Warga Jamak Pakai Limbah B3
Tumpukan limbah yang diduga bahan berbahaya dan beracun, jamak digunakan warga, salah satunya untuk urukan. Meskipun berbau, bahan ini dipilih karena bisa digunakan gratis. Kandungan limbah ini perlu segera dipastikan. Bila benar mengandung bahan berbahaya atau beracun, pemerintah mesti bertindak.
Praktik penggunaan pasir diduga limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3 oleh masyarakat rupanya tidak hanya terjadi di Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Di seberang Kanal Timur, setidaknya ada tiga titik dengan timbunan bahan serupa.
Titik pertama berlokasi di timur Kanal Timur, tepatnya di sebuah tempat penampungan pasir dan tanah yang sebagian lahannya jadi tempat pengepulan sampah, sekitar 7,5 kilometer ke arah selatan dari Pintu Air KBT Weir 3.
Titik kedua, bersisian juga dengan tempat pengepulan sampah, berjarak 6 km ke arah selatan dari titik pertama. Adapun titik ketiga terdapat di dekat permukiman, lebih kurang 3,5 meter ke arah selatan dari titik kedua.
Wujud gundukan pasir di ketiga tempat itu mirip dengan yang berada di Kelurahan Marunda dan sedang diselidiki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Saat angin bertiup, bau semacam bahan kimia tercium dari ketiga gundukan, sama dengan yang menguar dari gundukan-gundukan pasir diduga limbah B3 di Marunda.
Gundukan di titik ketiga berdekatan dengan rumah Abdul Rozak (53), di RT 01 RW 09 Kelurahan Rorotan, satu kecamatan dengan Marunda. Ia mengakui, timbunan tanah diduga limbah B3 itu memang sengaja diletakkan di sana sesuai permintaannya.
“Kalau ada limbah (truk mengangkut limbah), saya meminta tolong diturunkan. Kalau limbah semen saya beli, kalau ini (limbah minyak) tidak bayar,” tutur Abdul saat ditemui pada Selasa (8/1/2019). Ia memanfaatkan limbah minyak untuk tanah urukan guna membuat jalan menurun dari jalan inspeksi di sisi KBT menuju ke rumahnya. Lahan tempat tinggal Abdul lebih rendah empat meter dari jalan.
Menurut Abdul, sudah sepuluh truk dimintanya menurunkan muatan limbah minyak untuk pembuatan jalan menurun itu. “Proyek” telah berjalan kurang dari dua tahun. “Orang-orang yang membawa itu kebanyakan menyebutnya TM. Tahi minyak,” ujar dia.
Ia mengklaim tidak ada masalah yang timbul akibat menggunakan limbah. Rumput bisa tumbuh subur meski awalnya tidak, karena limbah minyak saat pertama diturunkan masih panas. Masalah kesehatan pun tidak.
Namun, istri Abdul, Nena Hasanah (41), tidak bisa memungkiri, aroma dari gundukan pasir diduga limbah B3 itu menyengat. Namun, ia berpendapat, itu lantaran ia alergi pada debu. Abdul juga menguatkan dengan berkata, istrinya bahkan tidak kuat mencium aroma asap obat nyamuk.
Abdul masih dengan tenangnya terus memanfaatkan bahan diduga limbah B3. Sementara itu, Pemprov DKI dan KLHK sedang sibuk menelusuri asal gundukan pasir diduga limbah B3 di RW 07 Marunda. Timbunan berlokasi di Rumah Susun Marunda Klaster B; di Jalan Marunda Pulo di seberang SD Negeri Marunda 02 Pagi; serta di sisi Jalan Akses Rusun.
Janadidi atau akrab dipanggil Didi, Ketua RW 07 Marunda, menuturkan, warganya memang ada yang menerima kiriman bahan diduga limbah B3 itu karena butuh menguruk lahan dengan dana terbatas. Pemanfaatan berjalan sekitar setahun belakangan, tanpa warga tahu bahwa bahan itu berpotensi mengancam jiwa mereka.
“Harapan kami sebagai tokoh masyarakat, secepatnya limbah diangkat,” ucap Didi.
Ditelusuri
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta tengah menelusuri asal bahan yang diduga limbah penjernihan minyak goreng yang termasuk bahan berbahaya dan beracun yang dibuang di Jakarta Utara. Untuk itu, empat perusahaan pengolahan minyak goreng tengah diperiksa. Sementara itu, penelitian di laboratorium juga tengah dilakukan untuk memastikan unsur materi tersebut.
Materi mirip tanah yang dibuang di beberapa titik di Jakarta Utara diduga limbah penjernih minyak goreng atau spent bleaching earth (SBE). Bahan ini biasanya digunakan untuk menjernihkan minyak sawit mentah (CPO) yang berwarna coklat menjadi minyak goreng yang berwarna jernih kekuningan seperti yang biasa dijumpai di pasaran.
Kepala Bidang Pengawasan dan Penataan Hukum Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Mudarisin mengatakan, penelusuran asal limbah dilakukan dengan memeriksa manifes pembuangan limbah empat perusahaan pengolah minyak goreng di Jakarta Utara tersebut.
Manifes itu memuat perlakuan terhadap limbah, perusahaan yang mengangkut limbah keluar dari pabrik, hingga pengolahan yang dilakukan. Perusahaan yang menghasilkan limbah B3 pada prinsipnya sudah menggunakan jasa pihak ketiga yang berizin.
“Nanti dari pihak ketiga ini bisa panjang rantainya, bisa dari pengangkut ini perusahaan A, nanti pengolahan ke perusahaan B, bisa saja diserahkan ke tempat lain lagi,” katanya di Jakarta, Selasa.
Dengan rantai pengelolaan limbah yang panjang tersebut, pelanggaran bisa dilakukan oleh satu pihak atau oknum saja. Selain empat perusahaan tersebut, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta juga tengah menginventarisasi perusahaan pabrik pengolah minyak di wilayah lain di DKI Jakarta.
Mudarisin mengatakan, pihaknya juga tengah berusaha menangkap basah pelaku pembuangan dengan menunggu di lokasi tempat pembuangan biasa dilakukan. Menurut informasi warga, pelaku biasa membuang di tengah malam.
Sidik jari
Selain melakukan pemeriksaan manifest di perusahaan, kata Mudarisin, saat ini pihaknya sedang meneliti karakteristik bahan yang diduga limbah SBE itu. dilakukan bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sampel dari materi sudah diambil oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk diteliti di laboratorium. Hasil pemeriksaan diperkirakan sudah bisa diperoleh dalam 1-2 pekan.
Apabila materi tersebut merupakan limbah SBE, penelitian tersebut juga bisa menghasilkan ciri khusus limbah yang biasa disebut finger print (sidik jari) limbah. Ciri khusus atau finger print limbah ini bisa menunjukkan asal materi berasal. Hal ini karena setiap pabrik pengolahan minyak goreng mempunyai ciri khas khusus dalam produk limbahnya.
Wakil Wali Kota Jakarta Utara Ali Maulana Hakim yang meninjau gundukan bahan tersebut pada Selasa pagi menyebutkan, selama hasil pengujian sampel bahan oleh KLHK belum diperoleh, Pemprov tidak bisa serta merta memindahkan.
“Jika hasil uji menunjukkan itu benar B3, pengangkatan tidak bisa disamakan seperti tanah biasa,” ujar Ali. Metode khusus dan orang terlatih diperlukan untuk mengevakuasi limbah B3.
Mudah terbakar
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014, SBE termasuk dalam kategori limbah B3. Namun, limbah SBE ini tak beracun. Meskipun demikian, limbah SBE yang tak diolah bisa berbahaya karena mempunyai potensi terbakar tinggi. “Meski tak beracun, tapi berbahaya karena mudah terbakar karena mengandung minyak,” kata Mudarisin.
Apabila limbah tersebut terbukti sebagai limbah SBE, pelaku pembuangan bisa terancam sanksi. Menurut peraturan, limbah SBE bisa dinetralisir dengan dikeringkan betul sehingga tak mengandung minyak atau dimanfaatkan untuk bahan produk lagi, seperti batako.
Saat ini, warga sekitar diminta untuk berhenti dahulu memanfaatkan materi tersebut sampai hasil penelitian keluar.