JAKARTA, KOMPAS — Hingga kini baru ada tiga perusahaan perdagangan elektronik atau e-dagang yang melantai di Bursa Efek Indonesia. Minimnya jumlah perusahaan e-dagang yang mencatatkan diri di pasar modal diduga karena lebih banyak memiliki aset tak berwujud, sedangkan syarat masuk ke bursa adalah memiliki aset bersih minimal Rp 5 miliar.
Hal itu dikatakan Kepala Riset Koneksi Capital Alfred Nainggolan saat dimintai pendapatnya, Selasa (8/1/2019). Alfred menduga, jumlah perusahaan e-dagang yang masuk ke bursa melalui penawaran saham perdana kepada publik (IPO) masih sedikit karena sebagian besar perusahaan e-dagang memiliki lebih banyak aset tak berwujud dibandingkan aset berwujud.
”Meski transaksi perusahaan e-dagang mencapai angka miliaran rupiah, aset bersihnya rata-rata masih sedikit,” ujar Alfred.
Sama halnya dengan perusahaan pada sektor industri lain, perusahaan e-dagang yang berasal dari sektor baru memiliki tantangan untuk meyakinkan publik. Alfred menyarankan perusahaan e-dagang tidak hanya menawarkan prospek perusahaan semata, tetapi juga labanya.
Baik prospek maupun labanya dicatatkan secara komprehensif dalam laporan keuangan. Dengan melihat secara langsung laporan keuangan perusahaan, publik jadi bisa mempertimbangkan keputusan untuk investasi.
Berdasarkan Data Profil Perusahaan Tercatat pada laman Bursa Efek Indonesia (BEI), sejauh ini baru ada tiga perusahaan yang berani melantai di BEI. Perusahaan tersebut antara lain PT NFC Indonesia Tbk (NFCX), PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS), dan PT Kioson Komersial Indonesia Tbk (KIOS).
Alfred menambahkan, setiap perusahaan e-dagang bisa saja melantai di bursa saham selama memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan BEI. ”Artinya, tidak ada halangan dari segi regulasi. Menurut saya, hambatan untuk tidak melantai lebih pada persoalan internal perusahaan itu sendiri,” lanjutnya.
Berkaitan dengan hal ini, Chief Executive Officer Bhinneka Hendrik Tio mengatakan, pada tahun ini Bhinneka belum berencana menawarkan saham perdananya kepada publik. Ia memandang tahun ini bukan waktu yang tepat untuk masuk pasar modal.
”Kalau tahun ini, sepertinya bukan waktu yang tepat untuk melantai karena tahun politik. Kami tunggu momentum yang tepat, mungkin dua sampai tiga tahun ke depan,” ucapnya.
Hendrik mengatakan, sebenarnya Bhinneka sudah menyusun rencana untuk masuk pasar modal. Ia juga yakin Bhinneka sudah memenuhi semua syarat.
Hendrik mencontohkan, Bhinneka mendaftar untuk menawarkan saham perdana di BEI tahun lalu dan dikategorikan lulus uji coba. Keputusan untuk resmi masuk pasar modal akhirnya ditunda dengan alasan menunggu tahun politik lewat.
Perlebar sayap
Meski belum memutuskan untuk melantai, Bhinneka berencana mengembangkan bisnisnya pada tahun ini. Setelah memiliki delapan toko luar jaringan (luring), tahun ini Bhinneka akan membuka setidaknya lima toko luring lagi.
Selain itu, pengembangan juga akan dilakukan dari segi perangkat teknologi informasi untuk menunjang performa lini bisnis dalam jaringan (daring).
Selama ini, Bhinneka memiliki tiga unit bisnis, yaitu Bhinneka.com dengan segmen business to consumer (B2C), Bhinneka Bisnis dengan segmen business to business (B2B), dan business to government (B2G), serta Bhinneka Digital Printing Solution.
Sepanjang tahun 2018, sumbangan pemasukan paling besar berasal dari segmen B2G sebesar 50 persen. Sementara dari B2B dan B2C masing-masing 30 persen dan 20 persen. Rata-rata pertumbuhan Bhinneka pada tahun 2018 sebesar 40 persen.
”Target pertumbuhan rata-rata tahun ini paling tidak di atas rata-rata pertumbuhan tahun 2018, yakni sekitar 40 persen,” ujar Hendrik. (KRISTI DWI UTAMI)