MATARAM, KOMPAS — Tim kuasa hukum Baiq Nuril menyerahkan berkas materi peninjauan kembali terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung kepada Pengadilan Negeri Mataram di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Kamis (3/1/2019). Pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan karena ada kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam memutus perkara itu.
Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual, tetapi ia justru dipidana karena dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kasus Nuril berawal dari percakapan lewat telepon dengan H Muslim, Kepala SMAN 7 Mataram, yang beberapa kali mengarah ke pornografi dan menceritakan hubungan asmaranya dengan wanita lain. Nuril, anggota staf di sekolah itu, merasa dilecehkan secara verbal kemudian merekam pembicaraan dengan atasannya itu. Rekaman itu kemudian disebarluaskan oleh rekan Nuril. Muslim melaporkan Nuril ke Polres Mataram awal 2017, kemudian Nuril mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Mataram.
PN Mataram memvonis bebas Nuril, sedangkan jaksa mengajukan kasasi ke MA yang memutuskan Nuril melanggar Pasal 27 Ayat 1 UU ITE karena dianggap menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan asusila. Terhadap Nuril, MA menjatuhkan pidana 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta atau pidana 3 bulan penjara apabila tidak membayar denda.
Namun, Nuril sering kali menegaskan alasan merekam percakapan itu hanya sebagai alat bukti untuk membela diri untuk menjaga hubungan rumah tangganya dengan Isnaini (40), suaminya, yang mulai curiga karena Nuril kerap kali pulang malam.
”Soalnya suami saya tahu kalau saya suka pulang larut malam. Waktu itu si kecil (anak bungsunya) masih menyusui. Tetapi si kepala sekolah ini dulu tetap ajak saya pulang malam,” cerita Nuril kepada pers beberapa waktu lalu di rumahnya.
Kekeliruan hakim
Kini Nuril mengajukan peninjauan kembali (PK). Kuasa hukum Baiq Nuril, Yan Mangandar Putra, mengaku, diajukannya PK itu karena banyak pertimbangan, seperti hakim kasasi tidak mempertimbangkan fakta hukum terkait yuris prudensi tingkat pertama. Padahal, penerapan hukum kasasi harus mempertimbangkan aspek itu.
”Jadi, ada penarikan fakta yang dilakukan hakim kasasi dari sisi ini (penerapan hukum kasasi,” ujarnya.
”Kami tidak pakai novum, tapi kekhilafan atau kekeliruan hakim. Ya, kan, alasan PK selain novum juga adanya kekeliruan hakim,” ucap Joko Jumadi, pengacara Baiq Nuril lainnya kepada wartawan seusai menyerahkan berkas PK.
Berkas PK diterima oleh Panitera PN Mataram Rachmad Sudarman. Pengajuan memori PK sebulan setelah draf PK diterima oleh Baiq Nuril pada 4 Desember 2018. Materi memori PK itu kemudian dimatangkan selama sebulan untuk kemudian diserahkan PN Mataram.
Menurut Yan, uraian Pasal 27 sebagai acuhan putusannya, hakim kasasi tidak mampu menyatukan dengan pasal alternatifnya. Padahal, Pasal 27 putusan itu merupakan unsur utama yang satu poinnya menyebutkan, Baiq Nuril hanya mendengarkan rekaman dari saksi, Imam Mudawil.
Dalam putusan kasasi, kata Yan, tidak dijelaskan klausul soal rekaman Imam Mudawil kepada terdakwa. ”Di sini, kami sayangkan uraian alat bukti yang jelas melanggar UU ITE, sebab ada lima bukti yang menjerat pelaku, Muslim, di antaranya handphone, laptop, memory card. Namun, bukti-bukti itu tidak disebutkan, hanya bukti CD yang dibuat Muslim dijadikan rujukan,” ucapnya,
”Seharusnya, jika bukan bukti asli, tidak disebut sebagai alat bukti sah. Karena alat bukti sah sudah diedit oleh Muslim. Ingat, kasus Nuril ini tidak ada barang bukti dari pihak pelaku.”
Baiq Nuril (mengenakan mukena warna hitam) didampingi pengacara Joko Jumadi memberikan keterangan pers sebelum mengajukan materi peninjauan kembali kepada Pengadilan Negeri Mataram di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Kamis (3/1/2019).