JAKARTA, KOMPAS – Transaksi domestic non-deliverable forward atau DNDF saat ini masih dilakukan untuk memenuhi kebutuhan antar-bank guna mendukung Bank Indonesia menjaga stabilitas pasar valuta asing domestik. Hingga saat ini perbankan masih terus melakukan sosialisasi kepada nasabah terkait regulasi transaksi DNDF.
DNDF merupakan salah satu bentuk transaksi lindung nilai valuta asing (valas) terhadap rupiah di dalam negeri. Transaksi itu merupakan transaksi berjangka (forward) berupa kontrak perjanjian antardua pihak. Penyelesaian transaksi DNDF tersebut wajib dilakukan dalam mata uang rupiah.
Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk, Parwati Surjaudaja, mengatakan sebagai sebuah instrumen baru, belum semua bank dan nasabah siap menjalankan transaksi DNDF. Sejak dijalankan 1 November 2018 hingga awal Januari 2019, OCBC NISP masih menjalankan transaksi DNDF untuk kebutuhan valas antar-bank.
“Secara prinsip kami sudah siap bertransaksi dengan nasabah. Namun sejalan dengan prinsip kehati-hatian, kami ingin memastikan nasabah mengerti aspek DNDF secara utuh,” kata Parwati saat dihubungi Kompas, Sabtu (5/1/2019).
Menurut Parwati, saat ini pasar FX Spot dan FX Forwards regular yang aktif dengan likuiditas yang memadai tetap menjadi pilihan utama untuk transaksi valas. OCBC NISP menargetkan dapat mulai bertransaksi DNDF dengan nasabah pada akhir Januari 2019.
“Aktivitas DNDF akan sangat membantu pendalaman pasar valas domestik dan mendukung BI dalam menjaga stabilitas pasar valas. Tapi kami tidak menargetkan volume transaksi DNDF karena kebutuhan nasabah masih bisa dipenuhi dengan produk FX biasa,” ujar Parwati.
Dihubungi secara terpisah, Country Chief Financial Officer PT Standard Chartered Bank Indonesia Anwar Harsono menyatakan pihaknya masih berdiskusi intensif dengan beberapa klien korporasi dan investor serta mempersiapkan kelengkapan dokumen yang diperlukan untuk memulai transaksi DNDF.
Namun, lanjut Anwar, Standard Chartered Bank Indonesia sudah cukup aktif dalam melakukan transaksi DNDF antarbank dan melihat instrumen ini sebagai sarana alternatif baru yang akan membantu pendalaman pasar keuangan di tahun 2019.
“Untuk nasabah perkiraan kami baru akan dimulai triwulan I-2019, sementara ini belum ada estimasi khusus untuk nasabah,” ujarnya.
Bank Indonesia (BI) telah meluncurkan instrumen transaksi lindung nilai DNDF sebagai bentuk transaksi lindung nilai valas terhadap rupiah di dalam negeri, dengan mekanisme transaksi berjangka berupa kontrak perjanjian antardua pihak.
BI juga ingin menghadirkan pasar non-deliverable forward (NDF) di dalam negeri agar semakin mudah memonitor pergerakan valas dan mengambil langkah-langkah stabilisasi rupiah.
Jika terjadi fluktuasi di kurs rupiah di dalam atau di pasar NDF luar negeri, BI bisa melakukan intervensi secara bilateral di DNDF. Intervensi ini dilakukan ke agen bank atau secara langsung ke bank melalui broker. Caranya, BI menawarkan harga tertentu ke sejumlah broker pada saat lelang sudah selesai.
Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi itu adalah perbankan sebagai penyedia instrumen, dengan importir, eksportir, investor asing, dan korporasi yang memiliki utang luar negeri, yang membutuhkan atau akan menjual valas.
Rupiah menguat
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan, lelang DNDF berguna sebagai medium mengawal penguatan rupiah. Pada perdagangan akhir pekan lalu, lelang DNDF dibuka pukul 08.30 selama 15 menit. Selanjutnya, intervensi langsung dilakukan dengan menempatkan tawaran harga DNDF di delapan broker sepanjang sesi perdagangan dalam jumlah yang signifikan.
“Dengan memanfaatkan momentum yang tepat, BI dapat memberikan sinyal dengan melakukan intervensi di pasar tunai dengan jumlah yang sangat terukur,” ujarnya.
Dampaknya, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), Jumat kemarin, rupiah berada di level Rp 14.350 per dollar AS. Rupiah menguat dari hari sebelumnya di level Rp 14.474 per dollar AS.
Selain intervensi di pasar valas, lanjut Nanang, BI juga terus mewaspadai kondisi pasar keuangan global, karena masih diliputi ketidakpastian. Hal ini terutama terkait memburuknya data ekonomi khususnya data manufaktur di berbagai negara termasuk di AS, China, Francis, Jerman, dan Spanyol.
Melemahnya kegiatan manufaktur sejumlah negara merupakan dampak negatif dari yang sudah mulai dirasakan karena melemahnya kegiatan perdagangan antar-negara. Lumpuhnya sebagian dari kegiatan pemerintahan di AS, bila terjadi secara berkepanjangan menurut Nanang, juga akan berdampak terhadap kegiatan konsumsi di AS.