JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan kota cerdas merupakan jawaban atas kompleksitas hidup di perkotaan. Konsep kota cerdas ini tidak sekadar bisa memanfaatkan teknologi informasi dengan baik, tetapi melalui teknologi juga mampu meningkatkan kualitas hidup penduduknya, terutama terkait kesejahteraan warga.
”Smart city (kota cerdas) bukan sekadar teknologi informasi. Untuk apa menggunakan teknologi kalau kota kita, warga kita, tidak berpendidikan dan banyak yang miskin,” ujar Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam diskusi Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Rabu (9/1/2019).
Ia menambahkan, partisipasi masyarakat merupakan aspek vital dalam membangun kota cerdas. Tanpa adanya partisipasi warga, program dan rencana di perkotaan akan sulit dijalankan. Selain itu, masyarakat pun tidak optimal memanfaatkan dan merasakan solusi yang direncanakan tersebut.
Diskusi tersebut merupakan rangkaian acara penyerahan penghargaan IKCI 2018 yang digelar harian Kompas. Sebanyak 93 kota otonom dinilai melalui serangkaian tolok ukur dimensi dan metode.
Hasilnya, Surabaya unggul untuk kategori kota metropolitan. Sementara Denpasar (Bali) unggul untuk kota besar, Manado (Sulawesi Utara) untuk kota sedang, dan Padang Panjang (Sumatera Barat) untuk kategori kota kecil.
Surabaya menduduki peringkat pertama dalam penilaian IKCI 2018 pada kategori kota metropolitan, mengalahkan Semarang dan Tangerang Selatan. Selain itu, Surabaya juga mendapatkan nilai tertinggi jika dibandingkan dengan 92 kota lain.
Sebelumnya, Surabaya juga mendapatkan penghargaan IKCI 2015 yang diadakan harian Kompas pada 2015 untuk kategori lingkungan hidup. Pada anugerah ini, penghargaan diberikan untuk tiga kategori, yaitu kategori ekonomi (Magelang), kategori sosial (Madiun), dan kategori lingkungan hidup (Surabaya).
Dimensi masyarakat
Jika dilihat per dimensi yang dinilai dalam IKCI 2018, Surabaya mendapat nilai tertinggi dalam dimensi masyarakat yang memasukkan aspek pendidikan, kreativitas, dan inklusivitas. Adapun dimensi lain yang dinilai adalah lingkungan, mobilitas, pemerintah, ekonomi, masyarakat, dan kualitas hidup.
Konsep kota cerdas di Surabaya tidak hanya menyediakan infrastruktur untuk layanan publik dan inklusivitas. Kota ini juga mendorong industri kreatif melalui pengembangan pusat industri digital rintisan (start up) serta menyediakan koridor ruang kerja bersama (coworking space corridor) yang disebut ”Start Surabaya”. Produktivitas kaum muda di kota tersebut pun dipacu melalui program Pahlawan Ekonomi dan Pejuang Muda.
Kebijakan lain yang juga diterapkan dalam konsep kota cerdas Surabaya adalah pelayanan publik berbasis elektronik. Semua sistem pelayanan terpantau secara langsung dan transparan. Kota ini pun memiliki Surabaya Intelligent Transport System untuk mengatur lalu lintas perkotaan.
Pengajuan izin dan pelaporan keuangan pun digunakan secara elektronik sehingga laporan lebih transparan dan menghemat biaya administratif. ”Bahkan, urusan surat-menyurat untuk keperluan lampid (lahir, mati, pindah, dan datang) serta kawin cerai semua sudah online (daring),” kata Risma.
Ia menyebutkan, fasilitas lain yang juga disediakan di Surabaya adalah taman khusus untuk penderita kanker. Taman ini bisa digunakan untuk pengobatan paliatif bagi pasien kanker. Tenaga kesehatan khusus pun disediakan di taman tersebut.
”Target kami ke depan adalah menurunkan angka daya beli rendah masyarakat Surabaya sebesar 5 persen. Saya lagi cari strategi apa yang bisa diterapkan, mungkin bisa dilakukan per kategori usia masyarakat,” ucapnya.
General Manager Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Harian Kompas F Harianto Santoso menilai, Risma sebagai wali kota sangat memengaruhi kemajuan Surabaya. Menurut dia, wali kota menjadi chief executive officer (CEO) kota sehingga tidak sekadar membawa kota menjadi semakin modern, tetapi juga mampu menyejahterakan warga masyarakat.
”Masyarakat menjadi hakikat utama dari kota cerdas. Itu pula alasan mengapa dalam penilaian IKCI 2018 kami memberikan penekanan lebih pada dimensi masyarakat. Dan, Surabaya berhasil mencapai tujuan tersebut tanpa mengesampingkan dimensi lain,” tuturnya.
Harianto menambahkan, permasalahan perkotaan akan semakin beragam dan dinamis. Diperkirakan pada 2050 sebanyak 70 persen penduduk dunia akan tinggal di perkotaan. Begitu juga di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 menyebutkan, proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan mencapai 49,8 persen. Pada 2030, proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan mencapai 63,4 persen.
”Semakin beragamnya masalah di perkotaan menuntut adanya solusi cerdas dari pemimpinnya. Diharapkan penghargaan (IKCI) ini bisa memberikan inspirasi bagi kota lain untuk bergerak mencari solusi cerdas tersebut,” ujar Harianto.