JAKARTA, KOMPAS — Tahun ini Kementerian Keuangan akan mengalokasikan dana cadangan bencana alam di atas Rp 10 triliun. Dana bencana alam itu hampir dua kali lipat lebih tinggi dari pagu APBN 2018 sebesar Rp 6,65 triliun.
Dana cadangan itu merupakan dana siap pakai (oncall), rehabilitasi, dan rekonstruksi pascabencana. ”Dana cadangan bencana alam (tahun 2019) yang pasti lebih besar dari 2018. Bisa di atas Rp 10 triliun,” kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani kepada Kompas, Jumat (4/1/2019).
Dana cadangan bencana alam itu di luar anggaran bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebesar Rp 610 miliar. Dana cadangan itu juga di luar tahap pertama realisasi asuransi bencana berupa dana gabungan (poolingfund) sebesar Rp 1 triliun. Skema penyaluran dana cadangan bencana itu sesuai permintaan kementerian/lembaga yang menangani bencana alam.
Dana gabungan merupakan skema pembiayaan bencana di luar APBN. Sumbernya berasal dari pemerintah pusat, daerah, pinjaman, dan hibah. Dana itu dapat diakses pemerintah daerah.
Menurut Askolani, realisasi dana cadangan bencana alam pada 2018 sebesar Rp 7,3 triliun. Dengan alokasi yang hanya Rp 6,5 triliun, terjadi defisit Rp 650 miliar dari pagu APBN 2018.
Pada tahun lalu, dana tersebut digunakan untuk dana siap pakai, rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, bantuan perbaikan rumah tahap I-IV, usulan tambahan anggaran BNPB, serta kebutuhan dana akhir tahun.
”Kekurangan tersebut sudah dipenuhi dengan menggunakan dana cadangan mendesak,” kata Askolani.
Adapun dalam APBN 2019, pemerintah akan mengoptimalkan potensi sumber pembiayaan untuk mitigasi risiko bencana. Sumber-sumber pendanaan itu antara lain dari APBN, pinjaman dan hibah luar negeri, termasuk pinjaman siaga bencana, kontribusi daerah, serta sumber lain yang sah.
Asuransibencana
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, saat ini pemerintah sedang memetakan daerah rawan bencana sebagai upaya mitigasi. Nantinya daerah rawan bencana akan menerapkan skema asuransi bencana.
Pada tahap awal, asuransi bencana akan direalisasikan dengan mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana dalam skema pembiayaan dana gabungan senilai Rp 1 triliun.
”Kami juga mulai mengasuransikan semua barang milik negara, gedung-gedung, dan lainnya,” kata Sri Mulyani.
Pemerintah mengalihkan risiko pembiayaan bencana yang frekuensi kejadian rendah dengan kerugian besar melalui instrumen asuransi. Pengalihan risiko dilakukan dengan membeli kontrak asuransi untuk perlindungan masyarakat miskin dan aset milik pemerintah. Nantinya pemerintah bersama industri asuransi akan mengembangkan produk asuransi bencana alam.
Asuransi menerapkan skema penggabungan risiko (poolingrisk) baik yang dilakukan pemerintah sebagai pembeli produk asuransi maupun konsorsium yang dibentuk beberapa industri asuransi. Penggabungan risiko ini bisa menurunkan biaya premi yang akan ditanggung pemerintah dan mengurangi risiko kerugian perusahaan asuransi.
Jurang pembiayaan bencana
Peta jalan strategi terbagi dalam jangka pendek tahun 2018-2019 dilanjutkan jangka menengah tahun 2019-2023. Pemerintah akan menanggung kerugian akibat bencana alam tanpa membebani APBN.
Mengutip data Kementerian Keuangan, rata-rata kerugian ekonomi langsung akibat bencana alam di Indonesia tahun 2000-2016 mencapai Rp 22,8 triliun per tahunnya. Dalam 12 tahun terakhir, rata-rata dana cadangan bencana yang dialokasikan pemerintah hanya Rp 3,1 triliun per tahun.
Sebagai perbandingan, bencana besar seperti gempa dan tsunami di Aceh pada 2004 membutuhkan dana Rp 51,4 triliun. Waktu itu, pemerintah hanya mampu mendanai Rp 3,3 triliun dari APBN atau 7,9 persen dari total kerugian.
Hal serupa terjadi saat bencana gempa di Yogyakarta. Bencana itu mengakibatkan kerugian Rp 26,1 triliun. Sementara pembiayaan APBN hanya Rp 2,9 triliun atau 11,1 persen dari total kerugian.
”Jurang pembiayaan itu menyebabkan Indonesia menderita risiko fiskal akibat bencana alam,” kata Sri Mulyani.