Pendataan Menyeluruh Jadi Solusi Atasi Okupasi Trotoar
Oleh
Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Persoalan okupasi trotoar oleh pedagang kaki lima atau PKL di Jakarta tidak bisa jika hanya mengandalkan penertiban Satuan Polisi Pamong Praja. Keberadaan mereka perlu diakomodir, tetapi terlebih dahulu didata secara keseluruhan untuk memudahkan pemerintah menyediakan tempat distribusi PKL.
Ahli Perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga, saat dihubungi pada Kamis (3/1/2019) dari Jakarta, mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu membangun komunikasi dengan berbagai komunitas PKL di Jakarta agar semua PKL terdata sesuai jenis usahanya masing-masing. Data itu dapat menjadi acuan untuk mendistribusikan PKL ke berbagai pusat keramaian di Jakarta.
"Pusat keramaian itu bisa saja di pasar tradisional terdekat atau juga disebar ke pusat perbelanjaan di Jakarta. Pusat perbelanjaan punya kewajiban menyediakan 10 persen dari lahannya untuk PKL," katanya.
Adapun PKL yang berjualan makanan maupun minuman dapat disebar di berbagai area perkantoran pemerintah. Mereka juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan festival yang diselenggarakan oleh Pemprov DKI, pemkot, atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
"Kalau datanya lengkap dan jumlahnya disepakati, maka distribusinya mudah. Mereka itu intinya ada tempat berdagang. Jadi di saat bersamaan mereka dilarang berjualan di trotoar, tetapi di sisi lain mereka juga diberikan solusi berdagang secara tertib dan sesuai aturan," ujarnya.
Sistem ini, menurut Joga merupakan solusi bagi pemerintah provinsi untuk menyelesaikan persoalan PKL di beberapa tempat di Jakarta seperti, Jatinegara, Kramatjati, maupun Tanah Abang.
Dipadati PKL
Berdasarkan pantauan pada pukul 15.00 hingga pukul 16.00 di trotoar di sekitar Pusat Mode Tanah Abang, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, sore itu, dipadati pedagang kaki lima. Keadaan itu diperparah lagi dengan keberadaan sejumlah bajaj maupun parkiran motor liar yang memenuhi ruas jalan itu.
Akibatnya, kemacetan lalu lintas sore itu, tak terhindarkan. Para pejalan kaki yang melintas harus bersaing dengan sepeda motor, angkutan umum, maupun mobil yang melintasi jalan dari arah Senayan ataupun dari sebaliknya dari Slipi, Jakarta Barat.
Agus (48), salah satu pedagang yang berjualan di tempat itu, mengatakan, sudah lebih dari lima tahun mengais rezeki dengan menjajakan berbagai merek minuman di tempat itu. Ia juga sering kali harus bermain kucing-kucingan dengan Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta yang biasanya melakukan razia PKL pada pagi atau sore hari.
"Namanya juga cari hidup. Kalau enggak jualan di sini terus mau di mana. Saya tidak punya KTP Jakarta," ucap lelaki yang berdomisili di Senen, Jakarta Pusat itu.
Tak jauh dari tempatnya Agus atau sekitar 50 meter, ada pula Azis (36), yang memanfaatkan trotoar di sekitar Blok A, Pasar Tanah Abang untuk menjajakan berbagai aneka gorengan. Ia juga tidak tertarik direlokasi ke Blok F pasar Tanah Abang dengan dalil sepi pembeli.
Uji coba
Kepala Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan Adi Ariantara, mengatakan, penataan PKL di Jakarta, saat ini difokuskan pada PKL Tanah Abang yang berjualan di Jalan Jatibaru Raya yang telah terdata. Dari 650 pedagang di tempat itu, sebanyak 446 PKL telah direlokasi ke jembatan penyeberangan multiguna (JPM). Adapun sisanya akan direlokasi ke lantai tujuh Blok F.
"Sekarang tinggal mereka bergerak ke sana untuk mendaftar. Tetapi kalau di bawah masih ada (PKL) berarti menjadi kewajiban Sat Pol PP (DKI Jakarta) untuk menghalau mereka demi kelancaran lalu lintas," ujarnya.
Menanggapi PKL yang mengokupasi trotoar di tempat lain, seperti di sekitar Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Edi mengatakan, kebijakan ini akan terus dievaluasi dan jika berjalan efektif ada kemungkinan menjadi model atau rujukan untuk diterapkan di tempat lain.
"Kita evaluasi dulu kebijakan ini karena baru berjalan dan belum kelihatan hasilnya," ucapnya.
Ia menambahkan, penataan PKL Tanah Abang masih jadi fokus utama, karena persoalan PKL itu telah berlangsung puluhan tahun. Tempat ini juga menjadi sentra pusat perbelanjaan yang mendesak untuk diselesaikan. (STEFANUS ATO)