JAKARTA, KOMPAS — Sekitar tiga bulan sebelum hari pemungutan suara Pemilihan Legislatif dan Presiden pada 17 April 2019, sebanyak 1,2 juta orang masih belum menerima kartu tanda penduduk elektronik. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri harus segera menyelesaikan persoalan ini demi menjaga hak pilih rakyat sebagai salah satu hak konstitusional warga negara.
Ditjen Dukcapil Kemendagri per 31 Desember 2018 belum menyelesaikan pencetakan 1,2 juta KTP-el milik mereka yang sudah berhak memiliki KTP-el dan sudah melakukan perekaman. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, syarat menggunakan hak pilih adalah kepemilikan KTP-el.
Oleh sebab itu, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (9/1/2019), DPR mendesak Kemendagri segera menyelesaikan pencetakan KTP-el.
”Komisi II kembali meminta Kementerian Dalam Negeri untuk menyelesaikan perekaman dan percetakan KTP-el di seluruh Indonesia agar dalam Pemilu 2019, warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih mendapatkan jaminan untuk menggunakan hak pilih,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Nihayatul Wafiroh di akhir rapat.
Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, saat ini kemampuan cetak KTP-el adalah 70.000-100.000 KTP per hari. Dengan demikian, dalam waktu 10-14 hari, proses penyelesaian tanggungan pencetakan 1,2 juta KTP-el milik warga dapat dilakukan.
”Jadi, yang sebanyak 1,2 juta KTP-el ini akan kami selesaikan pada periode Januari hingga Februari 2019,” kata Zudan. Terlebih lagi, Zudan mengatakan, proses tender pengadaan 16 juta blangko pun sudah selesai dan sudah mulai terdistribusikan di Ditjen Dukcapil.
Di sisi lain, dari 192 juta jiwa penduduk yang wajib memiliki KTP-el, masih ada 5 juta orang (2,7 persen) yang belum melakukan perekaman data pribadi. Untuk itu, Zudan akan melakukan upaya ”jemput bola” di lima provinsi yang berada di ”zona merah”. Zona merah mengacu pada daerah yang tingkat perekamannya di bawah 85 persen. Provinsi tersebut adalah Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat.
Sistem jemput bola yang akan diterapkan adalah dengan cara bekerja sama dengan provinsi-provinsi tetangga yang tingkat perekamannya di atas 98-99 persen. ”Kami akan membawa alat (perekaman) dan melibatkan provinsi lain untuk meningkatkan tingkat perekaman hingga di atas 85 persen,” kata Zudan.
Untuk meningkatkan perekaman di kalangan pemilih pemula, Ditjen Dukcapil akan melakukan program jemput bola di sekolah setingkat SMA setiap minggu hingga Maret 2019. Sementara untuk penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, Ditjen Dukcapil akan menggelarnya pada 18-21 Januari 2019.
Warga proaktif
Zudan mengimbau kepada warga untuk proaktif merekamkan datanya ke dinas dukcapil setempat. Ia juga meminta kepada anggota DPR untuk mengimbau konstituen masing-masing agar proaktif.
”Kalau mungkin ada warga di konstituen bapak-ibu yang belum direkam, kalau bisa dikumpulkan di satu tempat, kami akan datang untuk melakukan perekaman guna menjamin hak konstitusional,” kata Zudan.
Zudan mengakui ada kendala minimnya alat perekaman di tingkat kecamatan. Berdasarkan catatannya, ada 30 persen alat perekaman di kecamatan dalam kondisi rusak dan belum mendapat alokasi anggaran dari APBN, hanya dapat bergantung pada APBD setiap kabupaten/kota.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, sempat mempertanyakan proses penyusunan anggaran, terlebih pada rapat bersama Komisi II DPR dan Dirjen Dukcapil Kemendagri sebelumnya bahwa alat perekaman itu bersifat mendesak.
Zudan mengatakan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2013, alat perekaman bersumber pada APBN dan hanya dapat diadakan sebanyak satu kali. ”Jadi ada kendala di regulasi,” kata Zudan.