JAKARTA, KOMPAS — Rencana produksi batubara tahun ini di kisaran 500 juta ton dianggap melenceng dari rencana umum energi nasional atau RUEN. Dalam RUEN maupun pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2015-2019, produksi batubara tahun ini dipatok 400 juta ton. Indonesia belum sepenuhnya mampu lepas dari paradigma pengelolaan sumber dalam alam berbasis komoditas.
Mengacu pada dokumen RUEN dan RPJMN 2015-2019, produksi batubara tahun ini dipatok hanya 400 juta ton. Adapun produksi tahun lalu seharusnya hanya 403 juta ton, tetapi realisasinya jauh melampaui patokan tersebut, yaitu 528 juta ton. Pembatasan produksi batubara merupakan bagian dari skenario untuk memprioritaskan kebutuhan dalam negeri ketimbang untuk ekspor.
"Tidak sesuainya realisasi produksi batubara seperti yang tercantum dalam dokumen RUEN atau RPJMN 2015-2019 menunjukkan bahwa paradigma pengelolaan sumber daya alam Indonesia masih berbasis komoditas untuk mengejar perolehan devisa, bukan sebagai modal penggerak pembangunan di dalam negeri," ujar Manajer Advokasi Publis What You Pay Indonesia Aryanto Nugroho, Senin (7/1/2019), di Jakarta.
Menurut Aryanto, tak hanya urusan menggenjot produksi, pemerintah harus mengevaluasi kepatuhan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) batubara terhadap kewajiban memasok batubara di dalam negeri (domestic market obligation/DMO). Pemerintah harus menindak tegas perusahaan yang tak melaksanakan kewajiban DMO sebagai upaya memprioritaskan kebutuhan dalam negeri. Perusahaan yang tak patuh harus dipublikasikan.
"Apalagi, pemerintah baru saja meluncurkan sistem pengawasan produksi dan penjualan pertambangan minerba secara langsung dan akurat (minerba online monitoring system/MOMS). Prinsip keterbukaan dan transparansi harus ditegakkan," ucap Aryanto.
Tahun lalu, realisasi produksi batubara mencapai 528 juta ton. Dari total produksi tersebut, sebanyak 115 juta ton atau 21 persen dipasok untuk kebutuhan dalam negeri, sedangkan sisanya untuk ekspor. Peningkatan produksi batubara menjadi salah satu jalan keluar pemerintah untuk menambah perolehan devisa. Tahun lalu, devisa dari ekspor batubara dibutuhkan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan.
"Kemungkinan produksi tahun ini bisa lebih dari 500 juta ton. Ini sejalan dengan realisasi penerimaan negara bukan pajak dari mineral dan batubara pada 2018 sebesar Rp 50 triliun," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono.
Hilirisasi
Di satu sisi, upaya pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah batubara di dalam negeri masih belum optimal. Hilirisasi batubara yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan adalah gasifikasi batubara atau memproses batubara menjadi dimetil eter, bahan baku elpiji. Bentuk lainnya adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulut tambang batubara.
"Persoalannya, belum ada payung hukum yang jelas untuk hilirisasi batubara di dalam negeri. Selain itu, proyek gasifikasi batubara di Indonesia belum sampai pada tahap terbukti secara komersial, masih sebatas kajian atau proyek percontohan," kata Ketua Indonesia Mining Institute Irwandy Arif.
Perusahaan yang sedang merencanakan gasifikasi batubara adalah PT Bukit Asam Tbk. Perusahaan tersebut menggandeng perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products and Chemical Inc, untuk membangun industri gasifikasi batubara di Indonesia. Produk gasifikasi tersebut diharapkan dapat mengurangi impor elpiji oleh PT Pertamina (Persero).
Bukit Asam merencanakan proyek tersebut beroperasi secara komersial pada 2022. Rencananya, lokasi proyek gasifikasi ada di Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Proyek hilirisasi lainnya adalah pembangunan PLTU mulut tambang berkapasitas 2 x 620 megawatt di Sumatera Selatan.