Penyintas Tsunami Masih Tersebar
PANDEGLANG, KOMPAS — Sejumlah penyintas tsunami Selat Sunda di Pandeglang, Banten, masih mengungsi secara tersebar di rumah penduduk dan bangunan milik warga. Mereka menanti kepastian pembangunan hunian sementara karena rumah mereka hancur tersapu tsunami. Sebagian besar warga sudah meninggalkan pengungsian karena masih dapat tinggal di rumah mereka.
Beberapa penyintas ada yang mengungsi di rumah kerabat dan ada juga yang mengungsi di gedung bekas sekolah. Tersebarnya para pengungsi membuat pembagian bantuan logistik menjadi tidak merata.
Warga Kampung Citajur, Desa Sukarame, Kabupaten Pandeglang, Epi (45), mengaku sudah empat hari mengungsi di rumah orangtuanya di Kampung Cibenda, Desa Sukarame. Sebelumnya, ia menginap di tempat pengobatan alternatif karena terluka di wajah dan kaki serta tulang punggungnya retak setelah tergulung ombak saat terjadi bencana tsunami pada 22 Desember 2018.
Epi sempat tidak sadar selama 7 hari dan dirawat selama 11 hari. Setelah berangsur pulih, ia mengungsi di rumah orangtuanya. Luka sobek terlihat jelas di dekat matanya. Kesedihan juga masih terlihat di wajahnya ketika mengenang putrinya yang meninggal karena tergulung gelombang.
Selama mengungsi, kebutuhan logistiknya masih tercukupi karena mendapat bantuan dari pemerintah melalui ketua RT setempat. Namun, ia belum mendapat kompor dan panci untuk memasak.
”Sementara, kami memasak menggunakan kompor milik ibu saya,” kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sapu di salah satu vila tersebut.
Epi menuturkan, bantuan dari sukarelawan sering diambil oleh warga yang bukan menjadi korban bencana tsunami. Para sukarelawan sering menaruh bantuan di posko pengungsian yang dihuni oleh warga yang hanya ketakutan.
Epi dan istrinya, Riansih (42), berharap mendapatkan bantuan tempat tinggal. Namun, mereka mengaku belum mendapatkan informasi terkait pembangunan hunian sementara (huntara). ”Saya belum tahu dapat (huntara) atau tidak,” kata Riansih.
Pengungsi di bekas gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Selat Sunda, Kampung Cibenda, Desa Sukarame, Kecamatan Carita juga merasakan hal yang sama. Mereka belum mendapatkan kompor untuk memasak.
Salah satu pengungsi, Asep (40), menuturkan, mereka memasak dengan menggunakan tungku dari susunan batubata. Mereka memanfaatkan kayu dari puing-puing bangunan sebagai bahan bakar.
Warga Kampung Citajur, Desa Sukarame, tersebut mengaku hanya mendapat bantuan logistik dari ketua RT, tetapi tidak menentu. ”Terakhir dikasih kemarin, hari ini belum dapat,” ujar Asep.
Hal serupa dituturkan tetangga Asep, Karta (50). Ia telah meminta terpal ke posko pengungsian untuk berlindung di saat terjadi hujan, tetapi belum mendapatkan. Pengungsi di gedung bekas PAUD ini membutuhkan kompor, terpal, tikar, selimut, dan karpet. Mereka masih mengungsi di tempat ini karena tidak memiliki rumah dan kerabat dekat.
Mereka mengutarakan kekesalannya karena banyak orang yang memanfaatkan bantuan dari sukarelawan, padahal rumah mereka berada di tempat yang aman. ”Kami yang menjadi korban malah tidak dapat bantuan, mereka yang cuma takut dapat banyak bantuan dari sukarelawan,” tutur Asep.
Asep dan Karta juga berharap dapat segera menempati huntara. Mereka mengaku sudah didata. Sesuai dengan pernyataan pemerintah, huntara akan diberikan kepada penyintas yang rumahnya rusak berat dan sedang. Adapun rumah Asep dan Karta sudah rata dengan tanah.
Kepala Desa Sukarame, Jaenal, mengatakan, telah memusatkan bantuan di depan rumahnya untuk dapat dibagikan kepada yang berhak. Jaenal memanggil setiap ketua RT untuk membagikan bantuan kepada warganya yang menjadi korban bencana tsunami.
Jaenal memastikan, seluruh korban tsunami yang rumahnya hancur telah didata dan akan mendapatkan huntara. ”Ada 60 kepala keluarga yang akan mendapatkan huntara,” kata Jaenal.
Adapun terkait warga yang mengungsi hanya karena ingin mendapat bantuan, Jaenal telah mengetahui keberadaan pengungsi tersebut. ”Mereka hanya ketakutan dan saya sudah menyuruh mereka pulang,” kata Jaenal.
Posko pengungsian
Selain tersebar di rumah penduduk, ada juga penyintas yang masih tinggal di posko pengungsian. Seperti terlihat di Majelis Ta’lim Al-Ikhlas di Kampung Karabohong, Desa Labuan, Kecamatan Labuan, Pandeglang. Posko ini menampung 128 pengungsi dari Desa Teluk dan Cigondang, Kecamatan Labuan. Keberadaan posko memudahkan distribusi bantuan.
Posko ini menjadi pusat pengungsian di Kecamatan Labuan karena tempat lain seperti sekolah dan lapangan futsal sudah digunakan untuk beraktivitas seperti semula. Adapun dapur umum dipusatkan di kantor Kecamatan Labuan.
Warga Kampung Karet, Desa Teluk, Asbah (38), mengatakan, rumahnya hancur dan tabungannya hilang tersapu ombak. ”Suami saya belum dapat bekerja sebagai tukang becak karena masih harus merawat kami di posko pengungsian,” ujar perempuan yang sehari-hari sebagai ibu rumah tangga tersebut.
Ia kebingungan karena harus merawat ketiga anak kandung dan ketiga anak angkatnya. Asbah mengaku, anaknya belum memiliki seragam sekolah yang sesuai dengan ketentuan di sekolah dan sepatu. Namun, mereka sudah mendapatkan bantuan peralatan sekolah, seperti buku dan alat tulis.
Tetangga Asbah, Mufpid (34), mengaku belum pulang ke rumah karena tempat tinggalnya tersapu ombak. Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai nakhoda kapal tersebut juga belum dapat melaut karena kapalnya rusak.
Di Posko Majelis Ta’lim Al-Ikhlas, para pengungsi mengaku kebutuhan logistik dan sandang mereka masih tercukupi meskipun terkadang makanan datang secara tidak teratur. ”Kadang hanya makan nasi sehari dua kali,” ujar Asbah.
Koordinator Posko Majlis Ta’lim Al-Ikhlas Sersan Kepala Thahir mengatakan, logistik bagi para pengungsi masih tercukupi. Mereka yang mengungsi karena rumahnya hancur juga akan mendapat huntara.
Pengungsi berkurang
Posko pengungsian juga tampak di Masjid Jami Bahrurrohman di Desa Teluk, Kecamatan Labuan. Supri (60), pengelola Masjid Jami Bahrurrohman mengatakan, sekitar 50 warga Desa Teluk masih mengungsi di masjid tersebut. Meski demikian, jumlah itu sudah jauh menurun dibanding hari sebelumnya.
Saat tsunami baru melanda Kabupaten Pandeglang, Sabtu (22/12/2018), jumlah pengungsi di Masjid Jami Bahrurrohman sekitar 200 orang. ”Sekarang, warga pulang pada siang hari untuk membersihkan rumahnya. Masjid ini mulai ramai pukul 20.00 karena banyak warga yang menginap,” ucapnya.
Para pengungsi tetap menginap di masjid dua lantai itu karena mereka masih terbayang tsunami yang melanda desanya. ”Kalau malam, para pengungsi memenuhi lantai satu dan dua. Syukurlah, makanan dan pakaian cukup,” ucap Supri.
Sukaeni (35), warga Desa Teluk yang mengungsi ke Masjid Jami Bahrurrohman, mengatakan, dia masih takut bermalam di rumahnya. ”Sebenarnya, pengelola Masjid Jami Bahrurrohman meminta kami tidak mengungsi ke sini. Tapi, mau ke mana lagi,” lata Sukaeni.
Sukaeni pulang untuk membersihkan rumahnya pada siang hari. Setelah itu, dia dan tiga anaknya bermalam di Masjid Jami Bahrurrohman. Dia mengaku masih trauma sehingga enggan menginap di rumah.
”Saya cemas kalau ditinggal di rumah tapi semua tetangga tidak ada,” ujarnya. Banyak perabot di rumah Sukaeni yang rusak atau hanyut. Rumah itu sangat kotor karena air selokan bercampur dengan gelombang.
Keberadaan penyintas yang terpusat di posko pengungsian memudahkan para sukarelawan yang hendak menyalurkan bantuan. Oky Setiarso, pendiri Kelas Belajar Oky di Jakarta, mengakui, masih banyak penyintas yang menyebar di pengungsian dan rumah saudara berdasarkan pengamatannya di lapangan. Namun, dia mengaku lebih mudah menyalurkan bantuan jika penyintas terpusat di posko pengungsian.
Oky bersama sekitar 10 mahasiswa Tarumanegara, Jakarta, mendapati banyak anak yang membutuhkan perlengkapan sekolah. ”Kami memutuskan untuk memprioritaskan anak-anak dulu. Perlengkapan sekolah akan kami serahkan paling cepat dua pekan lagi,” ucap Oky.