GKR Hemas Akan Ajukan Upaya Hukum ke Mahkamah Konstitusi
Oleh
Nina Susilo/Satrio Pangarso Wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari daerah pemilihan DI Yogyakarta, GKR Hemas, melanjutkan upaya hukum. Tidak hanya menolak pemberhentian sementara dirinya dari DPD, GKR Hemas mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk mencari penegasan siapa pimpinan DPD yang dinilai sah.
Gugatan ini akan didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi, Selasa (8/1/2019). GKR Hemas yang hadir di Kompleks Istana Kepresidenan bersama pengacaranya, Irman Putra Sidin, dan anggota DPD, Nurmawati Bantilan dan Anna Latuconsina, mengungkapkan rencana itu.
”Mahkamah Konstitusi kami harap memutuskan perkara ini. Lembaga yang berwenang siapa, Ibu Ratu (GKR Hemas) dan Pak Farouk (Farouk Muhammad) atau Oesman Sapta dan kawan-kawan,” kata Irman kepada wartawan.
Gugatan ini dinilai penting karena ada dualisme kepemimpinan DPD. Perselisihan ini terjadi pertengahan 2017 setelah Irman Gusman terbelit kasus korupsi. Muncul dua kubu kepemimpinan DPD. Satu kubu pimpinan terdiri atas M Saleh, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad. Adapun kubu lainnya terdiri atas Oesman Sapta, Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis.
”Kami sampaikan bahwa pengambilalihan kekuasaan seperti ini tidak bisa dibiarkan karena akan menjadi pembenaran ke depan. Kekuasaan presiden bisa diambil alih orang kemudian tidak ada proses hukum yang menyelesaikannya, kemudian dianggap ini hal yang biasa. Inilah yang akan kami bawa ke MK dan Presiden menyambut positif untuk menyelesaikan persoalan ini di MK,” tutur Irman.
Selain itu, dia menilai, kepemimpinan Oesman Sapta Odang, dinilai telah melanggar Putusan Mahkamah Agung nomor 20P/HUM/2017 yang menetapkan bahwa masa jabatan pimpinan DPD adalah 5 tahun, sesuai dengan masa keanggotaan DPD. Putusan itu pun menyatakan pemotongan masa jabatan ini tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, tidak boleh ada pimpinan DPD baru.
Pandangan serupa disampaikan Anna Latuconsina. Dia menyebutkan, tidak ada dasar hukum penetapan periode kepimpinan DPD hanya selama 2,5 tahun yakni 2017-2019.
Nurmawati menambahkan, pengambilalihan kepemimpinan itu adalah pelecehan terhadap lembaga negara. ”Hukum harus ditegakkan, jadi bukan masalah orang per orang di sini, masalah lembaga,” ujarnya.
Diundang Presiden
Hemas juga membenarkan bahwa Presiden setuju dan mendorong supaya semua terselesaikan di MK.
Sebelumnya, menurut Hemas, dirinya diundang Presiden untuk menyampaikan duduk permasalahan konflik di DPD. Apalagi, akhir 2018, GKR Hemas diberhentikan sementara dari DPD oleh Badan Kehormatan DPD. Ketidakhadirannya di sidang paripurna DPD sebanyak 12 kali berturut-turut menjadi alasan pemberhentian.
Ketua BK DPD Mervin Sadipun mengatakan, GKR Hemas dinilai tidak menjalankan tugas sebagai anggota DPD. Salah satu tugas terpenting adalah memperjuangkan aspirasi daerahnya. (Kompas, 21 Desember 2018)
”Saya diberhentikan dengan tidak wajar,” ujar Hemas.
Di tempat terpisah, Peneliti di Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus prihatin terhadap kondisi DPD saat ini yang dinilainya berantakan. Di tengah desakan untuk memperkuat peran DPD dalam sistem parlemen Indonesia, kekacauan terus muncul dari dalam DPD.
“Seharusnya DPD dapat menjadi lembaga penyeimbang DPR. Sekarang malah dikacaukan dengan kemunculan politisi partai politik di dalam DPD. Ini mengubah rupa DPD yang seharusnya diisi perwakilan daerah,” kata Lucius.