Aturan Sumbangan di Sekolah Perlu Diperjelas
JAKARTA, KOMPAS - Aturan mengenai penarikan sumbangan di sekolah-sekolah perlu diperjelas lebih mendalam. Seringkali penarikan sumbangan rawan disalahgunakan menjadi cara menarik pungutan liar.
Hal tersebut dikatakan Sekretaris Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Inspektur Jenderal Polisi Widiyanto Poesoko pada seminar Penguatan Tata Kelola Pelaksanaan Anggaran Tahun 2019 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Rabu (9/1/209).
"Aparat di daerah maupun orangtua siswa banyak yang belum sepenuhnya memahami Peraturan Mendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah," tuturnya.
Peraturan Mendikbud itu menyatakan bahwa komite sekolah bisa menggalang bantuan berupa dana, barang, dan jasa untuk sekolah. Selain itu, orangtua siswa juga bisa dengan sukarela memberi hadiah kepada sekolah sebagai bentuk terima kasih maupun untuk memperbaiki kondisi sekolah.
Namun, tidak ada kejelasan jumlah maksimal sumbangan yang boleh ditarik oleh komite sekolah. Widiyanto mengungkapkan beberapa aduan ke Satgas Saber Pungli adalah dari para orangtua siswa yang keberatan dengan jumlah nominal yang ditetapkan oleh komite sekolah.
"Ada pula laporan bahwa orangtua secara sukarela memberi bantuan dana, barang, dan jasa kepada sekolah. Akan tetapi, penyediaannya harus melalui badan usaha milik kepala sekolah atau guru tertentu," ujarnya. Selain itu, juga ada laporan bahwa di sekolah ada budaya memberi hadiah kepada guru pada hari penerimaan rapor, meskipun tidak ada aturan tertulis.
Aturan turunan
Inspektur Jenderal Kemdikbud Muchlis Rantoni Luddin mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang membuat aturan turunan Permendikbud 75/2016. Di dalamnya dijelaskan batasan-batasan penarikan sumbangan dan pemberian sukarela.
"Orangtua tidak boleh memberi hadiah kepada guru karena termasuk ke dalam gratifikasi. Apabila ingin berterima kasih, orangtua silakan menyumbang secara sukarela untuk sekolah agar hasilnya bisa dinikmati bersama. Pengelolaan sumbangan harus disampaikan secara transparan kepada seisi sekolah," ucapnya.
Muchlis mengatakan, apabila harus dilakukan pemungutan sumbangan oleh komite sekolah, semua orangtua siswa harus menyetujui jumlahnya. Jangan sampai pungutan sumbangan itu memberatkan bagi keluarga yang tidak mampu. Lebih dari itu, tidak boleh ada pemaksaan maupun tekanan sosial untuk memberi sumbangan.
Hindari konflik kepentingan
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, sekolah tidak boleh menjadi lahan konflik kepentingan. Harus ada aturan yang melarang konflik kepentingan di semua satuan pendidikan.
Ia mencontohkan, ada guru-guru yang memberi les bagi siswa. "Hal itu boleh dengan syarat guru tersebut tidak boleh mengajari les siswanya sendiri karena ada relasi kuasa dia yang menentukan nilai siswa tersebut. Guru diperbolehkan memberi les untuk siswa dari sekolah lain," ucapnya.
Agus mengutip data Indonesian Corruption Watch (ICW) periode 2006-2015 yang menjabarkan bahwa korupsi di sektor pendidikan merugikan negara hingga Rp 1,3 triliun. Penggelapan dana, penggelembungan harga, proyek fiktif, penyalahgunaan anggaran, dan pemotongan dana merupakan modus yang kerap digunakan.
Wilayah yang rawan menjadi lahan korupsi adalah pengadaan sarana prasarana sekolah, dana alokasi khusus dari pusat, pengadaan buku teks dan lembar kerja siswa, pembangunan infrastruktur sekolah, dan penggunaan bantuan operasional sekolah. Oleh sebab itu, penggunaan anggaran di semua bidang di sekolah harus terbuka dan jelas alokasinya.
"Ini tantangan baru karena jumlah anggaran pendidikan relatif naik setiap tahun, apalagi ditambah dengan dana desa, dana alokasi khusus, dan dana alokasi umum. Dugaannya, masyarakat masih kaget mengelola dana yang banyak sehingga muncul penyalahgunaan. Hanya transparansi anggaran yang bisa mengendalikan alokasi pemakaian dana," tuturnya.
Tingkatkan kinerja
Kemdikbud juga disarankan lebih meningkatkan komunikasi pemakaian dana pendidikan, sesuai masukan dari Sekretaris Deputi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Didid Noordiatmoko. Berdasarkan survei Kementerian PAN-RB terhadap pengguna layanan Kemdikbud, terjadi peningkatan mutu layanan.
Memakai skala 1 sebagai simbol buruk dan 4 untuk simbol baik, Indeks Persepsi Pelayanan Kemdikbud ada di angka 3,38 pada tahun 2018. Ada peningkatan dari tahun 2017 yaitu 3. Indeks Persepsi Antikorupsi 2018 juga meningkat menjadi 3,44. Pada tahun 2017 angkanya 3,2.
"Ini belum cukup baik karena berarti masyarakat yang memakai layanan Kemdikbud masih menaruh kecurigaan adanya tindakan kecurangan di Kemdikbud. Di sini pentingnya keterbukaan informasi publik semakin digalakkan untuk memberi penjelasan alokasi dana dan pemakaiannya kepada masyarakat," kata Didid.
Survey itu juga menemukan bahwa hanya 12 persen dari staf Kemdikbud yang memahami tugas, pokok, fungsi, latar belakang kebijakan, alasan penugasan, dan cara pengawasan beserta evaluasi kinerja. Sisanya hanya mengetahui tugas tetapi tidak memahami alasan adanya sebuah penugasan, fungsi, tujuan, maupun dasar kebijakan.
"Kalau mayoritas staf tidak tahu standar kinerja masing-masing, akan susah mengalokasikan anggaran secara tepat dan efisien. Di sini setiap pemimpin unit harus memberi pemahaman kembali kepada bawahannya," tutur Didid.