JAKARTA, KOMPAS — Implementasi paket kebijakan ekonomi XVI terkait dengan daftar negatif investasi dan devisa hasil ekspor meleset dari target 1 Januari 2019. Inkonsistensi pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan dapat berdampak negatif terhadap kepercayaan investor.
Pada November 2018, pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi XVI untuk menarik lebih banyak modal asing ke dalam negeri. Paket kebijakan ini meliputi perluasan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan Badan (PPh) atau taxholiday, relaksasi daftar negatif investasi (DNI), dan peningkatan devisa hasil ekspor hasil sumber daya alam.
Sejauh ini baru fasilitas taxholiday yang resmi berlaku karena revisi peraturan menteri keuangan sudah terbit. Penerima taxholiday sebanyak 18 sektor usaha, yang terdiri dari 169 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Insentif pengurangan PPh badan 100 persen diberikan maksimal 20 tahun, bergantung pada nilai investasinya.
Sementara kebijakan terkait dengan DNI dan devisa hasil ekspor yang ditargetkan berlaku mulai 1 Januari 2019 belum terealisasi karena landasan hukumnya tidak kunjung terbit. Kebijakan DNI harus merevisi Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016. Adapun devisa hasil ekspor menunggu peraturan pemerintah dan peraturan Bank Indonesia yang baru.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani berpendapat, tertundanya implementasi paket kebijakan ekonomi XVI dapat mengganggu momentum investasi. Apalagi, investor cenderung menunggu dan melihat menjelang penyelenggaraan pemilihan umum. Tantangan besar bukan hanya dari ketepatan waktu, melainkan juga efektivitas dari implementasi paket kebijakan itu sendiri.
Paket kebijakan ekonomi bukan satu-satunya stimulus untuk menarik modal asing ke dalam negeri. Menurut Shinta, pemerintah harus konsisten memperbaiki kebijakan terkait dengan izin berusaha melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS). Di tengah ketidakpastian ekonomi global, regulasi dan kepastian berusaha menjadi pertimbangan utama bagi investor.
”Tahun lalu kita lambat dalam merespons potensi risiko sehingga saat investor ingin masuk semuanya sudah telat dan kita membutuhkan usaha yang lebih keras untuk menariknya,” kata Shinta yang dihubungi Kompas, Minggu (6/1/2019).
Secara terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara, mengatakan, ketika paket kebijakan ekonomi XVI diluncurkan, investor menanggapi positif dengan sinyal di pasar modal dan nilai tukar rupiah yang kompak menguat. Namun, ketidakpastian implementasi paket akibat kegaduhan internal pemerintah saat ini menimbulkan respons dingin dari investor.
”Sama halnya dengan paket kebijakan I-XV karena hanya dianggap sekadar sinyal ke pasar portofolio, bukan penanaman modal langsung,” kata Bhima.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, realisasi investasi asing langsung turun 7,8 persen pada periode Januari-September 2018. Menurut Bhima, situasi itu menjadi indikasi rendahnya minat investasi yang salah satunya karena ketidakpastian regulasi. Pemerintah disarankan memperbaiki ego sektoral antar-kementerian sebelum menerbitkan paket kebijakan baru.
Tanpa perbaikan yang konsisten dan berkesinambungan, Indonesia berpotensi kehilangan momentum investasi. Laporan survei terbaru Kamar Dagang Amerika Serikat di China Selatan menyebutkan, hampir 80 perusahaan di China merugi akibat perang dagang. Jika dinamika ini terus berlanjut, mereka mempertimbangkan untuk merelokasi beberapa atau semua manufaktur dari China.
Dalam laporan survei juga disebutkan, investasi yang cukup besar membidik Asia Tenggara adalah sektor manufaktur. Investasi di bidang teknologi informasi dan komunikasi akan menyasar Malaysia dan Vietnam karena keberadaan sejumlah perusahaan elektronik besar di dua negara itu. Sementara investor otomotif diperkirakan masuk lebih banyak ke Thailand dan Malaysia.
Segeraterbit
Menanggapi hal itu, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, peraturan pemerintah tentang devisa hasil ekspor dan revisi Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang DNI akan terbit sebelum Februari tahun ini. Kedua peraturan itu masih tertahan di meja Presiden sehingga tertunda dari rencana semula pada 1 Januari 2019.
”Dalam proses akhir sudah akan ditandatangani. Mudah-mudahan sebelum Februari bisa terbit,” kata Darmin.
Darmin memastikan tidak ada perubahan dalam DNI dan devisa hasil ekspor dari ketentuan yang sudah disepakati sebelumnya. Pemerintah telah menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk kalangan pelaku usaha terkait dengan DNI. Implementasi paket ekonomi ini diharapkan bisa menarik lebih banyak penanaman modal langsung.
Berdasarkan data Bank Indonesia, investasi langsung pada triwulan I-III-2018 sebesar 9,9 miliar dollar AS, menurun cukup tajam dari periode yang sama tahun 2017 sebesar 14,53 miliar dollar AS. Sementara data BKPM menunjukkan, investasi langsung pada Januari-September 2018 sebesar Rp 535,4 triliun yang terdiri dari penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing.
Selain konsumsi, lanjut Darmin, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 juga ditopang dari investasi kendati performanya belum signifikan. Kontribusi investasi terhadap produk domestik bruto bisa mencapai 7 persen. Pemerintah berupaya terus memperbaiki regulasi kemudahan berusaha dan memberikan berbagai stimulus fiskal.