Energi Baru dan Terbarukan
Sangat dihargai kerja keras PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik yang pada 2018 telah mencapai rasio elektrifikasi 98,05 persen. Walau demikian, kebijakan energi nasional bidang kelistrikan perlu dievaluasi.
Ada dua sebab mengapa ia perlu dievaluasi. Pertama, Indonesia terikat kesepakatan internasional untuk menekan emisi karbon agar pemanasan global terkendali di bawah 2 derajat celsius dibandingkan dengan suhu di masa pra-industri. Presiden Joko Widodo telah menandatangani Kesepakatan Paris pada 2015 yang diikuti 196 negara, RI sepakat untuk meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025.
EBT dibagi dalam dua kelompok, yaitu pembangkit listrik dan sumber energi pengganti BBM; terdiri atas tenaga hidro, surya, angin, air laut, panas bumi, biodiesel, etanol, biomassa (limbah rumah tangga dan pertanian).
Dalam Conference of Parties (COP) ke-24 di Katowice, Polandia, 4 Desember 2018, telah dihasilkan pedoman penerapan Kesepakatan Paris yang disebut Paket Katowice, yang merupakan peta jalan untuk menekan emisi karbon secara global. Indonesia mendapat sorotan tajam dalam forum tersebut karena melakukan kegiatan kontra produktif, membangun perusahaan listrik tenaga uap (PLTU) berbahan baku batubara secara besar-besaran. Indonesia dianggap mustahil dapat memenuhi komitmen target pengurangan emisi yang dilepaskan ke atmosfer sebesar 29 persen (2,2 giga ton CO²), dan akan dicatat sebagai negara yang memperberat ancaman pemanasan global.
Kedua, kita membutuhkan peningkatan kapasitas listrik yang di satu sisi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus bertambah dan cita-cita menjadi negara industri, di sisi lain kita perlu menekan defisit neraca pembayaran luar negeri dan mengelola ekonomi nasional secara lebih efisien.
Kecenderungan global
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), pasokan listrik yang ada saat ini, 95,8 persen dihasilkan dari pembangkit dengan sumber energi fosil dan hanya 4,2 persen dari EBT. Ini bukanlah proporsi yang ideal bagi negara seperti Indonesia yang memiliki potensi EBT berlimpah; potensi panas bumi sekitar 29 GW, yang dimanfaatkan hanya 4,9 persen. potensi PLTA 94 GW baru 7,4 persen yang dimanfaatkan.
Indonesia yang menempatkan pembangkit listrik dengan sumber energi fosil dalam porsi yang dominan berlawanan dengan dua kecenderungan di tingkat global. Pertama, negara-negara pemasok teknologi PLTU (dengan model generator diesel) justru telah beralih ke energi yang lebih bersih; baik EBT maupun nuklir. Kedua, banyak negara yang berhasil secara cepat beralih ke EBT, antara lain China yang pada 2017 telah mencapai proporsi EBT 36,6 persen (400 GW), India 33,3 persen (119 GW), serta Selandia Baru yang sudah mencapai 83 persen (dengan memanfaatkan geotermal dan hidro). Bahkan, ada negara yang relatif berhasil memenuhi kebutuhan listriknya dari pemanfaatan EBT, seperti Islandia (100 persen, bersumber dari geotermal dan hidro), Kosta Rika (99 persen, bersumber dari hidro, angin, dan geotermal) dan Norwegia (98 persen, bersumber dari hidro).
Norwegia—salah satu negara termakmur di dunia—sangatlah cerdik. Sebagai negara produsen minyak bumi, sumber energi listrik di dalam negeri memanfaatkan tenaga air yang tidak bisa diekspor. Minyak buminya dengan produksi sekitar 1,6 juta barel per hari diekspor dan menghasilkan banyak devisa. Kita perlu mencontoh Norwegia.
Statistik menunjukkan, selama 10 tahun terakhir Indonesia mengekspor batubara dan gas sekitar 1.887.366 setara barel minyak (SBM) setiap tahun. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor energi sebesar 348.267.000 SBM yang terdiri atas minyak mentah dan BBM. Kita telah mengekspor gas yang relatif murah harganya dan ramah lingkungan untuk sumber energi negara lain, sementara di lain pihak kita mengimpor minyak bumi dan BBM yang relatif mahal serta tidak ramah lingkungan untuk menghasilkan energi.
Pada 2017, Indonesia adalah eksportir gas peringkat ke-3 dunia setelah Qatar dan Australia dan eksportir batubara ke-5 dunia (setelah China, AS, India, dan Australia). Batubara telah jadi penghasil devisa sangat besar bagi negara kita, dengan angka penjualan 17,9 miliar dollar AS (16,1 persen dari nilai perdagangan ekspor batubara dunia).
Untuk seluruh energi fosil, pada 2015 sumber dayanya diperkirakan 151 miliar barel, sementara cadangannya diperhitungkan 3,6 miliar barel. Gas bumi, sumber dayanya diperkirakan 487 TCF, sementara cadangannya diperhitungkan sebesar 98,0 TCF. Dan untuk batubara, sumberdayanya diperkirakan 120,5 miliar ton, sementara cadangannya diperhitungkan sebesar 32,4 miliar ton.
Dari total produksi batubara RI, setiap tahun 75 persennya diekspor. Hanya 25 persen dipakai di dalam negeri, utamanya untuk pembangkit listrik yang pada 2016 besarnya 68,61 persen dari total produksi listrik 462 juta SBM. Lebih dari 70 persen pembangkit listrik di Jawa memakai batubara. Batubara mendominasi sumber tenaga listrik kita.
Sementara penggunaan BBM untuk PLTD pernah mencapai nilai Rp 35 triliun pada 2015 dan turun jadi Rp 22,8 triliun pada 2016 dengan total volume pemakaian BBM 4,7 juta kiloliter (KL). Pada 2018, PLN masih memerlukan sekitar 3 juta kiloliter BBM.
Perlu dicatat, defisit perdagangan migas pada 2018 (Januari-Oktober) mencapai 10,74 miliar dollar AS, setara Rp 58 triliun. Konsumsi BBM oleh PLN ikut mendorong defisit, yang pada gilirannya menekan nilai tukar rupiah.
Selain pembangkit listrik, penggunaan energi secara berurutan menurut besarnya adalah: transportasi, disusul industri, rumah tangga, komersial, dan sektor lainnya yang seluruhnya membutuhkan 876.594.000 SBM setiap tahun.
Perlu insentif
Kondisi keuangan negara akan bisa lebih baik kalau saja kita mengekspor lebih banyak batubara, meniadakan pembangkit listrik yang menggunakan BBM (yang kita impor), dan kita gunakan gas yang harganya lebih murah dan diproduksi di dalam negeri, serta mengakselerasi pemanfaatan EBT untuk memproduksi listrik.
Di Indonesia, penyumbang emisi terbesar berturut-turut adalah pembangkit listrik (47,8 persen), transportasi (24,71 persen), manufaktur dan konstruksi (14 persen) dan sektor lain (12,7 persen).
Indonesia perlu menunjukkan komitmen yang tinggi pada upaya global menurunkan emisi CO², dengan penyediaan pembangkit listrik yang ramah lingkungan, juga karena Indonesia rentan terdampak perubahan iklim. Pemanasan global yang menaikkan muka air laut dapat membuat Indonesia kehilangan wilayah yang cukup luas akibat tenggelamnya pulau-pulau kecil, begitu juga kota-kota pesisir.
Selama ini, Presiden Joko Widodo telah menunjukkan perhatian sangat besar terhadap rencana peningkatan penggunaan EBT sebagai sumber energi masa depan. Menurut Wapres Jusuf Kalla, saat ini ada 6.516,3 MW pembangkit EBT telah beroperasi memasok listrik. Untuk mencapai target 23 persen EBT pada 2025 dibutuhkan tambahan 2.000 MW pembangkit EBT per tahun.
Namun, tekad pemerintah itu dalam beberapa hal terhambat kebijakan pemerintah sendiri. Utamanya Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 karena menetapkan harga jual listrik produksi pembangkit EBT berdasarkan biaya pokok penyediaan (BPP) setempat. Dengan BPP sangat rendah, keekonomian pembangkit EBT jadi tidak layak. Juga ada ketentuan investasi pembangkit EBT dengan pola build, operation, and transfer (BOT). Akibatnya, bank dan investor serempak satu suara menyatakan bahwa investasi pembangkit listrik EBT tidak layak dan berisiko tinggi. Saya ragu apakah kebijakan itu buah lobi investor sumber energi berbahan baku fosil.
Semua pihak paham kalau sumber energi fosil akan habis dalam waktu tak lama. Sangat sayang belum tampak upaya besar-besaran memanfaatkan EBT yang melimpah untuk listrik. Benar bahwa biaya pembangunan pembangkit EBT lebih mahal daripada PLTU batubara. Namun, sumber energinya tersedia sangat murah dan tidak bisa diekspor sehingga biaya pengoperasiannya sangat rendah dibandingkan PLTU batubara, apalagi diesel. Dalam jangka panjang, listrik EBT akan sangat murah, berkesinambungan dan ramah lingkungan.
Perlu diberikan insentif untuk merangsang upaya besar-besaran pengembangan EBT untuk listrik, antara lain berupa kebijakan sebagai berikut.
Tahun ke-1-10 tarif listrik EBT diatur sehingga memenuhi keekonomian EBT (ada insentif di dalamnya); Tahun ke-11-20, tarifnya diatur untuk mengembalikan subsidi tersebut di atas. Di atas tahun ke-20, tarif diatur dengan keuntungan yang wajar di atas biaya operasional. Asumsinya investasi EBT kembali dalam 10 tahun. Pola ini dapat diterapkan pada investasi EBT untuk air, panas bumi, angin, gelombang laut, surya, dan lain-lain.
Skema BOT juga kurang tepat. Kapasitas pembangkit listrik EBT umumnya di bawah 10 MW per unit. Konsep BOT sangat menghambat karena pihak bank enggan membiayainya. Di samping itu, secara operasional apakah PLN kelak akan siap dan mampu lebih efisien mengelola ribuan pembangkit listrik EBT yang kecil-kecil, tersebar di pelosok-pelosok Tanah Air. Pola build, operation, and owned (BOO) akan menumbuhkan ribuan usaha kecil di berbagai pelosok negeri, menyebarkan kesejahteraan pada masyarakat luas.
Perkembangan teknologi EBT akan terus berlanjut. Pada suatu titik—di masa depan yang dekat—akan menjadi keniscayaan pembangkit tenaga surya atau EBT lainnya akan cukup memenuhi energi satu rumah, satu pabrik, atau satu gedung di tempat pemakainya. Tak perlu jaringan transmisi, listrik diproduksi secara lokal dan setempat. PLN akan seketika kehilangan ribuan pelanggan rumah, gedung, pabrik yang berdampak pada ribuan kilometer jaringan distribusi listrik menjadi tak bermanfaat. Pemerintah perlu mengkaji apakah status monopoli PLN akan berdampak baik bagi eksistensi PLN ke depan yang dinamis dan penuh disrupsi. Sudah menjadi hukum alam, budaya monopoli akan membuat menjadi tidak efisien, lambat, tidak kreatif, dan mau menang sendiri.
Ingat kebijakan cemerlang Telkom yang membuat Telkomsel. Sekarang pendapatan Telkomsel sudah lebih besar daripada Telkom. Sebaliknya, ingatlah PDAM yang selalu merugi dan berlindung di balik UU yang menyatakan yang berhak mendistribusikan air ke rumah-rumah penduduk hanyalah pemerintah/PDAM.
Secara kelembagaan, struktur Kementerian ESDM juga perlu dikaji. Mungkin Kementerian ESDM perlu dipisah antara yang mengurus pertambangan dengan permasalahannya yang kompleks serta kementerian energi yang menangani minyak bumi, batubara, serta ketenagalistrikan dan EBT.
Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Universitas Pancasila