Mitigasi "Leuit" yang Meringankan
Leuit atau lumbung padi bukan sekadar tempat menyimpan hasil panen bagi masyarakat Kampung Garehong, Dusun Cimapag, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Bangunan berbentuk rumah panggung itu juga menjadi simbol ketahanan pangan yang teruji saat bencana datang.
Dada dan punggung Tandi (32) masih terasa sakit, Kamis (3/1/2019). Tubuhnya terkubur selama satu jam setelah longsor menerjang Garehong, Senin (31/12) dan menimbun rumahnya.
Tak ada harta yang tersisa, dia pilih mengungsi ke rumah kakaknya, Suma (50), berjarak sekitar 500 meter dari lokasi bencana. Di sana dia menggantungkan hidup saat rencana relokasi masih belum pasti. Bukan hanya untuk menginap, melainkan kebutuhan hidup sehari-hari.
“Belum tahu sampai kapan bertahan di sini. Istri saya meninggal dunia tertimbun longsor. Kini, tinggal saya dan anak yang terluka akibat longsor,” ujarnya.
Akan tetapi, menanggung kebutuhan makan Tandi dan anaknya tak membuat Suma dan istrinya, Ayi (47), terbebani. Bukan karena mereka bergelimang harta. Namun, cadangan padi mereka cukup berlimpah dari hasil panen padi di tahun-tahun sebelumnya.
Padi itu tersimpan dengan baik di leuit di samping rumah. Berukuran 1,5 meter x 2 meter, leuit menyimpan lebih dari 300 kilogram padi. “Leuit ini sederhana. Namun, manfaatnya besar saat keadaan mendesak, seperti menolong saudara yang terkena musibah,” ujar Ayi.
Leuit ditopang 12 tiang kayu penyangga. Dindingnya terbuat dari tepas. Sementara atapnya berbahan rumbia. Tingginya sekitar 2 meter. Dindingnya dibuat sangat rapat. Selain untuk mencegah dimasuki tikus, juga membuat suhu di dalamnya hangat sehingga padi tersimpan dengan awet hingga bertahun-tahun lamanya.
Meskipun mempunyai stok padi berlimpah, Ayi tidak menjualnya. Walaupun, dia tahu hasil penjualannya sangat berguna untuk membeli keperluan lainnya. Aturan adat leluhur melarangnya.
“Padi di dalam leuit tidak boleh digunakan sembarangan. Tidak boleh dijual sebelum keluarga dan orang-orang di sekitar kita terpenuhi kebutuhan pangannya. Itu sudah menjadi pesan dari leluhur. Namun, pasti akan diberikan bagi siapa saja yang membutuhkannya,” ujarnya.
Garehong berada dalam kawasan Kampung Adat Sinar Resmi. Di sini, pesan leluhur dijaga erat. Kewajiban setiap rumah untuk memiliki leuit, adalah salah satu kewajibannya. Fungsinya beragam, mulai dari persediaan pangan hingga ikatan sosial masyarakat.
Hal serupa juga dilakukan warga kampung adat lainnya di Sukabumi seperti Kasepuhan Cipta Mulya dan Ciptagelar. Di daerah lain, ada juga Kampung Adat Naga (Garut), Kampung Adat Kuta (Ciamis), dan Kampung Adat Cikondang (Kabupaten Bandung).
Saat bencana datang, perannya dalam proses pascabencana sangat dirasakan manfaatnya. Pesan leluhur itu menjadi pegangan warga untuk saling tolong-menolong. Bukan hanya kepada keluarga dan saudara, melainkan semua orang yang membutuhkan. Tidak ada transaksi rupiah, semua dilakukan dengan rela berbalut cinta.
Oleh karena itu, karena punya fungsi sosial yang tinggi, Ayi mengatakan, walaupun tidak dijaga, padi di dalam leuit tidak pernah dicuri. “Leuit milik warga lainnya juga tidak pernah dicuri. Untuk apa perlu mencuri kalau meminta pasti akan diberi,” ujarnya.
Uluran tangan untuk membantu korban longsor juga dilakukan Uyat (45), warga Kampung Ueuek, Desa Sirnaresmi. Rumahnya berjarak sekitar 1,5 kilometer dari Kampung Garehong.
Uyat menampung 7 korban longsor yang selamat. “Tidak perlu berpikir panjang untuk menolong. Itu sudah pesan leluhur. Apalagi semua orang di desa ini bersaudara,” ujarnya.
Uyat mempunyai tiga leuit yang berisi sekitar 800 kg padi. Padi-padi itu merupakan hasil panen dari sawahnya sejak lima tahun lalu.
“Hasil panen setiap tahun harus disimpan di leuit. Bukan hanya digunakan untuk kebutuhan keluarga sendiri, melainkan orang lain yang membutuhkan,” ujarnya.
Saat mengetahui Garehong diterjang longsor, Uyat mengaku langsung tergerak untuk membantu. Apalagi, banyak saudaranya yang juga menjadi korban meninggal dan selamat.
“Bantuannya tidak dalam bentuk uang. Namun, menolong agar kebutuhan makan dan tempat tinggal korban untuk sementara dapat terpenuhi,” ucapnya.
Menurut Uyat, pesan leluhur agar tidak menjual padi di dalam leuit sangat terasa manfaatnya saat ini. Sebab, warga dapat membantu korban tanpa harus mengeluarkan uang.
“Bencana tidak bisa ditebak. Jadi, leuit menjadi jaminan kalau dalam posisi terdesak sekalipun, kebutuhan makan tetap dapat terpenuhi. Ini tradisi yang sangat baik dan terus dilestarikan,” ucapnya.
Hingga Kamis malam, 18 korban meninggal telah ditemukan. Sejumlah 15 korban lainnya masih dicari. Sementara 64 warga selamat. Ketebalan material longsor yang mencapai empat meter menyulitkan tim SAR gabungan dalam mencari korban.
Meskipun hampir semua warga kehilangan tempat tinggal, namun tidak ada posko pengungsian untuk menampung korban. Bukan karena pemerintah tidak ingin mendirikan posko tersebut, melainkan warga sudah terlebih dahulu berinisiatif untuk menolong korban.
Semangat membantu seperti fungsi leuit sudah tertanam erat. Warga dengan sukarela membantu tim SAR gabungan mencari korban hilang. Mereka membantu menunjukkan posisi rumah korban yang sudah tertimbun material longsor setebal empat meter. Mereka juga ikut menggali material longsor tersebut.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, ikatan persaudaran di Desa Sirnaresmi, sangat kuat. Hal itu membuat korban selamat dapat dengan cepat ditolong dan dievakuasi ke rumah warga di kampung lainnya.
“Rasa berbagi dan tolong-menolong sudah menjadi budaya di kampung ini. Ini yang membuat warga lainnya tergerak untuk membantu,” ujarnya.