Meledaknya kabar bohong mengenai tujuh kontainer berisi surat suara yang dicoblos untuk salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2019 membuktikan ada yang salah di jagad media sosial kita. Derasnya arus informasi, kini ditambah desingan kabar bohong yang bisa menyaru sebagai fakta dan disuarakan orang yang punya otoritas.
Siapa pun yang mendengar kabar bohong surat suara tujuh kontainer itu tersebut pasti akan terkesiap: surat suara dari China dengan kondisi tercoblos untuk pasangan nomor urut 01 yakni Joko Widodo-Ma\'ruf Amin sebanyak tujuh kontainer berhasil diamankan oleh pihak Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Priok. Tanpa perlu berdebat soal jumlah pasti lembar surat suara, penggunaan satuan kontainer sontak memunculkan bayangan tentang sesuatu yang besar dan mampu menampung jutaan lembar lembaran kertas di dalamnya.
Kesimpulan yang langsung mengemuka adalah tudingan kecurangan pemilu yang dilakukan peserta Pilpres 2019. Kalau pun nanti hasil penghitungan suara unggul, penyebabnya sudah bisa ditarik ke peristiwa penemuan tujuh kontainer.
Komisi Pemilihan Umum segera bergerak untuk menjernihkan kesimpangsiuran informasi yang beredar di linimasa media sosial dengan mendatangi Pelabuhan Tanjung Priok. Seperti ditebak sebelumnya, informasi tersebut tidak bisa dibuktikan, ditambah penjelasan dari Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Priok bahwa barang seperti itu harusnya bisa terpantau sebelum masuk Indonesia.
Ada begitu banyak penjelasan yang bisa menggugurkan kabar bohong tersebut, seperti fakta bahwa pencetakan surat suara baru akan dilakukan pertengahan Januari atau sesudah kabar beredar. Begitu pula proses pencetakan sepenuhnya dilakukan di Indonesia dengan perusahaan pemenang lelang yang beralamat di Indonesia.
Setelah terbantahkan, pertanyaan berikutnya pun muncul: dari mana kabar itu berasal? Siapa yang membuatnya jadi ramai? Dan sudah seluas apa kabar itu menyebar.
Tudingan pertama mengarah ke akun @AndiArief__ yang dipercaya sebagai akun yang dikelola oleh Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief bercuit: “Mohon dicek kabarnya ada 7 kontainer surat suara yg sudah dicoblos di tanjung priok. Supaya tidak ada fitnah harap dicari kebenarannya. karena ini kabar sudah beredar” dan dengan segera dia pun menjadi sasaran kemarahan warganet karena dianggap menyebarkan kabar bohong. Pesan tersebut dibuat pada tanggal 2 Januari 2019 pukul 20.05 WIB.
Andi tidak sendiri, ada juga akun @ustadtengkuzul yang dipercaya dikelola Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain yang bercuit "7 Kontainer dari Cina Sudah Tercoblos untuk Pasangan Nomor 01?(Kompas TV). Nampaknya Pemilu Sudah Dirancang untuk CURANG...? Kalau NGEBET Banget Apa Tidak Sebaiknya Buat Surat Permohonan agar Capres yang Lain Mengundurkan Diri Saja? Siapa Tahu Mau." Cuitan itu terjadi di waktu yang bersamaan dengan pesan yang dilontarkan Andi.
Dua twit yang menjadi contoh tersebut memang sudah dihapus meski masih menyisakan jejak digital yang bisa diunggah kembali oleh warganet. Andi menganggap bahwa apa yang dia utarakan sebagai peringatan kepada pemerintah sementara Tengku Zulkarnain mencuitkan pesan klarifikasi.
Apakah mereka yang pertama kali melontarkan isu tersebut, jelas bukan. Berdasarkan pencarian sederhana sebetulnya bisa terlihat bahwa isu yang menyebut ada surat suara tercoblos dalam tujuh kontainer sudah beredar di berbagai media sosial seperti Twitter, Facebook, hingga layanan percakapan seperti Whatsapp.
Monitoring Media Drone Emprit justru menangkap bahwa isu soal tujuh kontainer ini tidak pernah diperbincangkan sebelum tahun 2019.
"Menjadi viral justru setelah ditanggapi akun @mohmahfudmd karena begitu banyak retweet," kata Eko Wibowo, analis Drone Emprit, Jumat (4/1/2019).
Dari pencarian sederhana, memang mengerucut pada kemungkinan bahwa pengguna Twitter yang mencuitkan isu ini pertama kali adalah akun @bagnatara1 yang pada saat tulisan ini dibuat tidak bisa diakses lagi. Tangkapan layar dari cuitannya masih tersimpan saat melontarkan isu surat suara di tujuh kontainer pada tanggal 2 Januari 2019 pukul 14.35 WIB.
Menurut Eko, ada beberapa isu yang bisa direkayasa agar menjadi viral, dimulai dengan akun-akun bot yang umumnya menggunakan nama samaran bercuit soal satu tagar atau isu. Setelah mencapai jumlah tertentu, barulah diamplifikasi oleh akun dengan jaringan yang luas untuk menjadi viral.
Dalam kasus tagar #PrabowoBersamaHTI yang sempat marak beberapa bulan silam, lanjut Eko, mesin Drone Emprit justru mendapati akun bot yang semula menggiring isu tersebut langsung menjauh atau tidak lagi intens beraktivitas begitu tagar diamplifikasi oleh para influencer atau pengguna dengan jumlah pengikut yang signifikan.
Perang narasi
Yang mengkhawatirkan sebetulnya adalah apa yang terjadi sesudahnya. Narasi berhadapan dengan narasi. Tudingan bahwa penyebar hoaks mengganggu pelaksanaan pemilu bertabrakan dengan narasi bahwa pemerintah memang sengaja menggulirkan isu ini sebagai pengalihan atas kecurangan yang akan berlangsung di masa mendatang.
Informasi yang sama-sama deras dan saling berlawanan. Lantas muncul tudingan bahwa pemerintah pun juga membuat kebohongan-kebohongan di masa lalu, termasuk menciptakan kebohongan yang membuatnya tampil sebagai korban demi mendulang simpati. Kesimpulan yang ingin dibuat: tidak ada yang bisa dipercaya.
Pola propaganda ala semburan kebohongan (firehose of falsehood) menyebabkan kebingungan, tidak ada yang bisa dipakai sebagai pegangan. Otoritas kini dikesankan sebagai pihak yang tidak bisa dipercaya, oposisi sebagai kelompok yang gemar menyebar kabar bohong. Ulama pun disebut sudah berpolitik dan menunjukkan keberpihakan.
Tujuh kontainer bukanlah informasi palsu pertama yang menyebar di Indonesia, ada disinformasi lain yang sudah lebih dulu menerpa, mulai dari serbuan tenaga kerja asing, penganiayaan Ratna Sarumpaet, dan selang cuci darah di RSCM yang dipakai berulang kali. Bisa dipastikan tujuh kontainer bukanlah kabar bohong terakhir yang akan merajalela.
Pertanyaan terakhir: siapa yang akan mengambil keuntungan dari keadaan ini? (Didit Putra Erlangga Rahardjo/Bondan Wibisono)