Perbaiki Akses Pelayanan bagi Korban Pelanggaran HAM
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemenuhan hak saksi dan korban kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia masih terhambat proses yang rumit. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban perlu lebih proaktif untuk mempermudah akses pelayanan medis, psikologis, sampai ganti rugi bagi korban pelanggaran HAM.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, Selasa (8/1/2019) mengatakan, saat ini masih terjadi perbedaan tingkat pelayanan korban pada kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dan terorisme. Korban kasus HAM masih kesulitan memperoleh pelayanan yang disediakan LPSK seperti layanan psikososial, psikolgis, medis, hingga kompensasi.
Usman menuturkan, prosedur korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan layanan dasar seperti kesehatan masih berbelit-belit. Mereka harus mendapatkan surat keterangan korban yang diperoleh dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Untuk mendapat dokumen itu, mereka juga harus mengajukan permohonan pada Komnas HAM yang disertai fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Korban kasus pelanggaran HAM juga menghadapi kesulitan yang sama terkait masalah kompensasi. Untuk mendapatkannya, mereka harus menunggu adanya putusan hukum yang mengikat dari pengadilan. Padahal, proses persidangan kasus HAM kerap terhenti di tengah jalan.
“Amat disayangkan untuk mendapatkan pelayanan dasar saja harus melewati proses sepanjang itu. Korban memerlukan penanganan secepatnya karena telah melewati peristiwa yang berpengaruh baik terhadap kondisi fisik maupun psikologisnya,” kata Usman saat dihubungi dari Jakarta.
Pelayanan kebutuhan korban terorisme berbanding terbalik dengan korban kasus pelanggaran HAM. Pemenuhan hak-hak korban kasus terorisme saat ini sudah berjalan lebih efektif dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2OO3 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Pasal 35A ayat 4 telah menetapkan jenis-jenis bantuan yang didapat korban kasus terorisme. Bentuk bantuan berupa bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, santunan keluarga untuk korban meninggal, serta kompensasi.
Selain itu, UU ini juga telah mengatur pemberian restitusi atau ganti rugi kepada korban atau ahli waris korban pada Pasal 36A.
Usman mengatakan, LPSK perlu melakukan komunikasi dan koordinasi yang lebih intensif dengan lembaga dan kementerian terkait. Pembuatan kesepakatan untuk mengambil langkah-langkah proaktif dan strategis wajib dilakukan guna memenuhi hak dasar korban seperti mendapat pelayanan psikologis, kesehatan, dan lainnya.
Sementara itu, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Feri Kusuma berpendapat, LPSK harus lebih aktif untuk mendorong Presiden dan Dewan Perwaklilan Rakyat (DPR) RI untuk mengaji ulang undang-undang yang mengatur pemberian layanan kepada korban kasus HAM, termasuk restitusi dan kompensasi. Pemberian ganti rugi sebaiknya dipermudah agar pihak yang terdampak dapat merasakan manfaat LPSK secara langsung dan menyeluruh seperti untuk korban kasus terorisme.
Feri juga berharap, ke depannya LPSK akan lebih aktif dalam melakukan jemput bola kepada saksi maupun korban yang membutuhkan. Ia menilai, selama ini LPSK masih cenderung menunggu orang yang datang. Padahal, korban-korban itu juga memiliki ketakutan tersendiri bila terlibat masalah hukum.
Dihubungi secara terpisah, Anggota LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan pihaknya selalu membantu korban pelanggaran HAM untuk mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan. Mereka juga telah memiliki nota kesepahaman dengan Komnas HAM untuk mempermudah proses pengurusan arsip penting.
Edwin mengatakan, saat ini LPSK tengah merencanakan langkah strategis dalam pemenuhan kebutuhan psikososial korban. Mereka akan berkomunikasi dengan sejumlah kementerian untuk menyediakan program khusus bagi korban pelanggaran HAM.
LPSK tengah berbicara dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyediakan beasiswa pendidikan bagi korban, Kementerian Sosial dengan merenovasi rumah, dan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia untuk melaksanakan kegiatan pelatihan dan kursus untuk korban.
“Bantuan yang diberikan LPSK adalah salah satu bentuk konkrit kehadiran negara dalam membantu para korban,” tutur Edwin.
LPSK juga akan aktif melakukan sosialiasi tentang lembaganya maupun pentingnya mendapat hak-hak dasar bagi para saksi dan korban. Ia mengatakan, masih banyak masyarakat yang takut menghadapi proses hukum. Selain itu, tidak semua orang mengetahui keberadaan LPSK. Padahal, badan ini amat berguna bagi masyarakat yang sedang menghadapi masalah hukum.