Kebinekaan di Indonesia adalah Keniscayaan
Eksistensi Indonesia sebagai bangsa yang majemuk telah berlangsung sejak puluhan ribu tahun lalu. Selama bertahun-tahun, percampuran antar-ras terus-menerus terjadi. Karena itu, menghindari realitas kebinekaan adalah sebuah kesia-siaan.
Prof Harry Widianto, arkeolog senior Balai Arkeologi Yogyakarta, memaparkan, keberagaman yang dimiliki bangsa ini adalah buah dari pohon yang sama, yaitu pohon evolusi yang berakar sejak 70.000 tahun lalu tanpa terputus. Populasi Indonesia saat ini dengan karakter kuat ras Mongoloid di barat dan ras Australomelanesid di timur sama-sama mengandung unsur genetika campuran.
Sejak kedatangan Manusia Modern Awal pada 70.000 tahun silam, jalur migrasi ke Nusantara menjadi sangat kompleks. Migrasi timur (Melanesia, Australia Tenggara, dan Tasmania) bergerak ke selatan dan barat, lalu bertemu dengan migrasi barat dari jalur Moh Khiew, Tabon, Wajak, dan Niah, untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Keturunan mereka, ras Australomelanesid, kemudian tersebar luas sejak 15.000 tahun yang lalu dan segera digantikan oleh pendatang baru, yaitu ras Mongoloid, sekitar 4.000 tahun silam.
Mereka datang ke Kepulauan Nusantara melalui dua gelombang migrasi yang berbeda dari arah timur dan barat. Ras Austromelanesid yang mampu bertahan, bahkan hingga saat ini, kemudian berbaur dengan ras Mongoloid, terutama di daerah Wallacea bagian selatan dengan hasil pembauran berupa penduduk Indonesia bagian barat saat ini.
”Betapa pun kuatnya diversitas ras dan etnik saat ini yang dimiliki Indonesia, situasi ini justru mengajarkan kepada kita bahwa kita ini sebenarnya berasal dari akar genetis yang sama. Bahwa keragaman yang dimiliki bangsa ini sebenarnya adalah buah dari pohon yang sama, pohon evolusi, yang berakar setidaknya sejak 70.000 tahun lalu tanpa terputus,” ujar Harry.
Tidak sekonyong-konyong
Hasil penelitian tentang kemajemukan bangsa ini bukan mengada-ada, apalagi direkayasa. Penelitiannya benar-benar diperkuat dengan dasar-dasar ilmiah.
Mau dilihat dari sudut mana pun, kita itu selalu bineka. Artinya, menghindari eksistensi kebinekaan adalah kesia-siaan karena bangsa ini terbentuk oleh begitu banyak faktor. Tidak mungkin kita menghilangkannya.
Bukti-bukti yang ada semakin menjelaskan bahwa kebinekaan Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Dengan riset dan penelitian, maka terkuak bagaimana fenomena kebinekaan saat ini terbentuk dari rangkaian peristiwa-peristiwa masa lampau yang tidak sekonyong-konyong muncul begitu saja.
”Mau dilihat dari sudut mana pun, kita itu selalu bineka. Artinya, menghindari eksistensi kebinekaan adalah kesia-siaan karena bangsa ini terbentuk oleh begitu banyak faktor. Tidak mungkin kita menghilangkannya,” ujar Prof Harry Truman Simanjuntak, arkeolog senior.
Meski demikian, sangat disayangkan, hasil-hasil penelitian terkait kemajemukan Nusantara sering kali tidak dipahami dengan baik oleh masyarakat luas. Pembicaraan tentang tema-tema kebinekaan hanya berkutat pada tahap ”kulit” di permukaan saja dan tidak bertolak dari akar dasarnya. Alhasil, pemahaman lengkap tentang eksistensi keberagaman Indonesia kurang tertanam kuat.
Menurut Truman, selama ini ada keterputusan dalam memahami kebinekaan Indonesia. Perumusan dasar negara Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sering kali hanya dipahami dalam konteks pasca-kemerdekaan, sejak 1945 hingga sekarang saja tanpa ditelurusi akarnya dari mana. Padahal, para bapak bangsa bersusah payah merumuskan dasar negara dan semboyan negara dengan menelusuri masa lampau bangsa ini.
Untuk membumikan pemahaman tentang realitas kebinekaan bangsa Indonesia, diskusi tentang kemajemukan mesti diperluas melibatkan lintas disiplin ilmu. Selama ini, pembahasannya masih cenderung parsial, hanya di kalangan disiplin ilmu tertentu saja, arkeologi salah satunya.
Beberapa waktu lalu, Truman pernah mencoba menginisiasi kegiatan seminar kolosal nasional tentang kebinekaan Indonesia dengan melibatkan banyak pihak, mulai dari ilmuwan, pemerintah, masyarakat adat, pemerhati budaya, tokoh agama, dan sebagainya. Sayangnya, tingkat urgensi kegiatan ini kurang ditangkap sehingga seminar batal digelar.
Di tengah situasi masyarakat yang semakin terkotak-kotak, penguatan kesadaran bersama tentang kekayaan kebinekaan bangsa perlu terus-menerus diperkuat. Upaya ini membutuhkan kerja sama sinergi dari berbagai pihak.
Seperti diketahui bersama, akhir-akhir ini sebagian kelompok masyarakat semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan, tidak toleran terhadap sesama anak bangsa berbeda agama, suku, etnis dan sebagainya. Fakta bahwa dahulu kala masyarakat kita berasal dari rumpun evolusi yang sama nyaris dilupakan atau bahkan tidak dipahami sama sekali.
”Kebencian dan pengkafiran yang diajarkan sejak PAUD (pendidikan anak usia dini), sekolah dasar, dan seterusnya didukung dengan aneka provokasi keras mulai menunjukkan buah-buahnya. Aksi-aksi profanasi (pencemaran) terhadap makam-makam penganut agama tertentu juga semakin meruyak. Ide-ide radikalisme semakin membanal di masyarakat kita. Penguatan nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan semakin mendesak,” kata pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, A Setyo Wibowo SJ.
Mencari benang merah
Sejarah perkembangan penduduk Indonesia yang terdiri dari percampuran beberapa ras hanya dipahami oleh segelintir orang saja, terutama mereka yang bergelut di bidang-bidang penelitian. Karena itu, pertemuan multidisiplin ilmu perlu digelar untuk mengupas secara komprehensif apa yang menjadi benang merah dari keberagaman di Indonesia.
Realitas sejarah bhinneka tunggal ika (berbeda-beda tetapi satu) tak terbantahkan secara keilmuan. Kalaupun ada dominasi ras tertentu, itu adalah hal biasa. Yang jelas, pasti ada percampuran di dalamnya. Setelah Homo erectus di Nusantara punah dan digantikan Homo sapiens yang datang 70.000 tahun lalu, maka mereka (Homo sapiens) memberikan cabang akar evolusi yang tak terputus sampai sekarang.
”Sekarang kita memang berbeda dari sisi fisik, sub-ras, budaya, bahasa, dan etnisitas. Namun, jika dirunut semua, akarnya adalah sama. Kebinekaan yang ada di Indonesia adalah buah dari pohon yang sama. Ini bukan sesuatu yang negatif, melainkan justru kekayaan kita bersama,” kata Harry.