Menimbang Perkara Brexit
Keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Brexit, merupakan kehendak rakyat Inggris yang tampak dari hasil referendum 23 Juni 2016. Pasca referendum yang memenangkan Brexit, pemerintah Inggris menyiapkan segala persyaratan yang dibutuhkan agar dapat keluar dari Uni Eropa tanpa ganjalan. Kedua belah pihak lantas mengadakan pembicaraan intensif setiap bulan selama satu minggu untuk mencari kata sepakat terkait relasi Inggris dan Uni Eropa pasca perceraian.
Setelah tawar-menawar selama dua tahun, pada 25 November 2018, ke-27 negara Uni Eropa menyetujui proposal keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Hasil kesepakatan tersebut masih harus dilaporkan oleh pemerintah Inggris ke Parlemen.
Parlemen Inggris tampak kurang berkenan dengan hasil kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah Inggris dan Uni Eropa terkait perbatasan di Irlandia Utara. Dalam kesepakatan pemerintah dengan Uni Eropa, pasca Brexit, sejumlah aturan Uni Eropa masih akan berlaku di Irlandia Utara agar tak perlu diberlakukan pemeriksaan fisik di perbatasan Irlandia Utara. Hal itu dianggap oleh sebagian anggota Parlemen sebagai kegagalan pemerintah melaksanakan mandat rakyat untuk melepaskan diri dari Uni Eropa.
Menyadari besarnya sentimen penolakan Parlemen terhadap hasil kesepakatan dengan Uni Eropa, PM Theresa May menunda laporan ke Parlemen dari 11 Desember 2018 ke 21 Januari 2019.
Dalam waktu yang tersisa, Perdana Menteri Theresa May mencoba mencari dukungan dari negara-negara Uni Eropa. Selain itu, ia mencoba menunjukkan konsekuensi terburuk di bidang ekonomi apabila Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan. Tanpa restu Parlemen, Brexit terancam akan berjalan tanpa kesepakatan (no deal) dengan Uni Eropa.
Negoisasi bulanan yang berjalan intensif tersebut menjadi sumber pemberitaan surat kabar di Inggris sepanjang 2018. Setiap perkembangan diulas dengan mendalam karena menjadi isu bangsa yang belum juga mendapat kata sepakat oleh para pihak pemangku kekuasaan di Inggris.
Selama negosiasi, muncul berbagai persoalan baru yang belum diantisipasi saat referendum. Selain itu, muncul juga berbagai istilah baru sepanjang negosiasi yang seringkali membingungkan sehingga berbagai surat kabar perlu menjelaskan agar dipahami oleh rakyat Inggris. Berbagai istilah yang muncul dapat digolongkan dalam istilah dasar, istilah dalam negosiasi, dan istilah yang digunakan dalam perdebatan.
Baca juga:
Istilah Dasar
Istilah dasar yang utama adalah “Brexit”. Brexit mengacu pada proses berpisahnya Inggris dari Uni Eropa, Britain Exit yang disingkat Brexit. Voting yang menghasilkan keputusan keluarnya Inggris dari Uni Eropa dilakukan oleh lebih dari 30 juta pemilih pada 23 Juni 2016 dengan hasil 51,9% pemilih memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa.
Sebagai negara dengan empat wilayah dengan parlemen masing-masing, keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa dimenangkan di wilayah England dan Wales. Sedangkan pemilih di Skotlandia dan Irlandia Utara lebih menginginkan Inggris tetap menjadi bagian dari Uni Eropa.
Dalam perundingan yang dibuat oleh pemerintah Inggris dengan Uni Eropa pada 29 Maret 2017, diputuskan bahwa Inggris akan resmi keluar dari Uni Eropa pada 29 Maret 2019. Inggris secara resmi mengaktifkan “Artikel 50”.
Artikel 50 merupakan klausul sepanjang lima paragraf yang merupakan bagian dari Persetujuan Lisbon untuk keluar dari Uni Eropa. Dengan mengaktifkannya, suatu negara secara formal dan hukum memberi tanda bahwa akan meninggalkan Uni Eropa. Mekanisme untuk meninggalkan Uni Eropa ini telah ditandatangani oleh setiap anggota Uni Eropa sebagai undang-undang pada 2009.
Dengan mengaktifkan Artikel 50, Inggris perlu melakukan negosiasi dengan Uni Eropa untuk menentukan bentuk relasi pasca Brexit .
Negosiasi Brexit dimulai secara resmi satu tahun pasca referendum, yakni 19 Juni 2017. Tim negosiasi dari kedua belah pihak bertemu tiap bulan selama satu minggu. Tugas pertama mereka adalah menentukan hak warga negara Inggris dan Uni Eropa pasca Brexit, jumlah uang yang harus dibayar Inggris sebagai “biaya cerai”, serta menentukan sikap terhadap perbatasan Irlandia Utara.
Kesepakatan terhadap tiga hal tersebut didapat pada 8 Desember 2017 dalam dokumen setebal 585 halaman. Dokumen ini merupakan dokumen legal yang mengikat yang menetapkan ketentuan Inggris saat meninggalkan Uni Eropa pada 29 Maret 2019.
Di dalamnya, kedua belah pihak menyetujui bahwa hak warga negara Uni Eropa di Inggris dan warga Inggris di Uni Eropa untuk hidup, bekerja, dan belajar akan tetap dilindungi dan mendapatkan hak yang sama.
Persoalan tersebut penting dibicarakan mengingat ada sekitar 3 juta warga negara Uni Eropa yang tinggal ataupun bekerja di Inggris serta terdapat sekitar 1 juta warga negara Inggris yang hidup di Uni Eropa.
Persoalan ”biaya perceraian” disepakati untuk dibayarkan empat tahun setelah kesepakatan dan jumlahnya akan disebutkan di kemudian hari. Namun, Pemerintah Inggris menyebutkan akan menganggarkan 35-39 miliar poundsterling, termasuk di dalamnya biaya transisi sampai Inggris benar-benar lepas dari Uni Eropa.
Persoalan selanjutnya menyangkut wilayah perbatasan Irlandia Utara yang menjadi bagian Inggris Raya dan Republik Irlandia. Inggris dan Uni Eropa sepakat bahwa lalu lintas barang di wilayah perbatasan Irlandia Utara tak akan dikenai pengecekan lintas batas.
Artinya, keluar masuknya barang dari Irlandia Utara ataupun dari Republik Irlandia akan tetap seperti sebelum Brexit. Hal itu dilakukan untuk mencegah terulangnya konflik di Irlandia Utara yang dikenal dengan ”The Troubles”, atau konflik berkepanjangan selama lebih dari 30 tahun di Irlandia Utara.
Setelah ketiga hal tersebut disepakati, disetujui juga adanya periode transisi, yakni periode 21 bulan dari 29 Maret 2019 sampai 31 Desember 2020 sebagai waktu adaptasi agar segala kesepakatan yang telah dibuat dapat dilaksanakan dengan nyaman oleh kedua belah pihak.
Dokumen tersebut menjadi penting sebagai panduan ketika masa transisi dimulai meski dapat diperpanjang sampai 2022. Periode transisi ini akan berlaku apabila Inggris keluar dari Uni Eropa dengan kesepakatan, “Brexit deal”.
Kesepakatan bagian kedua meliputi bidang perdagangan, pertahanan, dan keamanan antara Inggris dan Uni Eropa. Dokumen yang berisi 26 halaman ini bersifat tidak mengikat secara hukum, lebih berupa deklarasi politik yang berisi peta jalan hubungan Inggris dengan Uni Eropa setelah Brexit.
Dokumen ini merupakan deklarasi pendamping perjanjian penarikan diri Inggris di bidang ekonomi, hukum, kebijakan luar negeri, keamanan dan pertahanan, serta bidang lainnya.
Baca juga:
Istilah dalam Negosiasi
Istilah yang seringkali membingungkan adalah “Brexit deal” dan “no deal”. Keputusan rakyat Inggris adalah Inggris keluar dari Uni Eropa. Akan tetapi, keputusan tersebut baru dari pihak Inggris. Masih ada pihak lain, yakni Uni Eropa. Dalam proses negosiasi dengan Uni Eropa itulah muncul istilah “Brexit deal” maupun “no deal”.
Brexit deal berarti Inggris dan Uni Eropa mendapatkan kata sepakat terkait proposal Inggris untuk keluar dari Uni Eropa. Sedangkan no deal berarti bahwa Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan dengan Uni Eropa, atau bercerai dari satu pihak. Dalam no deal Brexit, Inggris meninggalkan Uni Eropa tanpa persetujuan formal tentang syarat penarikan atau hubungan perdagangan Inggris yang baru.
Selain persoalan deal dan no deal, selama negosiasi muncul istilah soft Brexit maupun hard Brexit. Hard Brexit berarti Inggris secara total tak lagi mengikuti aturan yang selama ini berlaku di Uni Eropa, terutama terhadap isu seperti free movement of people maupun single market.
Sedangkan soft Brexit berarti penolakan terhadap aturan Uni Eropa bersifat sebagian saja. Inggris tetap terhubung dengan Uni Eropa baik dalam hal single market, custum union, maupun keduanya. Beberapa anggota Parlemen di Inggris menganggap bahwa kesepakatan yang telah dibuat oleh pemerintah dengan Uni Eropa adalah soft Brexit. Oleh karena itu, mereka menolak proposal pemerintah.
Dalam proposal yang dianggap soft Brexit, beberapa peraturan Uni Eropa terutama single market masih berlalu di Inggris, tepatnya di Irlandia Utara.
Aturan single market di negara-negara Uni Eropa berarti mengizinkan pergerakan bebas barang, jasa, uang, dan manusia di Uni Eropa seakan-akan ada dalam satu negara. Wilayah single market ini mencakup seluruh anggota Uni Eropa plus empat negara tambahan dalam hal pergerakan bebas barang, jasa, uang, dan manusia.
Konsep single market berbeda dengan custom union. Dengan kebijakan ini, negara-negara dalam kesatuan (union) tidak memungut pajak dan tarif terhadap barang-barang impor dari negara yang ada dalam kesatuan. Selain itu, mereka mengenakan pajak impor yang sama kepada negara di luar Uni Eropa. Persetujuan itu juga berarti bahwa setiap anggota Uni Eropa dapat berdagang satu sama lain tanpa pemeriksaan perbatasan akan tetapi membatasi tiap negara melakukan perjanjian dagang sendiri-sendiri.
Custom union berbeda dengan wilayah perdagangan bebas karena dalam area perdagangan bebas, tiap negara bebas untuk melakukan perjanjian dagang sendiri. Dalam aturan custom union, tiap negara tidak boleh mengadakan perjanjian dagang sendiri dengan negara di luar Uni Eropa, tetapi melibatkan seluruh Uni Eropa.
Baca juga:
Istilah dalam Perdebatan
Selain istilah di atas, muncul juga beberapa istilah yang digunakan dalam perdebatan antara mereka yang setuju dan tidak setuju dengan proses Brexit yang sedang berjalan. Istilah yang paling mengganjal adalah backstop.
Backstop merupakan suatu kesepakatan jaminan, apa pun hasil negosiasi Inggris dan Uni Eropa, pos pemeriksaan perbatasan tak akan dibangun di Irlandia Utara. Konsekuensinya, Irlandia Utara akan tetap masuk dalam single market sampai jangka waktu tertentu.
Rencana ini merupakan kesepakatan pendahuluan yang telah disetujui pada akhir 2017. Baik pihak Inggris maupun Uni Eropa menjaga agar tak perlu dibuat pos pemeriksaan fisik di perbatasan Irlandia Utara dengan Republik Irlandia.
Perbatasan Irlandia Utara dengan wilayah Uni Eropa di Republik Irlandia sepanjang 498 kilometer ini awalnya tak menjadi isu besar saat referendum 2016. Persoalan ini baru mendominasi pembicaan tentang Brexit sepanjang 2018 karena anggapan bahwa pemerintahan PM Theresa May membawa negosiasi ke arah soft Brexit. Poin itu dianggap bakal membuat Inggris terbelenggu dalam waktu tak terbatas pada aturan bea cukai Uni Eropa.
Baca juga:
Persoalan tersebut berkaitan dengan proposal yang diajukan oleh pemerintah Inggris dalam negosiasi dengan Uni Eropa yang sering disebut sebagai “proposal Chequers”. Disebut Chequers karena proposal pemerintah Inggris tersebut disetujui di kediaman PM Theresa May di Chequers pada Juli 2018. Kabinet Inggris kembali mencapai kata sepakat terhadap proposal tersebut pada 14 November 2018.
Di dalamnya direncanakan perdagangan bebas pajak atau tarif dengan Uni Eropa. Inggris akan meminta tarif atas nama Uni Eropa untuk tiap barang yang masuk ke Inggris, tetapi ditujukan ke negara Uni Eropa. Karena tarif Uni Eropa telah dipungut, tak perlu lagi ada pos pemeriksaan lintas batas antara Irlandia Utara dan Republik Irlandia.
Baca juga:
Berbagai Kemungkinan
Istilah-istilah yang muncul berhubungan dengan Brexit menunjukkan alotnya negosiasi Inggris dengan Uni Eropa sekaligus beragamnya persoalan yang baru muncul belakangan. Bahkan, warga Inggris pun tak semuanya melek terhadap istilah tersebut. Brexit yang mulanya dianggap sebagai hal mudah, keluar dari Uni Eropa, ternyata menyisakan persoalan yang sulit dicari titik temunya.
Saat ini, tak ada yang dapat menduga akhir perjalanan Brexit bila kesepakatan pemerintah tak direstui Parlemen. Ketika proposal pemerintah ditolak, ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Inggris terancam memisahkan diri dari Uni Eropa tanpa kesepakatan (no deal). Bila itu yang terjadi, tak akan ada periode transisi pasca 29 Maret 2019 dan undang-undang Uni Eropa otomatis tak akan berlaku di Inggris.
Apabila kesepakatan Brexit yang diperoleh pemerintah Inggris bersama Uni Eropa tidak disetujui Parlemen Inggris, minimal terdapat enam kemungkinan.
Pertama, Akan dibuat kesepakatan ulang, pemerintah diberi waktu tiga minggu untuk mencoba kembali meminta persetujuan Parlemen. Pemerintah Inggris akan ke Brusel dan melakukan negosiasi ulang dengan Uni Eropa tentang backstop perbatasan Irlandia Utara. Akan tetapi, opsi itu telah ditutup oleh Uni Eropa sehingga muncul kemungkinan kedua, yakni Inggris akan meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan.
Ketiga, Theresa May mengundurkan diri dan diadakan pemilihan PM oleh anggota Partai Konservatif. Atau, kemungkinan keempat Theresa May dimundurkan oleh partainya dan dipilih perdana menteri baru untuk melakukan negosiasi ulang dengan Uni Eropa. Hal ini berarti bahwa perlu tambahan waktu dan biaya.
Kelima, Referendum baru untuk menentukan suara rakyat Inggris terhadap pilihan Brexit. Sekitar delapan orang anggota parlemen Partai Konservatif dan 44 orang Partai Buruh menyetujui adanya referendum baru. Namun, referendum kedua ini hanya dapat dilakukan apabila pemerintah mengajukan undang-undang dan mayoritas anggota Parlemen menyetujui.
Pilihan keenam adalah melakukan pemilihan umum. Opsi ini sangat didukung oleh partai oposisi, Partai Buruh yang menginginkan pemerintahan baru. Pemilihan umum dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu Undang-undang Parlemen Waktu Tetap maupun melibatkan mosi tidak percaya di Majelis Rendah.
Berbagai kemungkinan tersebut menunjukkan ketidakpastian jalan Brexit. Rakyat Inggris yang memilih keluar dari Uni Eropa pada 2016 akhirnya disadarkan bahwa konsekuensi pilihan mereka sangat besar dan berlarut-larut, bahkan mendominasi pemberitaan berbagai media di Inggris sepanjang dua tahun terakhir.
Agar dapat memahami duduknya persoalan, rakyat Inggris perlu kembali ke hal-hal dasar. Mungkin mereka harus mulai dengan memahami istilah-istilah yang muncul dalam negosiasi Brexit. (LITBANG KOMPAS)