PALU, KOMPAS - Pembangunan dan penempatan hunian sementara untuk penyintas gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah melewati target akhir Desember 2018. Kendala utamanya keterbatasan material bangunan.
Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola mengakui seretnya pembangunan dan penempatan hunian sementara (huntara). ”Targetnya akhir Desember 2018, tiga bulan setelah gempa bumi. Akan tetapi, ada banyak hambatan yang tak bisa dihindari,” kata Longki seusai meninjau pembangunan huntara di Kelurahan Duyu, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulteng, Rabu (2/1/2019).
Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto menyatakan, material bangunan menjadi kendala utama. Produksi material bangunan, terutama baja ringan, terbatas di tengah banyaknya kebutuhan.
Selain di Sulteng, huntara juga dibangun di Nusa Tenggara Barat untuk penyintas gempa bumi. ”Bahkan, karena keterbatasan stok, ada perubahan spesifikasi pada baja ringan,” kata Arie yang mendampingi Longki.
Kendala lain, kata Arie, adalah tenaga kerja. Keterampilan para pekerja lokal yang direkrut kurang sehingga sulit mencapai target penyelesaian.
Tak sedikit pula penyintas yang masih menempati tenda darurat beratap dan berdinding terpal serta berlantai papan atau spanduk bekas.
Hingga awal Januari 2019, dari target 669 pembangunan huntara untuk tahap pertama, baru selesai 194 unit yang tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala. Dari huntara itu, tak lebih dari lima unit yang telah ditempati.
Huntara dibangun untuk penyintas sambil menunggu pembangunan hunian tetap. Mereka akan menempati huntara setidaknya selama 2 tahun. Satu kompleks huntara terdiri atas sejumlah unit yang masing-masing berisi 12 kamar. Satu keluarga menempati satu kamar.
Catatan Pusat Data dan Informasi Bencana Sulteng per 6 Desember 2018 menyebutkan, korban meninggal akibat gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi, 28 September, di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong 2.227 orang dan korban hilang 965 orang. Pusat Data juga mencatat rumah hilang 1.784 unit, rumah rusak berat 24.739 unit, rusak sedang 18.892 unit, dan rusak ringan 22.820 unit.
Meski seret, Longki menilai, pembangunan huntara banyak kemajuannya. Di Kelurahan Silae, penyintas menempati huntara sejak dua minggu lalu. Ke depan, penempatan huntara yang rampung dibangun dilakukan setiap dua minggu.
Huntara di Kelurahan Duyu ada 16 unit.
Setiap kamar dilengkapi satu jendela dan satu pintu. Lantai dan dinding huntara dari papan lapis. Dua tangki air untuk masing-masing unit huntara sudah tersedia. Namun, petugas masih menyambung kabel listrik ke setiap unit dan bilik.
Huntara yang dibangun di Kelurahan Petobo, Palu Selatan, banyak yang sudah rampung. Sebagian lainnya dalam tahap penyelesaian, misalnya memasang atap.
Masih di tenda
Saat ini penyintas tersebar di sejumlah titik pengungsian. Ada penyintas yang menempati huntara yang dibangun lembaga swadaya masyarakat atau pemerintah provinsi lain. Huntara itu umumnya dari papan dengan lantai beton kasar. Misalnya di Kelurahan Petobo dan Kelurahan Lere, Kota Palu.
Tak sedikit pula penyintas yang masih menempati tenda darurat beratap dan berdinding terpal serta berlantai papan atau spanduk bekas. Mereka antara lain di pengungsian Kelurahan Duyu di Kota Palu serta Desa Oloboju dan Pombewe di Kabupaten Sigi.
Wilda (32), penyintas di Kelurahan Duyu, menyatakan, tenda darurat sering bocor saat hujan. Tenda-tenda itu dilapisi terpal lagi. ”Saat tidak hujan, tenda panas. Padahal, banyak penyintas yang memiliki bayi. Kami berharap segera menempati huntara agar lebih nyaman dan tidak semakin sengsara,” ujarnya.