Menuju Jalan Tol 4.0
Jalan tol di Indonesia mengarah ke industri 4.0. Selain teknologi yang akurat dan "realtime", digitalisasi menuntut perubahan kebiasaan pengguna. Selamat datang jalan tol 4.0!
Tahun lalu, enam bulan jelang penerapan transaksi nontunai di jalan tol pada akhir Oktober 2018, rata-rata tingkat penetrasi penggunaan uang elektronik untuk transaksi di jalan tol masih di bawah 30 persen. Sosialisasi oleh badan usaha jalan tol seolah tidak berdampak signifikan. Kompas mencatat, ketika mudik Lebaran 2017, transaksi nontunai meningkat jadi 30 persen, meski sebulan kemudian turun jadi 28 persen.
Penerapan transaksi nontunai kemudian ditempuh bertahap di ruas tertentu. Harapannya, tidak timbul kekacauan ketika serentak diterapkan di seluruh ruas tol. Di sisi lain, bank-bank penyedia uang elektronik mendiskon harga kartu sampai 50 persen dan memasarkannya melalui toko retail modern. Hasilnya, dua minggu jelang pemberlakuan, penggunaan nontunai meningkat jadi 80 persen.
Meski banyak keluhan atau protes, transaksi nontunai akhirnya diberlakukan di seluruh ruas tol. Banyak alasan mengemuka, seperti sulitnya mendapat uang elektronik, terbatasnya lokasi isi ulang, harga kartu Rp 20.000 per buah yang dianggap mahal, kekhawatiran karena ada dana mengendap di kartu elektronik, hingga gugatan bahwa uang elektronik tidak sah sebagai alat pembayaran di Indonesia. Namun, suka tidak suka, transaksi nontunai berlaku sampai saat ini.
Sebenarnya, transaksi nontunai di jalan tol hanya bersifat sementara. Penggunaan nontunai merupakan transisi antara transaksi tunai dan manual menuju transaksi yang serba otomatis. Targetnya tidak setengah-setengah, yakni menuju multi lane free flow (MLFF) yang semua transaksinya dilakukan secara otomatis.
Integrasi
Akan tetapi, otomatisasi jalan tol perlu proses bertahap. Salah satunya, transaksi nontunai yang dibarengi dengan integrasi ruas tol yang ditandai penghilangan gerbang tol. Contohnya, gerbang tol (GT) Karang Tengah yang dihilangkan atau tidak difungsikan tahun lalu. Lalu GT Cibubur Utama dan Cimanggis Utama di ruas Tol Jagorawi atau GT Kayu Besar di Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR).
Kenapa mesti integrasi? Selama ini, sistem transaksi antara satu ruas dengan ruas tol lainnya tak saling terhubung. Gerbang tol dibangun sebagai lokasi pengumpulan tarif sekaligus pembatas ruas tol. Dengan demikian, pengguna tol harus berhenti untuk bertransaksi di setiap ruas tol. Hal ini terjadi bertahun-tahun sehingga diterima masyarakat sebagai hal yang wajar.
Di sisi lain, jalan tol di Indonesia relatif masih pendek dan terpisah-pisah. Sampai 2014, panjang tol di Indonesia baru 780 kilometer. Namun, ke depan, panjang jalan tol akan bertambah signifikan.
Sebenarnya, model transaksi dengan berhenti di setiap GT merugikan pengguna tol karena mereka ‘dipaksa’ berhenti untuk transaksi. Padahal, transaksi bisa dilakukan secara otomatis melalui sebuah sistem. Bagi operator, kapasitas tol jadi kurang maksimal karena arus kendaraan tidak mengalir lancar.
Di sisi lain, protes atau kritik muncul karena integrasi sistem dianggap sebagai kenaikan tarif terselubung. Dengan perubahan skema tarif berdasarkan jarak jadi tarif merata, maka tarif jarak pendek naik, sementara tarif jarak jauh justru turun. Namun, integrasi sistem mesti ditempuh untuk menuju MLFF.
Transaksi tanpa henti
Sebenarnya, MLFF bukan hal baru di Indonesia. Beberapa ruas tol sudah menerapkan sistem gerbang tol otomatis (GTO) yang terhubung dengan alat di kendaraan (on board unit/OBU). Senada dengan itu, melalui MLFF, kendaraan bisa masuk dan keluar tol tanpa berhenti untuk transaksi karena semua dilakukan secara otomatis.
PT Jasa Marga (Persero) Tbk telah mulai menguji coba dua teknologi yang bisa mendukung MLFF, yakni yang berbasis identifikasi frekuensi radio (radio frequency identification/RFID) dan dedicated short range communication (DSRC). Selain menguji teknis penerapan di lapangan, mereka mempelajari sisi bisnisnya.
Dari uji coba itu, waktu transaksi kendaraan makin cepat. Dengan transaksi manual secara tunai, setiap kendaraan mesti berhenti 10-12 detik. Sementara dengan cara nontunai, waktu berhenti berkurang jadi 3-5 detik. Dengan sistem tanpa henti, prosesnya bisa lebih cepat lagi.
Dengan demikian, jumlah kendaraan yang bisa bertransaksi per jam di satu lajur pun meningkat, yakni dari 400 kendaraan per jam (dengan transaksi tunai) jadi 900 kendaraan per jam (nontunai). Sementara dengan transaksi otomatis yang diuji coba pada kendaraan yang melaju 20 kilometer per jam, jumlah kendaraan yang lewat meningkat sampai 2.000 kendaraan per jam.
Meski demikian, MLFF bukan hanya soal jenis teknologi. Apapun jenisnya, yang penting teknologi yang dipakai harus memenuhi tingkat akurasi dan identifikasi yang tinggi, bisa diakses realtime, dan tarifnya terjangkau masyarakat. Inilah indikator dasarnya.
Seperti nomor telepon genggam yang didaftar berdasarkan data kependudukan, otomatisasi jalan tol perlu registrasi kendaraan beserta data pemiliknya. Jika kini pengguna tol tidak diketahui identitasnya karena hanya menggunakan uang elektronik yang bisa dipindahtangankan dengan mudah, maka dengan otomatisasi, pengguna tol akan diketahui dan dicatat oleh sistem. Transaksi pun otomatis di akun keuangan pemilik kendaraan.
Selain registrasi kendaraan, yang perlu dipikirkan adalah penindakan hukum jika identifikasi kendaraan oleh sistem tidak berjalan sempurna. Sebab, secanggih apa pun, kemungkinan terjadi kesalahan tetap ada.
Seperti di Taiwan yang menerapkan MLFF, dari rata-rata 1,5 juta kendaraan yang lewat tol per hari, akurasi pembacaan sistem ‘hanya’ 99,98 persen. Berarti masih ada kendaraan yang tidak teridentifikasi. Jika ada kendaraan tidak teregistrasi yang ‘nyelonong’ ke tol, perlu ada prosedur penindakan yang jelas. Atau, apakah MLFF di Indonesia perlu palang penghalang (single/multi lane with barrier)? Di balik itu, data kendaraan yang ada di Kepolisian RI idealnya terintegrasi dengan sistem MLFF. Namun, apakah data itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan tersebut?
Otomatisasi di jalan tol memang sudah mendesak karena jumlah kendaraan terus bertambah. Namun, perubahan sistem menuntut perubahan perilaku pengguna, kedisiplinan, serta transparansi. Berkaca pada penerapan nontunai, persiapan penerapan sistem transaksi tanpa henti harus matang.