Dorong Pertumbuhan Industri Berkelanjutan pada 2019
JAKARTA, KOMPAS — Operator telekomunikasi semestinya menerapkan harga terjangkau dan memperhatikan ketersediaan layanan seluler secara merata. Jika kedua hal ini terpenuhi, industri akan mengalami pertumbuhan berkelanjutan.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah, Minggu (6/1/2019), di Jakarta, berpendapat, penerapan tarif layanan seluler harus terjangkau. Terjangkau tidak berarti murah.
Apabila tarif terlalu murah, ini secara sepintas bagus untuk kepentingan konsumen. Keuntungan yang dirasa industri hanya bersifat jangka pendek. Dalam jangka panjang, industri tidak memperoleh faedah sehingga justru berpotensi membuat distribusi layanan terputus.
Layanan seluler idealnya merata sehingga masyarakat bisa menikmati di mana saja. Artinya, operator harus membangun di semua wilayah. Dengan demikian, ketersediaan layanan mudah ditemukan warga.
”Ada standar minimal kualitas layanan yang juga harus dipenuhi oleh pelaku industri,” kata Ririek.
Dalam laporan riset PT Bahana Sekuritas ”Indonesia Telco (27 November 2018)” disebutkan, yield data meningkat dari rata-rata Rp 8.000 per satuan gigabyte pada Oktober 2018 menjadi Rp 9.000 per gigabyte pada November 2018. Kondisi ini disebabkan kenaikan tarif yang signifikan di paket layanan data segmen bawah dan menengah.
Dalam laporan riset itu juga tertulis prediksi bahwa yield data akan terus meningkat meskipun persentase kenaikannya kecil. Operator pun semakin memperhatikan pendapatan layanan data. Pada saat bersamaan, antaroperator masih tetap berusaha mempertahankan posisi kompetitif di pasar.
Setelah perang harga terus-menerus dan pengurangan jumlah pelanggan akibat kebijakan wajib registrasi nomor prabayar, operator mengalami kekurangan likuiditas. Sebagai gambaran, rasio utang perusahaan terhadap ekuitas pemegang saham (net gearing ) sampai triwulan III-2018 Telkom mencapai 43,2 persen, XL Axiata 93,2 persen, dan Indosat Ooredoo 191 persen. Situasi ini mencerminkan adanya kebutuhan perusahaan yang sangat besar untuk meningkatkan pendapatan data atau yield data untuk mempertahankan belanja modal pada tahun 2019.
Presiden Direktur dan CEO PT XL Axiata Tbk (XL Axiata) Dian Siswarini memandang, kompetisi antaroperator berpotensi mengakibatkan rendahnya yield data seluler. Sebagian besar warga masih menilai menarik tidaknya layanan data seluler dari faktor tarif. Semakin murah tarif, semakin konsumen tertarik membeli.
”Hal yang perlu dipahami adalah yield data dan tarif data tidak sama. Yield data merupakan realisasi dari tarif dibagi volume data yang dikonsumsi oleh pelanggan,” kata Dian.
Dia mengatakan, layanan data kini menjadi sumber pendapatan utama industri telekomunikasi. Layanan ini juga menjadi pendorong investasi.
Operator telekomunikasi seluler sebenarnya lebih memilih menjadikan pendapatan layanan data seluler sebagai acuan mengucurkan investasi daripada yield data. Pendapatan data akan langsung berdampak ke total perolehan perusahaan. Sementara yield data yang menurun tidak bisa serta-merta dimaknai sebagai penerimaan perusahaan ikut turun.
Dian mengemukakan, pada semester I-2018 terdapat perang tarif layanan karena semua operator ingin menaikkan basis jumlah pelanggan sebagai dampak kebijakan wajib registrasi nomor prabayar dengan validasi data tunggal kependudukan. Namun, setelah itu, kondisi industri telekomunikasi membaik.
Lebih jauh, kata Dian, perusahaan yang dia pimpin mempertimbangkan opsi menaikkan tarif data. Di luar opsi ini, upaya yang lebih penting adalah meningkatkan kualitas layanan sehingga pelanggan semakin nyaman.
”Nilai tarif data yang ditetapkan berapa pun telah melalui proses perhitungan yang matang. Kami terus melakukan ekspansi pembangunan jaringan, meningkatkan kualitas layanan, dan berinovasi meskipun yield data masih menurun,” ujar Dian.
Sebelumnya, di sela-sela kunjungan kerja ke Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, pekan lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara juga membicarakan yield data. Perbedaaannya, dia mengungkapkan yield data atau harga jual layanan data seluler per satuan megabyte di Indonesia. Menurut dia, yield data per satuan megabyte cenderung semakin murah dari tahun ke tahun.
Mengutip laporan riset Deutsche Bank pada November 2018, Rudiantara menyebutkan, pada triwulan I-2016 yield data Telkomsel mencapai sekitar Rp 40 per megabyte. Sementara pada periode yang sama, yield data XL Axiata berkisar Rp 17,6 per megabyte dan Indosat Ooredoo tercatat sekitar Rp 33,9 per megabyte.
Pada triwulan I tahun 2018, yield data Telkomsel telah turun menjadi sekitar Rp 15,2 per megabyte. Penurunan nilai yield data juga dialami oleh XL Axiata, yakni menjadi sekitar Rp 8,1 per megabyte. Adapun yield data Indosat Ooredoo menjadi sekitar Rp 6,3 per megabyte.
”Harga jual data yang terlalu murah akan berdampak buruk terhadap kesehatan industri telekomunikasi pada jangka panjang. Kompetisi yang seharusnya dilakukan antaroperator adalah kualitas layanan, bukan harga murah,” ujar Rudiantara.
Menurut dia, operator telekomunikasi semestinya mulai mendidik konsumen dengan memberikan layanan berkualitas. Dengan demikian, pelanggan menjadi semakin cerdas dan loyal.
Rudiantara menegaskan, Kemkominfo tidak akan menetapkan kebijakan batas bawah harga jual data seluler. Alasan dia, pemerintah tidak ingin membatasi pasar. Sebagai gantinya, pemerintah terus mendorong agar operator bersaing secara sehat.
”Didiklah konsumen dengan cara memberikan penawaran kualitas layanan,” tegasnya.
Dia menambahkan, pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia pada tahun 2018 berkisar 7-8 persen. Persentase pertumbuhan yang sama diprediksi terjadi pada 2019.