JAKARTA, KOMPAS – Neraca perdagangan Indonesia tahun 2019 diproyeksikan masih akan mengalami defisit. Lemahnya permintaan global serta kurangnya daya saing menjadi faktor yang mempengaruhi defisit.
“Kalau melihat dari proyeksi pertumbuhan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor utama pada 2019, hampir semuanya menurun, termasuk Amerika Serikat,” kata Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Muhammad Faisal, saat dihubungi pada Selasa (8/1/ 2019).
Menurut Faisal, kondisi itu merupakan dampak dari perang dagang antara China dan Amerika Serikat yang membuat kondisi perekonomian negara lain semakin tertekan. Indonesia juga terkena imbasnya sejak akhir 2018 lalu.
Selain perang dagang, harga komoditas juga mempengaruhi defisit neraca perdagangan. Menurut Faisal, tren penurunan harga komoditas di 2019 masih akan terjadi, meskipun penurunannya sedikit demi sedikit.
Padahal, jika dilihat dari sisi ekspor, sebesar 55 persen ekspor non-minyak dan gas (migas), bergantung pada komoditas, seperti kelapa sawit, batubara, dan karet. Sebagai produsen, Indonesia tidak dapat banyak mempengaruhi harga, tetapi dapat membuat strategi.
Menurut Faisal, strateginya adalah memperluas dan memperkuat penetrasi pasar ekspor ke negara-negara selain China dan Amerika Serikat. Meski harga memang tertekan, tetapi jumlah negara pengimpor dapat diperbanyak, misalnya dengan memperluas pasar ke negara lain yang membutuhkan sawit.
“Ekspor dari industri manufaktur juga harus terus didorong, sebab pertumbuhannya masih lambat. Ini yang menyebabkan kenapa kita mudah terkena defisit perdagangan. Saat harga komoditas sedang jatuh, pertumbuhan ekspor manufaktur yang lemah hanya memperburuk keadaan,” kata Faisal.
Faisal mencontohkan, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, seharusnya Indonesia memiliki peluang ekspor tekstil baju muslim lebih besar dibandingkan China dan Thailand. Namun, pasokan pakaian muslim di Timur Tengah lebih dikuasai oleh kedua negara tersebut.
Dari sisi impor nonmigas, Faisal mengatakan, akan terjadi penurunan. Sebab, dari sisi permintaan secara umum sedikit lebih rendah dan efek dari kebijakan pemerintah untuk menahan laju pertumbuhan impor.
“Sebenarnya hal ini sudah dimulai dari 2018 tapi kita belum melihat efeknya karena saat itu menjelang akhir tahun,” ujarnya.
Dari sisi migas, impor migas pada 2019 akan sedikit menurun walau tetap relatif tinggi. Harga rata-rata minyak mentah dunia yang menurun akan berpengaruh pada penurunan impor.
“Harga minyak pada tahun 2019, efeknya kepada impor akan sedikit lebih rendah. Hal yang belum bisa pastikan itu ekspor. Sebab, bukan hanya dipengaruhi oleh harga, tapi juga dari permintaan,” kata Faisal.
Lebih lanjut, Faisal menyampaikan, permintaan dari negara yang menjadi tujuan utama ekspor seperti China, Jepang, dan Korea yang menurun, akan menekan ekspor.
“Hal ini sudah terlihat pada November 2018 saat kita mengalami defisit terbesar sepanjang 5 tahun terakhir, yaitu mencapai dua miliar dollar AS,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan pada November 2018 defisit 2,047 miliar dollar AS (defisit terdalam sejak Januari 2014). Dengan demikian, neraca perdagangan Januari-November 2018 defisit 7,515 miliar dollar AS. (Kompas, 18 Desember 2018)
Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat. Secara terpisah, Ade menyampaikan, 2019 masih merupakan tahun yang sulit bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
“Meskipun harga migas turun, kita akan terus mengalami defisit karena ketergantungan kita terhadap impor yang cukup tinggi. Solusi jangka pendek yang bisa didorong adalah kelapa sawit, tambang, dan tekstil supaya mendapatkan nilai surplus,” ujar Ade.
Untuk jangka menengah dan panjang, kata Ade, Indonesia harus memiliki riset dan industri yang memungkinkan kelapa sawit diolah menjadi bahan bakar minyak (BBM) berupa diesel. Selain itu, industri otomotif harus memproduksi kendaraan bertenaga listrik, bukan hanya kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak.
“Intinya, pada 2019, dari sisi migas, impor kita sedikit lebih rendah dan ekspor kita berpeluang menurun. Kalau digabungkan, Indonesia tetap defisit dan tidak jauh berbeda dengan 2018,” kata Faisal.
(Sharon Patricia)