Pesona Waimuli Timur yang memikat wisatawan berkunjung, dan ramainya desa di pesisir Lampung Selatan itu oleh aktivitas nelayan, tinggal kenangan. Bencana tsunami Selat Sunda, 22 Desember 2018, telah meluluhlantakkan hampir seluruh desa. Bahkan Waimuli Timur bisa jadi akan tetap menjadi kenangan menyusul rencana pemerintah untuk merelokasinya.
Deretan pohon kelapa di pesisir Waimuli Timur menaungi pantai dari teriknya matahari. Pasir putih pantai yang lembut memanjakan siapapun untuk berlama-lama menikmatinya. Ditemani pemandangan ombak yang berlomba-lomba menuju pantai. Dan menjelang senja, panorama matahari tenggelam terlihat di antara Gunung Anak Krakatau dan perbukitan Pulau Sebuku dan Pulau Sebesi.
Itulah kenangan Misja (66) akan pesisir Desa Waimuli Timur, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, sebelum tsunami melanda.
“Desa ini dulu pernah punya pantai yang sangat indah. Makanya banyak wisatawan yang datang,” kenang Misja, salah satu warga Waimuli Timur, Selasa (8/1/2019).
Waimuli Timur berjarak sekitar 20 kilometer dari Kalianda, ibu kota Lampung Selatan, dengan waktu tempuh menggunakan kendaraan bermotor, sekitar satu jam.
Misja juga mengenang, menjelang matahari terbenam adalah saat paling sibuk di pesisir. Tak hanya dirinya, tetapi juga warga desa lainnya sibuk menyiapkan perahu untuk pergi melaut. “Kami ini tinggal di pantai, desanya para nelayan,” ujar Misja.
Keramaian di pesisir pun selalu tampak setiap pagi hari, saat nelayan kembali dari melaut. Tak hanya di pesisir, keramaian selalu terlihat di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Waimuli Timur. Di lokasi ini, ikan hasil tangkapan nelayan dijual dan dipasok ke pasar-pasar yang berada di Kalianda.
Hasil tangkapan nelayan, menurut Kepala Desa Waimuli Timur Zamra Ghozali, mampu menghidupi masyarakat Waimuli Timur.
Hikayat gadis
Menurut Misja, pesona Waimuli Timur, dan berkah melaut yang bisa diperoleh masyarakatnya tersebut, selaras dengan arti dari Waimuli. Wai berarti Air dan Muli berarti gadis. Dengan kata lain, Waimuli berarti Desa Gadis Air.
“Desa ini seperti gadis cantik yang menarik banyak orang. Mulai dari keindahan airnya dari pantai. Gadis ini juga menarik banyak kehidupan, buktinya ada TPI disini dan juga desa nelayannya hidup dari perairan. Indah sekali,” kenang Misja.
Zamra mengungkapkan, penamaan desa itu diambil dari hikayat tentang seorang gadis. Hikayat yang diceritakan turun-temurun itu, berkisah tentang seorang gadis yang mandi di sebuah mata air. Selain karena air dari mata air itu jernih, gadis itu mandi indahnya panorama yang disuguhkan di mata air tersebut.
Mata air yang dimaksud, mata air Sungai Cimuli, di utara Desa Waimuli Induk. Nama Cimuli sendiri memiliki arti yang sama dengan Waimuli. Hanya saja Cimuli berasal dari bahasa Sunda yang terdiri dari kata ‘ci’ yang dalam terjemahan bahasa Indonesia menjadi air dan ‘muli’ yang artinya gadis.
“Mata air itu simbol sumber kehidupan. Gadis itu mengibaratkan panorama indah disini. Maka dinamakan Waimuli. Sebuah desa yang airnya bersih, pantainya indah, dan jadi sumber kehidupan bagi warganya,” ujar Zamra menirukan seperti apa yang disampaikan orangtuanya.
Sirna
Kini semua hal indah tentang desa itu tinggal kenangan. Tsunami yang terjadi 22 Desember lalu, merenggut nyawa 33 warga Waimuli Timur, dan menghancurkan 141 rumah di desa itu. Desa Waimuli Timur bahkan menjadi satu dari tiga desa, selain Desa Waimuli Induk dan Desa Kunjir, yang terdampak paling parah oleh tsunami di Lampung Selatan.
Pantai yang indah itu kini dipenuhi tumpukan puing-puing rumah yang hancur. Pasir putih yang indah tak pelak terbenam di bawah semua tumpukan itu.
Hiruk pikuk nelayan di pesisir juga tinggal cerita masa lalu. Kapal-kapal yang tadinya parkir di bibir pantai, kini terdampar di antara tumpukan bangunan yang hancur.
Sulit untuk melihat mereka melaut dalam waktu dekat. Sebab, kondisi kapal pun jauh dari layak untuk melaut. Banyak kapal yang lambungnya hancur, mesinnya rusak, dan alat tangkapnya hilang. Bahkan, tidak sedikit nelayan yang kapalnya hancur atau hilang tanpa jejak.
Kesibukan di TPI Waimuli Timur juga sirna sudah. Kini tempat bertemunya nelayan dan pedagang itu sudah rata dengan tanah.
Di ufuk timur, Gunung Anak Krakatau tidak lagi jadi latar indah untuk berfoto. Alih-alih indah, asap yang menyembul justru menimbulkan kekhawatiran.
Guna membantu penyintas tsunami di desa ini, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan berencana untuk merelokasi warga. Relokasi rencananya di dekat Stadion Radin Intan di Kecamatan Kalianda. “Tanah itu milik pemerintah daerah. Kalau warga ingin pindah, kami akan segera siapkan bangunannya,” ujar Pelaksana Tugas Bupati Lampung Selatan Nanang Ermanto.
Relokasi disiapkan oleh pemerintah karena masih adanya ancaman tsunami akibat erupsi Gunung Anak Krakatau. Ini karena aktivitas gunung yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Dan jika tsunami kembali terjadi, bencana itu masih mungkin kembali menghantam Waimuli Timur.
Namun, warga menolak untuk direlokasi. Sebab, jika mereka direlokasi ke Kalianda, mereka akan dijauhkan dari laut, yang otomatis akan membuat jauh mereka dari mata pencaharian mereka sebagai nelayan.
Zamra mengatakan, dari 1.472 warga di desa itu, sekitar 80 persen warga bermatapencaharian sebagai nelayan. Sisanya bekerja sebagai petani, pedagang, jasa wisata, dan pegawai negeri sipil.
Alih-alih pindah ke kota, warga menginginkan mereka tetap tinggal di desa itu. Namun, mereka tidak lagi akan tinggal di pinggir pantai tetapi meminta dibangunkan rumah di atas perbukitan di desa itu, yang kini menjadi lokasi pengungsian mereka. “Bagaimana ya, warga sudah menyatu disini,” ujar Zamra.
Selasa petang, sesaat lagi matahari akan terbenam. Kenangan masa lalu yang indah akan Waimuli Timur masih terbayang-bayang dalam benak Misja. Dia pun berharap desanya bisa kembali seperti dulu kala, kembali menjadi gadis air yang memikat, dan membawa penghidupan bagi banyak orang.