Perguruan Tinggi Jadi Tumpuan Moderasi Agama
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menekankan pentingnya perguruan tinggi Islam mengembangkan intelektualitas yang bertumpu pada terwujudnya masyarakat berakhlak dan bermoderasi agama.
"Harapannya, dengan moderasi agama, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri bisa menjadi kampus-kampus berkelas dunia," tuturnya di Jakarta, Senin (7/1/2019) ketika melantik tiga pemimpin baru PTKIN.
Lukman mengimbau, moderasi beragama harus menjadi dasar bagi PTKIN untuk menganalisa persoalan yang terjadi di masyarakat. Khususnya dalam masalah agama dan persoalan kemasyarakatan pada umumnya.
Moderasi beragama penting dilakukan karena pada saat ini masyarakat terseret paham sangat konservatif sehingga tercerabut dari realitas kekinian. "Di saat yang sama, juga berkembang paham liberal yang ekstrem yang membuat kita tercerabut dari realitas keagamaan dan keindonesiaan," tutur Lukman. Di samping itu, tentunya PTKIN juga menjaga dan meningkatkan mutu perkuliahan. Lukman melantik tiga pemimpin perguruan tinggi agama Islam di Jakarta, Senin (7/1/2109).
Pejabat yang dilantik adalah Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah, Amany Burhanuddin Umar Lubis; Rektor Institut Agama Islam Negeri Syek Nur Jati, Sumanta; dan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Tengku Dirundeng, Inayatillah.
Penguatan identitas
Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra mengatakan, akhir-akhir ini terjadi kecenderungan di masyarakat semakin menguatnya identitas-identitas keagamaan yang berpotensi menimbulkan permasalahan.
"Mulai dari soal pemakaman warga agama tertentu di pemakaman umum, bahkan juga di kalangan satu agama sendiri. Kita semua tahu, orang- orang yang dicurigai sebagai teroris kadang ditolak saat hendak dimakamkan di daerah asalnya. Akhirnya, jenazah harus dibawa ke tempat yang lain. Menurut saya, perlu pengaturan supaya tidak terjadi konflik-konflik yang semakin merusak kehidupan antaraumat beragama atau bahkan intra agama yang sama," ucapnya.
Menyikapi kondisi ini, pertama, meski terkesan klise, pemerintah dan terutama lagi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) harus tetap berusaha melakukan penguatan kehidupan beragama secara terus-menerus. Selama ini, aktivitas FKUB terbatas pada elit kepemimpinan agama sehingga ke depan harus lebih melakukan sosialisasi ke masyarakat akar rumput.
Berikutnya, pemerintah harus lebih tegas dan konsisten dalam penegakan hukum. Siapa pun yang terbukti melakukan tindakan-tindakan intoleran maka harus segera ditindak.
Pembubaran peluncuran buku
Empat hari lalu, Sabtu (4/1/2019) di Bandung, Jawa Barat terjadi aksi pembubaran oleh sekelompok massa intoleran terhadap kegiatan peluncuran buku Haqiqatul Wahyi yang diselenggarakan Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Masjid Mubarak. Panitia akhirnya memilih membubarkan diri sebelum keseluruhan acara tuntas diselenggarakan.
"Aksi pembubaran kegiatan tersebut merupakan pelanggaran hak-hak konstitusional warga JAI atas kemerdekaan beragama, kebebasan berserikat dan berkumpul, serta kebebasan berekspresi dan berpendapat yang semuanya dijamin UUD 1945, UU No 39 tahun 1999 Tentang HAM, dan UU No 12 tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik," kata Direktur Riset Setrara Institute Halili dalam pernyataan resminya.
Setara Institute mendorong Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung, hendaknya mengambil langkah-langkah progresif untuk mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 3 tahun 2008 dan Pergub Jawa Barat No 12 tahun 2011 karena telah memicu terjadinya intoleransi dan pelanggaran hak-hak warga negara.
Aparat keamanan, dalam pengamatan Setara Institute, sudah melakukan pengamanan cukup profesional terhadap penyelenggaraan kegiatan tersebut dengan menerjunkan ratusan aparat gabungan kepolisian dan TNI untuk mengamankan acara dari gangguan puluhan massa yang mengklaim mewakili 27 Ormas di Bandung.
Namun demikian, menurut Halili Pemerintah Kota Bandung ke depan hendaknya mengambil prakarsa dan standing position yang lebih kondusif bagi perlindungan hak-hak jemaat Ahmadiyah sesuai dengan jaminan konstitusi dan UU Hak Asasi Manusia. Wali kota harus memosisikan diri sebagai pelindung hak seluruh warga, terutama minoritas yang rentan dikorbankan dalam relasi dengan kelompok-kelompok intoleran yang kerapkali mengatasnamakan mayoritas. Dalam peristiwa yang terjadi kemarin, Pemerintah Kota sempat menganjurkan agar acara peluncuran buku tersebut ditunda.
Dalam pembubaran kemarin, massa intoleran mengklaim tidak melanggar HAM dan hanya menegakkan hukum yang diatur dalam SKB 3 Menteri Nomor 3 tahun 2008 dan Pergub Jawa Barat No 12 tahun 2011. Hal itu menegaskan bahwa SKB 3 Menteri dan Pergub Jawa Barat telah memicu terjadinya intoleransi dan pelanggaran hak-hak warga Ahmadiyah sebagai warga negara. Karena itulah, pencabutan dua landasan hukum tersebut menjadi sebuah kemendesakan agar peristiwa serupa tak terulang ke depan.
Setara Institute mendorong Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung, hendaknya mengambil langkah-langkah progresif untuk mencabut SKB tersebut, misalnya dengan terlebih dahulu melakukan evaluasi komprehensif terhadap dampak buruk SKB dalam bentuk intoleransi, eksklusi sosial, persekusi, dan pelanggaran hak yang dialami oleh JAI sebagai warga negara dalam satu dekade terakhir.
Terakhir, Setara Institute mendesak Gubernur Jawa Barat yang baru, Ridwan Kamil, hendaknya melakukan agenda sistematis dan progresif untuk membatalkan Pergub tersebut sebab peraturan tersebut tidak saja melanggar hak-hak warga Jawa Barat dari kalangan minoritas Ahmadiyah, namun juga memantik terjadinya segregasi sosial-keagamaan dan memicu gangguan keamanan dan ketertiban di Jawa Barat, di mana sebagian besar gangguan terhadap warga Ahmadiyah terjadi di wilayah provinsi Jawa Barat.