JAKARTA, KOMPAS – Komisi Yudisial tetap melanjutkan rekrutmen calon hakim agung dari jalur nonkarier kendati saat ini ada gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara mengenai proses seleksi yang sedang berjalan. Rekrutmen tetap dilakukan karena undang-undang maupun putusan Mahkamah Konstitusi tidak menghapus calon hakim agung dari jalur nonkarier.
Seleksi CHA telah memasuki wawancara akhir dengan melibatkan panelis dari tokoh masyarakat dan akademisi. Wawancara itu dilaksanakan sejak Kamis (3/1/2019) hingga Senin pekan depan. Sebanyak 12 CHA dari jalur karier maupun nonkarier dinyatakan lolos tahapan tes kualitas dan menghadapi tes wawancara akhir sebelum nama mereka yang lolos dimintakan persetujuan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dari 12 CHA yang diwawancarai, 9 orang di antaranya berasal dari jalur karier dan tiga orang dari jalur nonkarier. Rinciannya, lima CHA untuk kamar perdata semuanya dari karier, satu CHA untuk kamar tata usaha negara (TUN) berasal dari jalur nonkarier, tiga CHA untuk kamar agama dari jalur karier, dua CHA untuk kamar militer (satu dari karier, dan satu dari nonkarier), dan satu CHA untuk kamar pidana dari jalur nonkarier.
“Seleksi tetap berjalan, sedangkan proses hukum di PTUN juga kami hadapi, dan jawaban KY atas gugatan itu telah disampaikan kepada PTUN,” kata Ketua KY Jaja Ahmad Jayus.
Pertengahan Desember 2018, hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Bangka Belitung Binsar Gultom hadir bersama kuasa hukumnya, Irmanputra Sidin, di PTUN Jakarta, menggugat proses seleksi hakim agung ke PTUN. Dua keputusan KY digugat, yakni yakni keputusan Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi Calon Hakim Agung (CHA) Nomor 07/PENG/PIM/RH.01.02/09/2018 tertanggal 13 September 2018 serta Pengumuman Hasil Seleksi Tahap II (Kualitas) CHA Nomor 07/PENG/PIM/RH.01.03/10/2018 tertanggal 9 Oktober 2018.
Dua keputusan KY itu dinilai melanggar Pasal 7 Huruf b butir 3 Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA dan Putusan MK Nomor 53/PUU-XIV/2016. Penggugat mendalilkan putusan MK sebagai dasar gugatan karena MK dalam pertimbangan putusannya menyebutkan rekrutmen hakim agung oleh KY harus berpedoman pada kebutuhan MA. Terkait rekrutmen ini, Wakil Ketua MA bidang nonyudisial juga telah mengirimkan surat kepada KY yang isinya meminta delapan hakim agung untuk mengisi posisi yang lowong di MA. Hakim agung diminta berasal dari jalur karier.
“Menurut putusan MK, seharusnya kebutuhan pengguna, yakni MA didengarkan oleh KY. Namun, ternyata masih ada calon hakim dari jalur nonkarier yang masih diloloskan oleh KY. Artinya, proses seleksi yang meloloskan CHA dari jalur nonkarier itu cacat hukum dan harus dibatalkan,” kata Binsar.
Jaja mengatakan, pihaknya tidak sependapat dengan dali-dalil yang dikemukakan oleh penggugat. “Kami tetap bertahan pada sikap kami, yakni mempertanyakan legal standing penggugat, serta menyatakan obyek sengketa itu keliru atau error in objecto,” katanya.
Tergantung Kemampuan
KY juga menilai kelolosan seorang CHA dari tahap seleksi tidak melihat asalnya, apakah dari jalur karier atau nonkarier. Namun, kelolosan itu ditentukn oleh kemampuan calon untuk lolos dari batas nilai kelulusan (passing grade). “Keliru kalau berpendapat kami meloloskan CHA itu dengan melihat apakah dia dari karier ataukah nonkarier. Sebab yang menentukan adalah apakah seorang calon itu lolos dari passing grade ataukah tidak,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Jaja, KY masih tetap merekrut CHA dari halur nonkarier karena putusan MK tidak menutup jalur nonkarier itu dari pencalonan hakim agung. “Soal putusan MK itu sudah kami bahas dalam rapat pleno. Di dalam diktum putusan MK itu hanya mengatakan syarat Pasal 7 UU MA harus dimaknai hakim nonkarier memiliki keahlian tertentu,” katanya.
Mantan Ketua MA Bagir Manan yang juga menjadi salah satu panelis yang menguji CHA untuk kamar perdata, Kamis, mengatakan, hakim nonkarier tetap diperlukan untuk menjadi dinamisator, atau faktor pendorong dalam proses peradilan.
“Karena sebagai faktor pendorong, saya berpendapat jumlahnya tidak boleh banyak betul hakim, tetapi cukup sebagai trigger (pemicu). Sehingga waktu zaman saya (menjadi Ketua MA), dari 50 atau 60 hakim itu, hakim hariernya tidak lebih dari sepertiga dari total jumlah hakim agung,” ujarnya.
Kendati demikian, faktor pendorong dari hakim nonkarier itu masih dipandang perlu sebagai upaya menciptakan pertukaran pengetahuan dan pengetahuan dengan hakim karier dalam pengambilan putusan.
“Belum tentu yang nonkarier itu lebih baik dari yang karier, apalagi soal teknis peradilannya. Tetapi dengan adanya faktor luar, kan, ada faktor exchange of minds, dan exchange of knowledge. Tentu ini hal bagus,” katanya.
Sementara itu, dari proses wawancara kemarin, empat CHA untuk kamar perdata ditanyai berbagai hal mulai dari teknis peradilan, manajemen perkara, etika dan integritas, hingga pengetahuan dan filosofi hukum. Sembilan panelis mengajukan pertanyaan kepada para calon, yakni tujuh orang dari KY, dan dua panelis ahli. Selain Bagir Manan, panelis ahli yang hadir kemarin ialah Atja Sondjaja.