Area longsor yang menimbun perumahan dan persawahan warga di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (2/1/2019). Proses pencarian dan evakuasi korban longsor terus dilakukan petugas dan warga.
Warga Kampung Cimapag, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menutup tahun 2018 dengan air mata. Sejumlah 13 nyawa melayang dan 20 warga lainnya masih hilang akibat tertimbun longsor, Senin (31/12/2018).
Tangisan Harta (36) dan Wardi (26) pecah di lokasi longsor Kampung Cimapag, Rabu (2/1/2019). Kakak beradik itu histeris melihat petugas SAR gabungan menemukan ibu mereka, Umi (63). Dia sudah tak bernyawa saat diangkat dari timbunan longsor rumahnya sendiri.
Keduanya tak berhenti menangis saat tim SAR gabungan yang terdiri dari Basarnas, BPBD, TNI, Polri, dan sukarelawan menggotong jasad Umi. Mereka bahkan nyaris pingsan sehingga harus digotong oleh warga untuk sekadar berjalan pelan.
Beberapa warga berbicara kepada Harta dan Wardi untuk mengikhlaskan kepergian ibunda selama-lamanya. Namun, tidak ada sepatah kata keluar. Hanya air mata yang menetes semakin deras. Ikut terlibat dalam pencarian itu, tubuh mereka semakin terlihat kuyu dibalut pakaian berlumur lumpur.
Sudah lebih dari sepekan kampung itu diguyur hujan setiap hari. Namun, tidak ada yang menyangka akan terjadi longsor sebesar itu. Lereng setinggi 200 meter yang berjarak sekitar 300 meter dari permukiman warga longsor. Material tanah gemburnya menghantam 31 rumah warga. Hampir semua rumah rata dengan tanah. Cimapag hilang dikubur bumi.
”Saat itu hujan tidak terlalu lebat tetapi lama,” ujar Sumar (35), warga Cimapag lainnya, mengingat kembali kejadian yang nyaris merenggut nyawanya beserta istri dan anaknya tersebut. Meski selamat, ia kini lebih banyak melamun seakan tak percaya melihat alam murka di depan matanya.
Hingga Rabu, 13 warga tewas dan 20 lainnya masih hilang akibat tertimbun longsor. Sebanyak 64 orang lainnya selamat dan tinggal di pengungsian. Sumar adalah salah satu warga yang lolos dari bencana itu.
Seusai hujan pada Senin sore, Sumar mendengar suara gemeruh dari lereng yang ditanami padi tersebut. Tanpa berpikir panjang, dia menarik istrinya, Sumiati (20), dan menggendong anaknya, Sofi (7 bulan), lari keluar rumah. Lelaki yang bekerja sebagai petani itu lantas berlari kencang menjauhi permukiman. Namun, saat sudah berlari sejauh 30 meter, dia baru menyadari, istrinya tertinggal cukup jauh di belakang.
”Ternyata istri saya jatuh karena tertimpa tembok mushala. Untungnya ada warga lain yang kebetulan juga berlari bisa menolongnya,” ujarnya.
Sumar mengatakan, longsoran tanah seperti ombak yang menggulung dan menghancurkan apa pun yang dilaluinya. ”Saya enggak berani lagi tinggal di kampung ini. Kejadian mengerikan itu masih terus teringat. Mungkin akan sulit melupakannya,” ujarnya.
Deden Supendi (30) juga menjadi korban selamat dalam kejadian itu. Suara gemuruh longsor membuatnya terkejut bercampur takut.
”Suara apaan ini? Masa suara mobil kaya gini? Suara gemuruhnya besar sekali. Saya langsung keluar rumah. Di luar terlihat debu tebal dan tanah jatuh dari bukit. Saya langsung lari menyelamatkan diri,” kata guru mengaji itu.
Longsoran tanah terjadi sangat cepat. Deden melihat runtuhan tanah mengubur sebagian kampungnya hanya dalam lima detik. Untungnya longsor hanya menghantam sedikit bagian di dapur rumahnya. Dia berhasil selamat tanpa luka sedikit pun.
Setelah itu, suasana malam di kampong itu begitu mencekam. Saat sebagian masyarakat di daerah lain berpesta merayakan Tahun Baru, teriakan-teriakan minta tolong terdengar memecah sunyi.
Mendengar teriakan itu, Deden langsung bergegas mencari keluarga dan tetangganya. Pertama-tama, Deden memeriksa keberadaan mertuanya, Sukirman dan Umi. Namun, rumah mertuanya sudah tertimbun. Tidak ada jawaban ketika dia mencoba memanggil keduanya. Kondisi serupa terjadi saat dia menuju rumah kakak perempuannya. Belakangan dia tahu, orang-orang tercintanya itu tewas.
”Karena putus asa, saya tolong orang lain yang berteriak minta bantuan. Saya menemukan ada suara dari timbunan dekat rumah. Ternyata itu tetangga saya sendiri. Langsung panggil keluarganya untuk bantu selamatkan. Akhirnya dia berhasil diselamatkan setelah beberapa jam,” ujar Deden.
Pendampingan
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Warga mengevakuasi barang-barang yang berhasil diselamatkan dari lokasi longsor di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (2/1/2019).
Deden mengatakan, tidak menyangka bisa selamat dari longsor itu. Biasanya, pukul 17.30 dia sudah berada di mushala untuk menemani anak-anak mengaji. Namun, hari itu, karena lelah, dia tertidur sebentar di sofa sambil menonton televisi.
Entah kenapa, anak-anak yang biasanya sudah datang sebelum pukul 18.00 pun belum datang ke mushala. ”Itu juga aneh. Anak-anak banyak yang selamat karena telat datang. Kalau saya di mushala, tidak tahu nasibnya gimana. Karena mushala sudah rata tanah sekarang,” katanya.
Dua anak yang selamat adalah Farrel (6) dan Hengki (12), kakaknya. Saat kejadian, mereka sedang membeli jajanan yang jaraknya hampir 100 meter dari rumah mereka.
”Adik sama saya jajan ke luar (rumah) sambil menunggu maghrib. Tetapi tiba-tiba keburu datang longsor. Bapak ibu masih di rumah,” kenang Hengki dengan wajah muram. Orangtuanya tewas.
Kini, kedua bersaudara itu harus tinggal bersama neneknya yang selamat dari kejadian ini. ”Saat saya kembali ke rumah, semua sudah tertutup tanah,” kata Hengki sambil mengelus-elus tangan Farrel yang sedang digendong nenek mereka.
Kepala Seksi Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sukabumi Eka Widiaman mengatakan, longsor dipicu pemanfaatan lahan di lokasi kejadian yang tidak tepat. Dengan kondisi lereng terjal, seharusnya kawasan itu tidak dijadikan persawahan. Sebab, air yang dialirkan ke sawah akan membuat tanah jenuh dan rawan longsor.
”Lokasi longsor seharusnya menjadi area konservasi. Oleh sebab itu, sebaiknya ditanami pepohonan berakar kuat, bukan dialihfungsikan menjadi sawah,” ujarnya.
Untuk beberapa waktu ke depan, Cimapag bakal meninggalkan duka. Lahan subur yang pernah memberi sejahtera bagi warga kini mengubur nyawa secara tiba-tiba. Butuh pendampingan hidup tinggal di daerah rawan bencana bila air mata itu tak ingin menetes sia-sia.