Cirebon akhirnya punya rumah sejarah bagi kain batiknya yang melegenda lewat Museum Trupark. Dibuka pada 29 November 2018, museum ini berada di Sentra Batik Trusmi, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Kehadirannya menjadi bagian dari Toko Batik Trusmi dan Restoran Batik Kitchen.
Trupark melengkapi keberadaan museum serupa di Tanah Air. Ada Museum Tekstil di Jakarta yang berdiri tahun 1976, Museum Batik Danar Hadi (Solo, 1967), Museum Batik Seno (Yogyakarta, 1979), dan Museum Batik Pekalongan (Pekalongan, 1972). Konsepnya memamerkan koleksi batik, perkakas membatik, dan wahana kegiatan membatik bagi pengunjung.
Akan tetapi, masing-masing punya keunikan. Danar Hadi punya banyak koleksi batik yang ditata dengan arsitektur dan interior asri. Lain lagi dengan Museum Batik Pekalongan yang punya banyak koleksi batik Tanah Air.
Si anak bungsu, Trupark, sedikit berbeda dengan saudara sebatik lainnya. Pengunjung diajak mengambil jeda. Sembari belanja kain batik, mereka berkenalan dengan batik meski sekelebat. Ringan tanpa kehilangan makna.
Masuk pintu museum, pengunjung disambut patung canting dengan tinggi sekitar 1,5 meter. Setelah itu, pengunjung diajak melihat 500 topeng klasik Cirebon yang terpajang di sana. Ada lima sosok utama yang melambangkan fase perkembangan diri manusia.
Dimulai dari topeng panji berwarna putih yang menceritakan sosok yang baru lahir ke dunia. Selanjutnya ada topeng samba berwajah putih berambut hitam melambangkan anak yang beranjak dewasa dan topeng rumyang yang menggambarkan akil balik pemuda, berwarna merah jambu.
Selanjutnya ada topeng tumenggung yang lebih sangar dan dewasa. Sosoknya berkumis hitam meski warnanya merah muda gelap. Pamungkasnya adalah topeng klana. Wajahnya merah tua. Kumis hitamnya panjang dan tebal.
Di lapak kedua pengunjung diberi waktu menikmati diri. Saatnya berfoto. Latar belakangnya batik mega mendung tiga warna. Pengelola museum juga menyediakan pakaian seperti kimono bermotif batik sebagai pelengkap gaya.
”Ada juga payung-payung fantasi sebagai properti pendukung,” ucap Yossi Risdianto (35), tenaga kreatif dan pemandu Museum Trupark, Jumat (4/1/2019).
Selepas mengabadikan momen diri lewat kamera, pengunjung kemudian diajak menapak Cirebon tempo dulu. Di dua dindingnya, puluhan foto menggambarkan Cirebon medio tahun 1920-1924. Salah satu yang menarik berkisah tentang Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Bukan perkara mudah mengumpulkan foto-foto bersejarah itu. Yossi mengatakan, pihaknya butuh menempuh sejumlah persyaratan untuk mendapatkannya.
Di lapak berikutnya, sajian utama dunia batik mulai dipamerkan. Ada koleksi alat batik cap berbahan tembaga, kolase batik, diorama membatik, hingga interior bergaya pop art. Di ujung lantai satu ini dipajang alat tenun bukan mesin dan beberapa kain tenun dari beberapa daerah.
Mengapa tenun? ”Kami ingin menunjukkan, kekayaan Indonesia bukan hanya batik, melainkan juga beragam tenun,” kata Yossi.
Teknologi
Perjalanan dilanjutkan ke lantai dua. Namun, sebelum sampai ke sana, pengunjung diajak kembali memacak diri. Sisi kanan lorong anak tangga dihiasi umbul-umbul bermotif batik yang menjadi latar belakang menarik.
”Memotretnya dari atas biar menarik,” kata Yossi. Selfie lagi deh.
Di lantai dua, batik semakin meraja. Interaksi pengunjung dengan batik bertambah mesra. Selain koleksi batik lama, ada peragaan membatik tulis dan cap.
Tak kalah seru, pengunjung diajak masuk ruangan gelap berdinding berlapis cermin. Di tengah plafon menggantung alat video mapping. Ketika alat dinyalakan, muncul ragam gambar bergerak dan berpendar motif batik. Tampilan ini diperkaya efek perspektif rupa dari kaca cermin. Sekelebat tapi kembali memberikan pengalaman yang dalam bagi penikmatnya.
Paduan teknologi kembali diperlihatkan lewat film pendek tentang batik. Auditorium berkapasitas 200 orang menjadi tempatnya. Pameran utamanya adalah kain batik sendiri. ”Dia” bercerita tentang perjalanan hidupnya sendiri. Informasinya padat tanpa kehilangan makna besar.
Perjalanan pun berakhir di ruang pendopo berkapasitas 600 orang ini. Di sini pengunjung, terutama anak-anak dan remaja, diajak meninggalkan jejak bersama batik. Mereka bisa memilih berlatih membatik dari proses awal hingga akhir, melukis topeng Cirebon, hingga melukis kaca dan celengan gerabah.
Yossi mengatakan, sejauh ini, minat pengunjung sangat baik. Di hari biasa biasanya ada 50 orang yang datang. Jumlahnya bertambah saat akhir pekan, antara 70 orang dan 200 orang.
”Biaya masuk museum pada hari biasa Rp 50.000 untuk pengunjung dewasa dan Rp 35.000 untuk anak. Di akhir pekan Rp 60.000 bagi dewasa dan Rp 45.000 bagi anak,” ucap Yossi.
Bagi kaum milenial, kehadiran Trupark jelas sangat menggoda. Paketnya padat serta kekinian tanpa kehilangan tujuan utama, mengenal dan mencintai batik. Sembari mengabadikan diri dalam foto dan video di media sosial, mereka diajak menghargai kekayaan budaya Indonesia yang melegenda.