“Saya sering melihat di daerah lereng ada tanah yang sudah banyak retakan. Sudah beberapa tahun begitu,” kata Winarta (33), warga Kampung Garehong. Dia dan keluarganya menjadi korban bencana longsor yang terjadi pada Senin (31/12/2018).
Bencana itu merenggut nyawa kedua orangtuanya, Sukiman (75) dan Umih (70). Tempat tinggal Winarta, saudara, dan rekannya pun terdampak longsor yang menimbun 30 rumah serta mengakibatkan 19 orang meninggal dan 14 orang belum ditemukan.
Desa Garehong salah satu kampung adat dari Kasepuhan Sinaresmi. Longsor yang baru pertama kali itu menjadi pukulan besar karena masyarakat adat seharusnya menjaga keseimbangan alam. Akan tetapi, mereka menjadikan lereng di sekitar rumah menjadi area persawahan.
Di balik itu, warga tetap menjaga keseimbangan alam. Kasepuhan hanya memperbolehkan warganya menanam padi setahun sekali. Hasilnya tidak boleh dikomersialkan. “Kami hanya menanam padi sekali dalam setahun, tidak boleh lebih. Hasilnya nanti untuk kebutuhan pokok pribadi. Tidak boleh dijual. Itu sudah menjadi aturan adat di sini,” kata Winarta.
Dalam satu tahun, Winarta hanya menghasilkan sekitar satu ton gabah dari satu hektar lahan miliknya. Jumlah itu cenderung sedikit. Petani pada umumnya mampu menghasilkan sekitar lima hingga delapan ton dalam setahun.
Bukannya tidak menghargai alam, warga desa tidak memiliki pilihan lain. Mereka hanya berkeahlian sebagai petani. Seperti Winarta, dia sudah menjadi petani sejak berusia 11 tahun. Kedua orangtuanya dan warga lain pun sama seperti itu.
Untuk mencari nafkah, warga Garehong bertani hasil bumi lain. Namun, mereka tidak bertani di lahan miring. Mereka bertani di lahan datar, sekitar 3-4 kilometer dari daerah rawan longsor.
Menurut Kepala Desa Sirnaresmi Iwan Suwandri, sekitar 90 persen penduduk di desanya merupakan warga adat. Sisanya merupakan pendatang. Oleh karena itu, adat Kasepuhan masih menjadi bagian hidup warga.
“Kebetulan saya masih keturunan Kasepuhan. Jadi saya bertekad mempertahankan kearifan lokal. Kalau tidak saya yang menaati, siapa lagi,” kata Kepala Desa yang baru menjabat setahun itu.
Warga Kampung Garehong masih belum memahami penuh risiko bencana. Mereka bahkan tidak mengetahui longsor akan terjadi walaupun sudah melihat tanda-tanda keretakan di tanah.
Meski sudah berupaya menjaga, mereka juga masih menggunakan lereng gunung sebagai area persawahan. Padahal keberadaan sawah akan meningkatkan risiko longsor karena tanah akan jenuh terhadap air.
Kendati demikian, kini warga desa mulai sadar risiko itu kehilangan keluarga, kerabat, rumah, dan harta benda. Kesalahan itu tidak ingin diulang. Mereka bersedia direlokasi dengan syarat terdapat sawah di tempat baru nanti.