Modal Manusia dan Data di Era Disrupsi
Memasuki tahun 2019, salah satu hal yang sangat perlu atau prioritas menjadi fokus perhatian bagi kemajuan perekonomian bangsa kita adalah peranan modal manusia (”human capital”) dan faktor teknologi.
Awal Oktober 2018 lalu, The Royal Swedish Academy of Sciences telah menganugerahkan Hadiah Nobel untuk Bidang Ilmu Ekonomi kepada Paul M Romer (selain kepada William D Nordhaus).
Romer, khususnya, dianggap berjasa karena telah berhasil meyakinkan dengan pembuktian—baik secara konseptual maupun praktis—bagaimana inovasi teknologi (faktor modal manusia) dapat menjadi sumber utama pertumbuhan dalam jangka panjang, yang kemudian dikenal dengan nama endogenous growth theory.
Prinsip dasar dari teori ini, adanya insentif ekonomi yang besar bagi perusahaan untuk terus-menerus mengakumulasi pengetahuan atau gagasan (knowledge, ideas) dan melakukan inovasi teknologi (melalui penciptaan produk baru dan sekaligus menghancurkan produk lama, atau dikenal dengan creative destruction) sehingga pada gilirannya dapat menghasilkan increasing returns to scale (peningkatan produksi karena penambahan faktor produksi) bagi sumber pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang yang sangat relevan khususnya di era disrupsi digital saat ini.
Era teknologi digital atau dikenal dengan Revolusi Industri 4.0 menuntut perubahan (transformasi) di semua bidang, baik bisnis (organisasi industri), pemerintahan (formulasi kebijakan publik), maupun perilaku bermasyarakat. Istilah disruptive technology ditandai terutama dengan kemajuan teknologi informasi, komputasi, otomasi, dan robotisasi. Risiko disrupsi berdasarkan hasil survei Global Center for Digital Business Transformation pada 2015 (terhadap 941 pemimpin perusahaan, 12 industri) menunjukkan secara rata-rata empat dari 10 perusahaan yang ada di setiap industri itu akan digantikan/hilang, dengan rata-rata waktu disrupsi 3,1 tahun.
Isu disrupsi teknologi tentu sangat perlu menjadi fokus perhatian segenap elemen bangsa Indonesia untuk segera berbenah dan mempersiapkan diri di era peradaban digital ini. Namun, jika kita evaluasi sejauh mana daya saing digital Indonesia di internasional, berdasarkan publikasi IMD World Digital 2018, kita berada di ranking ke-62 dari 63 negara. Untuk lingkup ASEAN-5, kita masih di urutan paling bawah dibandingkan Singapura (ranking ke-2), Malaysia (27), Thailand (39), dan Filipina (56).
Dengan melakukan diagnostik daya saing dapat diketahui beberapa faktor kunci ketertinggalan kita dibandingkan negara-negara itu. Pertama, untuk kategori knowledge, khususnya training pegawai, jumlah lulusan sarjana di bidang sains, dan pemberian grants (bantuan/hadiah) untuk produk berteknologi tinggi (high-tech) yang dipatenkan. Kedua, untuk kategori technology, terutama pada besaran modal investasi di sektor telekomunikasi dan besaran produk ekspor high-tech.
Hasil yang relatif sama juga didukung International Telecommunication Union, yang menempatkan Indonesia relatif tertinggal dibandingkan beberapa negara emerging markets di Asia, yaitu berada pada ranking ke-111 dari 176 negara untuk kategori perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Sementara potensi ekonomi digital Indonesia, menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, diperkirakan akan mencapai 130 juta dollar AS pada 2020 atau setara 12 persen produk nasional bruto (PDB) nasional. Sementara tingkat penetrasi internet mencapai hampir 55 persen dari total penduduk. Angka ini juga mengisyaratkan kita tertinggal dari negara Asia lain yang kontribusi ekonomi digitalnya lebih dari 20 persen PDB dan penetrasi internet lebih dari 80 persen, seperti Malaysia dan Thailand.
Dengan penetrasi lebih dari 50 persen populasi dan potensi pasar ekonomi digital kita yang besar itu pun, pemanfaatannya hingga kini masih belum optimal, terutama karena didominasi untuk media sosial (pengguna Facebook kita 78 juta pengguna pada 2016) dibandingkan untuk aktivitas usaha yang lebih produktif, seperti e-dagang. Berdasarkan asesmen Deloitte (2017), baru 1 per 10 usaha kecil di Indonesia punya kemampuan berdagang secara online, sementara 73 persen masih offline atau baru sekadar tahu adanya online.
Kunci utama
Keberadaan teknologi digital, khususnya platform bisnis yang berbasis online, telah melahirkan banyak jenis bisnis baru dan juga bertransformasi menjadi ”model bisnis baru” serta sudah memasuki hampir semua lini bisnis dalam perdagangan barang hingga transaksi jasa. Ke depan, dengan semakin terintegrasinya perdagangan dunia—meski saat ini diwarnai friksi dagang antara AS dan China—kekuatan gigantis dari internet of things (IoT) sepertinya tak akan terbendung mengingat tuntutan mobilitas (perdagangan) barang dan jasa antarnegara akan semakin intensif dan ekstensif.
Untuk itu, kunci utama memenangi persaingan penjualan suatu produk di era digital terletak pada penguasaan data terhadap perilaku konsumen atau pemangku kepentingan (stakeholders) yang dilayani. Dengan dukungan TIK yang canggih, data dapat diperoleh secara lebih cepat dan efisien, termasuk data dengan volume sangat besar (ribuan-jutaan terabytes) dan tak terstruktur (dapat berupa gambar, teks, video, dan lain-lain), atau dikenal dengan nama big data.
Selain ketersediaan ”data raksasa” tersebut, aspek pengolahan atau pemanfaatan data terlebih lagi harus diperhatikan dengan sangat baik. Pengolahan atau analisis data sangat diperlukan, terutama untuk penyusunan keputusan bisnis yang akurat, formulasi kebijakan pemerintahan yang efektif, atau analisis terkait lain. Proses ini dikenal dengan istilah data analytics (DA).
Dalam hal ini, analytics berpotensi besar untuk menjadi disruptor bagi usaha/bisnis yang terkait. Sudah cukup banyak contoh perusahaan kelas dunia menjadi disruptor ini, yang prinsipnya mengintegrasikan teknologi digital yang canggih (advanced) dengan model bisnis analytics untuk menguasai pangsa pasar yang masif, memberikan nilai (value) yang tinggi kepada pelanggan, sekaligus membuat hambatan bagi masuknya kompetitor (entry-barriers). Mereka di antaranya Amazon, Alibaba, Google, dan Lending Club. Di Indonesia, beberapa unicorn (perusahaan rintisan atau start up dengan valuasi lebih dari 1 miliar dollar AS) juga telah muncul, seperti Go-Jek, Bukalapak, Traveloka, dan Tokopedia.
Dengan demikian, ketersediaan data dan termasuk kemampuan mengolah dan memanfaatkannya (analytics) akan menjadi ”aset terpenting” untuk memenangi persaingan di pasar. Jadi, tidak salah jika Alibaba mengklaim bahwa data adalah aset terbesar perusahaannya. Dengan kata lain, platform teknologi ini juga mengisyaratkan bahwa aset berwujud (tangible asset), seperti tanah, gedung, dan mesin, bukanlah yang nomor wahid lagi. Valuasi perusahaan seperti Go-Jek yang tembus lebih dari 1 miliar dollar AS tentu sangat berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan data ini. Singkatnya, pemanfaatan dataanalytics akan menjadi keunggulan kompetitif bagi penggunanya sehingga dapat mengubah lanskap persaingan usaha atau entitas lain.
Implikasi untuk Indonesia
Belajar dari pengalaman sejumlah perusahaan disruptor kelas dunia, faktor kunci untuk bisa kompetitif di era digital global ini terletak pada sejumlah faktor. Pertama adalah faktor modal manusia atau talenta yang unggul, selain faktor pemberdaya (enablers) lain, seperti akses dan infrastruktur teknologi dan kebijakan pemerintah yang kondusif. Dalam konteks talenta unggul, khususnya untuk mencetak data scientist (ilmuwan data), diperlukan persyaratan dasar untuk mempunyai kompetensi unggul di bidang computer science (programming, ahli jaringan internet, dan lain-lain), matematika (statistika/ekonometrika), dan mikroekonomi (management science).
Untuk itu, sistem pendidikan kita sangat diharapkan untuk dapat bertransformasi juga sehingga dapat menghasilkan talenta digital yang unggul tersebut. Mengingat masih relatif terbatasnya talenta digital ini, Kompas (24/11/2018) melaporkan, banyak korporasi yang berburu talenta-talenta dimaksud dengan tawaran pendapatan yang sangat menjanjikan. Di AS sendiri, kebutuhan akan ilmuwan data juga masih relatif tinggi, sebagaimana McKinsey melaporkan tingkat upah untuk pekerjaan itu yang naik 16 persen per tahun pada 2012-2014 (Kompas, 15/11/2018).
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kominfo pun tahun ini sudah mencanangkan untuk talent project ini dengan menciptakan seribu talenta digital. Kita masih membutuhkan lebih banyak lagi talenta digital ini mengingat besarnya potensi ekonomi Indonesia dan jumlah populasi penduduk yang terbesar keempat di dunia. Dukungan kebijakan pemerintah ditunjukkan, antara lain, dari APBN 2019 yang masih mengalokasikan anggaran 20 persen untuk pendidikan, tetapi preferensi dan detail teknisnya untuk dapat mengembangkan pendidikan TIK ini secara profesional terletak pada komitmen kuat kementerian terkait.
Faktor kedua terkait kesadaran masyarakat terhadap pentingnya data (data awareness/ownership). ”Budaya data” pada masyarakat sangat diperlukan di era digital karena semua data dan informasi yang akurat dan berkualitas akan sangat menentukan dalam pengambilan keputusan di suatu organisasi ataupun kebijakan di pemerintahan. Secara umum, kualitas data di Indonesia masih banyak yang perlu dibenahi.
Sebagai contoh, data beras—makanan pokok kita—selama tiga dekade terakhir belum sinkron (sama) dari beberapa instansi yang memublikasikannya. Baru di pertengahan 2018 diperoleh kesepakatan dalam menghitung jumlah produksi dan stok beras (metode KSA). Pengalaman penulis sendiri sewaktu melakukan survei/riset lapang, masih relatif banyak responden, baik dari perusahaan maupun rumah tangga, yang menolak memberikan informasi/data internalnya, mungkin karena faktor spesifik tertentu. Data yang kurang lengkap atau mungkin malah bias berdampak pada rendahnya kualitas data yang diperoleh. Untuk itu, selain kita concern dengan pengumpulan data yang berbasis pada internet (big data), kualitas dan jangkauan data konvensional ini juga seharusnya bisa lebih ditingkatkan (primer). Istilahnya, good data before big data!
Faktor ketiga terkait dengan aksesibilitas dan infrastruktur TIK. Infrastruktur digital pendukung masih terkonsentrasi di Jawa, sedangkan di kawasan timur Indonesia masih relatif terbatas dan rawan gangguan. Meskipun hal ini dapat dipahami mengingat geografis Indonesia yang luas dan kepulauan, jika kita belajar dari Filipina, dengan kondisi yang sama, daya saing digitalnya bisa mengungguli kita, terutama karena relatif besarnya investasi modal yang masuk dan tumbuhnya sejumlah perusahaan yang sangat inovatif.
Selain itu, berdasarkan Deloitte (2017), biaya internet kita juga masih relatif mahal, ranking ke-81 termahal di dunia (relatif terhadap pendapatan per kapita). Untuk itu, regulasi dalam konteks persaingan pasar di industri telekomunikasi perlu lebih diperkuat dan dengan pengawasan yang lebih transparan sehingga dapat tercipta iklim industri yang lebih efisien dan kompetitif.
MHA Ridhwan Pemerhati Ekonomi Industri dan Spasial; Deputi Direktur Bank Indonesia