JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Perhubungan menambah satu poin yang menjadi fokus dalam penyusunan payung hukum ojek daring.
Sebelumnya, regulasi memuat poin keselamatan, tarif, dan penghentian, kini ditambah dengan poin soal kemitraan.
Penambahan tersebut merupakan usulan perwakilan pengemudi dalam pertemuan antara perwakilan aliansi dengan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi di Jakarta, Selasa (8/1/2019).
"Mereka (pengemudi) ingin agar ada aturan yang jelas soal kemitraan ini. Selama ini proses perekrutan hanya melalui sistem. Dengan adanya aturan itu, proses perekrutan bisa dibuat melalui wawancara langsung. Hal ini penting agar tata cara dan kode etik dapat disampaikan dengan baik dan jelas," kata Budi.
Penyusunan regulasi itu didasari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Di Pasal 22 dinyatakan, diskresi dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang bertujuan mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Sejumlah pihak dilibatkan, termasuk perusahaan aplikasi, Organda, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan aliansi pengemudi. "Kami segera menyelesaikan regulasi Maret 2019," ujarnya.
Irwanto, perwakilan pengemudi mengatakan, para pengemudi sangat berharap ada payung hukum bagi ojek daring. Selama ini tarif masih memprihatinkan sehingga sulit bagi para pengemudi untuk hidup lebih sejahtera.
Pengamat transportasi, Azas Tigor Nainggolan berpendapat, keberadaan aturan mengenai ojek daring sangat penting. "Undang-undang tidak melarang sepeda motor jadi angkutan umum. Hanya tidak disebutkan. Kalau tidak disebut, belum tentu dilarang," ujarnya.