumah Tangga
Teman dan keluarga kerap mempertanyakan, mengapa Harnita Rahman (34) hanya menjadi ibu rumah tangga. Namun, sarjana Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin itu bergeming. Dengan pilihannya tersebut, ia bisa menggerakkan literasi, berteater, mendaur ulang sampah, dan kian dekat dengan anak-anaknya.
Harnita baru saja tiba di rumah kontrakannya di Wesabbe C 17, Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (28/12/2018) malam. Direktur Kedai Buku Jenny atau KBJ itu baru selesai menggelar diskusi buku ”Mencari Rumah Pram” yang diterbitkan KBJ, sebuah toko buku, perpustakaan, sekaligus tempat berkesenian.
Dua hari kemudian, ia bersama sang suami, Zulkhair Burhan (37) alias Bobi, beranjak ke Kabupaten Bone, Sulsel—sekitar 130 kilometer dari Makassar—untuk kegiatan literasi. Pada peringatan Hari Ibu, 22 Desember lalu, Nita juga menjadi pembicara dalam bedah buku Metamorfosis Ibu. Itulah sedikit gambaran kesibukan sang ibu rumah tangga.
Setiap pagi, kala pintu rumahnya terbuka, Nita pun mulai bekerja. Rumah seluas 6 meter x 8 meter itu siap menyambut warga. Sejumlah bagian tembok rumah dihiasi mural. Ruang tamunya menjelma menjadi perpustakaan, berisi sekitar 500 buku yang berderet di lemari dan rak.
Komik Naruto, novel Pramoedya Ananta Toer, hingga buku asing bertema hubungan internasional (HI) tersaji di sana. Buku-buku di perpustakaan tersebut juga beberapa kali dikirim ke taman baca masyarakat di daerah.
Lukisan mahasiswa dan anak- anak setempat dipajang di atas lemari. Origami berbentuk burung menggantung di dekat jendela. Kipas angin yang menempel di dinding bercat biru tersebut turut menyejukkan ruangan di tengah panasnya cuaca di Makassar.
Mahasiswa, dosen, hingga jurnalis kerap berkunjung ke perpustakaan bernama Malala itu. Nama tersebut diambil dari nama murid sekolah di Pakistan, peraih Nobel Perdamaian. Ruang tengah di rumah Nita bahkan kerap dijadikan ruang baca saat pengunjung ramai.
Jadi, jangan membayangkan perpustakaan yang sunyi, tak boleh ngobrol, seperti di umumnya perpustakaan. ”Di sini, satu-satunya ruang privasi kami hanya kamar. Yang lainnya menjadi ruang publik,” ujar Nita diiringi tawa.
Tepat di samping ruang tamu terdapat ruangan kecil yang berisi buku, kaus, serta kaset dan CD band indie, termasuk band dari Makassar. Nita menyebut ruangan itu toko. Tidak hanya menjual, Nita dan Bobi juga menemani pengunjung bercerita tentang buku dan karya musik tersebut. Penjualannya tidak seperti di supermarket, orang datang, membeli, lalu pulang. Toko yang buka sampai tengah malam itu pun kerap menjadi tempat sejumlah acara, seperti KBJamming yang dihadiri puluhan anak muda.
KBJamming merupakan panggung bagi band indie setempat. Siapa pun bisa tampil dan datang di acara itu, gratis. Syaratnya, penonton dan pemain band tak berjarak, panggung tanpa barikade. Selain itu, masih ada juga aneka kegiatan, yaitu sajakan saja, kelas melamun, dan teman pencerita. Desember lalu, misalnya, ada lima acara di sana.
Ibu rumah tangga
Berbagai aktivitas itu telah Nita jalani sejak 2011 ketika KBJ didirikan oleh suaminya, Bobi, yang juga dosen HI Universitas Bosowa, Makassar, bersama temannya, Aswin Baharuddin (32). Mereka merupakan lulusan HI Universitas Hasanuddin (Unhas). Nita pun harus menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga sekaligus Direktur KBJ. ”Saya tetap memasak, membersihkan rumah, dan mengurus anak,” ucapnya.
Ia juga harus memikirkan bagaimana dapur tetap ngebul dan ruang baca berlanjut. Itu sebabnya KBJ telah berpindah tempat beberapa kali, menyesuaikan dengan harga sewa rumah. ”Kami kembali ke Wesabbe, di sini, karena ini yang paling murah, sewanya Rp 10 juta per tahun. Alhamdulillah, rezeki ada saja. Kami sedang berusaha membangun rumah,” ujarnya.
”Saya tetap memasak, membersihkan rumah, dan mengurus anak,” ucapnya.
Meski demikian, berbagai pertanyaan sinis dari teman hingga keluarga menyerang Nita. Apalagi, ia bukan berasal dari keluarga mapan. Bapaknya adalah sopir angkutan rute Bone-Makassar, sementara ibunya merupakan pensiunan guru.
”Ada yang bertanya, mengapa rumahya dijadikan perpustakaan dan terbuka untuk umum? Apakah sanggup mengurusi orang lain? Kenapa di rumah tidak ada sofa? Mengapa memilih jadi ibu rumah tangga, bukan pegawai negeri sipil. Padahal sarjana?” ujarnya.
”Biasanya, Maha (panggilan Mahatma, anak pertama Nita) yang menjawab, ’di rumah tak ada kursi. Hanya ada buku’,” ucap Nita. Sebenarnya beberapa kursi tersedia di rumah Nita. Namun, kursi tersebut bukan berasal dari toko mebel, melainkan buatan tangan sendiri.
Dua tempat duduk kecil di perpustakaan, misalnya, terbuat dari kumpulan sampah non-organik yang dipadatkan dalam botol air mineral bekas. Karya ecobrik atau seni pengelolaan sampah itu kemudian dilapisi gabus sehingga nyaman diduduki. Di teras, menumpuk drum bekas yang juga disulap menjadi kursi.
”Bahkan, kadang ada yang menyewa kursi itu,” ucapnya sembari tersenyum. Nita juga membagikan ilmunya secara gratis kepada anak- anak di sekitar rumahnya. Mereka belajar membuat kotak kado dan tempat pensil dari karton bekas hingga scrapbook.
”Ada 10 sampai 15 anak yang ikut. Semua itu temannya Maha. Hasilnya, mereka bawa pulang. Awalnya, saya khawatir karena anak-anak selalu membeli sesuatu yang sebenarnya bisa mereka bikin,” ujar Nita yang turut mengisi workshop seni Makassar Biennale 2017 untuk kategori #sulapsampah.
”Ada 10 sampai 15 anak yang ikut. Semua itu temannya Maha. Hasilnya, mereka bawa pulang. Awalnya, saya khawatir karena anak-anak selalu membeli sesuatu yang sebenarnya bisa mereka bikin,” ujar Nita.
Secara tak langsung, Nita tengah mendidik dua anaknya untuk berdamai dengan sampah. ”Sekarang, Maha dan Suar mengumpulkan sampah. Saya selalu percaya, pendidikan itu dimulai dari rumah. Kami membuka rumah menjadi ruang baca bagi siapa saja, juga untuk mengajarkan kepada anak-anak bagaimana menerima orang dengan baik,” ujarnya.
Itu sebabnya, ia memilih menjadi ibu rumah tangga. ”Saya bahagia. Dengan menjadi ibu rumah tangga, saya bisa menggapai impian, seperti mengelola KBJ. Ibu rumah tangga tidak mesti terkungkung dengan daster,” ungkapnya.
Bahkan, kegemarannya berteater sejak mahasiswa kini tetap berjalan. Enam bulan lalu, ia malah mendirikan Teater Anak Ketjil. Anak-anak SD di kompleksnya diajak berteater. Beberapa kali, Nita juga melatih kelompok teater di Politeknik dan Unhas.
”Apa yang tak diajarkan di sekolah, seperti teater, saya ajarkan di rumah. Caranya, dengan permainan, seperti bagaimana menjadi batu. Dalam teater, ada nyanyian, permainan peran, hingga tarian,” ujarnya.
Apa yang Nita kerjakan selama ini, kini diganjar apresiasi. Selain kerap menjadi pembicara di berbagai acara, termasuk Makassar International Writers Festival 2018, ia juga meraih penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kategori Apresiasi Pegiat Perempuan Bidang Pendidikan Kesetaraan pada 2018. Keluarga dan teman-teman Nita pun kini ikut bangga kepadanya.Menurut Nita, dukungan suaminya menjadi api semangat untuk tetap bertahan dengan pilihannya.
Harnita Rahman
Lahir: Watampone, 29 November 1984
Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga, Direktur
Kedai Buku Jenny
Pendidikan: Ilmu Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin
Suami: Zulkhair Burhan (37)
Anak:
- Mahatma Ali El Gaza (9)
- Suar Asa Benderang (5)