Nurhadi-Aldo ”Tronjal Tronjol” dan Satire Politik
Jika Karl Marx memimpikan tatanan masyarakat tanpa kelas, lalu di mana kita akan belajar, kata Nurhadi, calon presiden dari Koalisi Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asyik.
Selain kegaduhan di ranah publik, Pemilu 2019 juga menciptakan kreativitas dari segelintir masyarakat yang jenuh dengan pertarungan politik yang terkesan elitis. Kehadiran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden fiktif, yaitu Nurhadi-Aldo Suparman atau ”Dildo”, seakan menjadi jawaban atas kegelisahan terkait tingkah dan sifat elite politik yang tidak menyentuh kebutuhan rakyat.
Sejak pertama kali muncul di ranah digital, akhir Desember 2018, akun media sosial sukarelawan Nurhadi-Aldo telah diikuti lebih dari ratusan ribu pengikut. Hingga Selasa (8/1/2019) petang, ada sekitar 286.000 pengikut Dildo di Instagram, kemudian 147.531 pengikut di Facebook, serta sekitar 59.000 pengikut di Twitter.
Daya pikat utama Dildo ialah berani melawan pakem tabu dalam dunia politik di Tanah Air. Tim sukses Dildo berani menggunakan istilah-istilah ”tidak sopan” untuk dijadikan akronim dalam program kerja mereka, misalnya PEJU (Perekonomian Juara) dan KULUM-PENTIL (Kurikulum Pendidikan Tingkat Lanjut).
Melalui dukungan satu partai, yakni Partai untuk Kebutuhan Iman (PUKI), Dildo juga ikut berupaya menghadirkan solusi dari berbagai masalah di negeri ini. Sebut saja, untuk mengatasi kehadiran mafia bola, Dildo akan membagikan bola kepada setiap pemain bola. Harapannya, setiap pertandingan tidak perlu ada kalah atau menang sehingga tidak ada perjudian, mafia, dan keributan antarpendukung.
Dildo juga merencanakan semua petani diangkat jadi pegawai negeri sipil. Lalu, untuk menghadirkan keadilan sosial, salah satu program kerja Dildo ialah dana subsidi tagihan warung internet bagi siswa berprestasi dan anak tidak mampu. Dana subsidi berasal dari pajak perusahaan game dan gaming Youtuber.
Salah satu tim sukses Nurhadi-Aldo, Edwin, menuturkan, kehadiran pasangan fiktif Dildo dilatarbelakangi oleh kemuakan mereka terhadap sejumlah politisi yang setiap hari beradu pendapat dan jadi judul berita di media.
Kami ingin menunjukkan bahwa rakyat seperti kami, yang tidak memiliki modal ataupun kuasa dan massa, kata Edwin, sewaktu-waktu dapat menjadi kritik kepada pemerintah dan muncul sebagai bentuk kekuatan baru politik di Indonesia, Selasa (8/1/2019), di Jakarta.
Sejumlah kutipan memikat dan nyeleneh dari Nurhadi dan Aldo, menurut Edwin, terinspirasi dari kebodohan politikus yang tronjal-tronjol asal kalau berbicara di media.
Suara tersembunyi
Kehadiran Dildo merupakan satire terhadap kontestasi politik yang membosankan. Penciptaan calon pemimpin fiktif itu menjadi bentuk akumulasi suara tersembunyi masyarakat, terutama generasi muda, yang menginginkan pendekatan baru dalam dunia politik.
Hal itu bisa dilihat dari pemilihan Nurhadi sebagai calon presiden fiktif. Nurhadi adalah representasi rakyat biasa yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang pijat di Golantepus, Mejobo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Sejak 2014, ia beken di kalangan komunitas shitposting Indonesia karena kiriman-kirimannya yang unik. Akun Facebook Nur Ha Di telah diikuti 32.541 pengikut.
Adapun Aldo merupakan tokoh fiktif yang juga terkenal di kalangan komunitas shitpost. Aldo meraih puncak popularitas di halaman Facebook shitposting pada 2016-2017.
Dalam jurnal ilmiah berjudul No Laughing Matter: Failure of Satire During the 2016 Presidential Election (Mei, 2018), Jamie Noelle Smith menuturkan, peran satire dalam kontestasi politik akan jauh lebih dalam dibandingkan sekadar sarana penyampaian aspirasi. Satire mampu memberikan pembelajaran politik bagi masyarakat. Setidaknya, masyarakat bisa mengetahui isu yang sedang diperbicangkan atau jadi fokus elite politik.
”Satire justru memainkan peran yang dibutuhkan dalam demokrasi. Sebab, satire memulai pembicaraan, menyaring perasaaan kita, membantu kita menyuarakan kemarahan atau frustrasi, serta menempatkan kata-kata yang sebelumnya tidak bisa kita lakukan,” tulis Smith.
Menurut M Lampland dan M Nadkarni dalam jurnal berjudul What Happened to Jokes? The Shifting Landscape of Humor in Hungary (2016) terdapat dua fungsi satire dalam iklim politik. Di negara yang punya kesempatan terbuka dalam berpartisipasi politik, satire berperan sebagai level paling dasar untuk berkontribusi dalam politik. Namun, satire berubah menjadi satu-satunya pilihan untuk menyuarakan aspirasi bagi masyarakat yang hidup di bawah rezim otoriter.
Pada kontestasi Pemilu Presiden Amerika Serikat 2016, Smith mengungkapkan, satire memainkan peran besar bagi kemenangan Donald Trump. Dengan penggunaan pesan-pesan satire, Trump dinilai berhasil mengangkat citra dirinya untuk meraih pemilih di komunitas yang selama ini dianggap telah apatis terhadap politik, seperti kaum kulit putih tua, kaum pekerja, dan kaum perempuan.
Kondisi terbalik terjadi di China. Hasil penelitian Luwei Rose Luqiu yang tertuang dalam jurnal bertajuk The Cost of Humour: Political Satire on Social Media and Censorship in China (2017) menunjukkan bahwa produksi konten satire terhadap pemerintah di media sosial dapat menyeret seseorang ke proses hukum.
Edukasi
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, menuturkan, eksistensi Dildo merupakan respons publik untuk meredakan dan menurunkan tensi politik di masa kampanye ini. Ia berharap, Dildo tidak sekadar menghadirkan pesan satire, tetapi juga memberikan narasi kampanye yang bermaterikan konten edukatif.
Gagasan banyolan yang berkonotasi positif akan memberi makna tersendiri bagi masyarakat. Misalnya, kata Arie, mengusulkan isu atau perspektif yang tidak diangkat calon pemimpin yang berkontestasi di Pemilu 2019.
Terkait masukan itu, Edwin memastikan, pihaknya memiliki misi untuk meningkatkan edukasi sehingga tidak hanya memberikan sesuatu untuk hiburan. ”Tunggu episode berikutnya dari kami. Kami ingin menjadi tempat hiburan sekaligus edukasi bagi masyarakat dan para politikus dalam berkampanye,” janjinya.
Putra Sang Fajar, Soekarno, pernah berujar, ”Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia.” Mungkin kata-kata itu telah dibuktikan Edwin dan tujuh rekannya, yang lewat Dildo, belakangan ini mampu memberi suasana baru di Tanah Air. Semoga kita #McQueenYaQueen…. (MELATI MEWANGI)