TEMANGGUNG, KOMPAS- Pemerintah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, saat ini telah menempatkan 64 alat deteksi bencana atau early warning system (EWS) di 19 kecamatan. Namun, lebih dari 30 EWS diantaranya akhirnya tidak berfungsi optimal karena tidak dirawat atau dijaga oleh warga.
Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Temanggung Kartika Sari, mengatakan, semua EWS tersebut dititipkan di rumah warga, namun warga pemilik rumah tidak menjaga dan tidak memperhatikan kinerja alat tersebut.
“Saat ditemui, warga pemilik rumah mengeluh EWS tersebut tidak berfungsi. Namun, setelah diteliti, hal itu terjadi akibat kesalahan mereka yang tidak mengisi ulang daya dari EWS tersebut,” ujarnya, Senin (7/1/2019).
Sebanyak 64 EWS tersebut adalah alat pendeteksi bencana longsor berdasarkan intensitas curah hujan yang turun, yang semuanya dipasang di rumah warga. Dari 64 EWS tersebut, sebanyak tiga EWS diantaranya dilengkapi dengan ekstensometer, atau alat pendeteksi gerakan tanah. Ekstensometer tersebut dipasang di sekitar lokasi tanah yang retak atau merekah.
Baik alat pendeteksi baha bencana dari intensitas curah hujan dan gerakan tanah tersebut, menurut dia, memberikan sinyal bahaya berupa sirine tanda bahaya. Selain tidak diisi ulang dayanya, alat tersebut tidak memberikan sirine tanda bahaya karena corong suaranya hilang.
“Ada warga yang mengaku sempat memindahkan corong suara, karena saat itu, dia sedang menggelar hajatan dengan mengundang banyak tamu. Namun, setelah acara selesai, corong tersebut hilang, dan tidak lagi ditemukan,” ujarnya.
Sebanyak 64 EWS tersebut dibeli dari dana APBD, dengan anggaran sekitar Rp 2 juta per EWS. Menurut Kartika, pihaknya sengaja membeli alat yang sederhana karena hanya dengan alat semacam itulah, masyarakat diharapkan bisa berperan aktif dan lebih siaga terhadap potensi bencana longsor di sekitarnya.
“Selain karena harganya yang mahal, EWS yang lebih canggih dan tidak membutuhkan perhatian atau pengamatan dari masyarakat, dikhawatirkan akan membuat warga menjadi acuh dan tidak peduli terhadap potensi bencana di desanya,” ujarnya.
Sebanyak 64 EWS di Kabupaten Temanggung tersebut adalah EWS yang bekerja secara manual, di mana hitungan intensitas hujan dan rekahan tanah harus dihitung dan dicermati oleh warga sekitar.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, saat ini baru memasang 22 EWS, dan tahun ini akan menambah 5 EWS lagi. Adapun, potensi longsor di Kabupaten Magelang tersebar di 220 desa di 20 kecamatan.
Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Magelang Gunawan Iman Suroso, mengatakan, penempatan EWS tidak bisa dilakukan di semua desa, karena pengadaannya membutuhkan biaya yang besar, di mana harga satu set perangkat EWS mencapai lebih dari Rp 100 juta.
“Karena harga EWS yang mahal, maka kami hanya bisa membeli dan menempatkan EWS di daerah-daerah yang memiliki potensi tinggi longsor saja,” ujarnya. Sebanyak 22 EWS di Kabupaten Magelang tersebut bekerja secara otomatis dan langsung melaporkan data curah hujan dan rekahan tanah ke server BPBD Kabupaten Magelang.
Daerah yang diprioritaskan untuk diberi EWS, menurut Gunawan, adalah daerah yang potensi longsornya mengancam permukiman. Setiap tahun, menurut dia, BPBD Kabupaten Magelang terus mendata ulang potensi longsor tersebut karena datanya cenderung berubah-ubah.
“Ada daerah yang semula kami petakan sebagai daerah yang berpotensi tinggi longsor, namun saat ditemui beberapa hari kemudian, rekahan tanahnya sudah menutup dengan sendirinya,” ujarnya.